Beberapa suara tak sedap aku dengar ketika Merapi menelan korban. Banyak teman kita yang seolah menyalahkan mengapa ada pengungsi harus kembali ke desanya ketika kondisi masih belum menentu.
Aku pikir mereka tak sepenuhnya salah. Seharusnya kita bisa berpikir bahwa tak semua pengungsi bisa kita anggap korban sebagaimana di Mentawai. Disana kondisinya teramat parah sehingga pengungsi tak lagi memiliki apapun untuk hidup lebih baik. Di Merapi, lebih banyak pengungsi yang pergi dari desanya hanya untuk menghindari bahaya, sementara mereka masih punya segalanya.
Pengungsi jenis ini aku kira yang terbanyak di Merapi. Bagaimana mungkin mereka bisa tenang di pengungsian sementara harta benda dan ternak mereka masih ada di desa. Lagipula untuk masyarakat pedesaan yang tak betah nganggur pasti akan jenuh ketika mereka tak punya kegiatan di pengungsian.
Alangkah baiknya bila penanganan mereka mencontoh pada apa yang sering dilakukan kepada anak-anak. Diberi mainan dan diajak bermain untuk mengurangi trauma atas bencana. Tak ada salahnya bila mereka tak lagi diberi ransum siap makan. Dapur umum disiapkan tapi pelaksanaannya diserahkan kepada pengungsi perempuan secara bergiliran agar mereka punya kegiatan.
Pengungsi laki-laki pun bisa diberi kegiatan kerja bakti atau diikutsertakan bersama relawan menjaga desanya secara terjadwal sehingga mereka tidak pergi sendiri-sendiri yang pada akhirnya sulit untuk menjaga keselamatannya.
Mungkin itu terkesan kejam. Orang lagi kesusahan kok dikerjain. Tapi itu kan pandangan kita sebagai penonton yang tentunya kasihan dan ingin melayani mereka secara total. Namun kenyataannya mereka suka mengeluh jenuh setiap hari hanya makan tidur sementara ternak mereka telantar.
Untuk tempat pengungsian besar macam stadion Maguwoharjo mungkin itu sulit. Namun aku melihat di beberapa TPS kecil di Magelang cara itu bisa efektif. Para pengungsi kelihatan lebih suka dilibatkan dalam kegiatan relawan. Apalagi dilibatkannya di kegiatan daerahnya sendiri.
Tapi itu sekedar sumbang saran saja. Jangan angap mereka korban semata. Jadikanlah mereka mitra agar penanganan bencana ini bisa lebih terintegrasi. Bagaimanapun juga penduduk lokal lebih mengerti apa yang menjadi kebutuhannya dibanding kita yang notabene adalah pendatang.
Mobile Post via XPeria
Ilustrasi di TPS Gadingsari km 8 dari puncak Merapi
Aku pikir mereka tak sepenuhnya salah. Seharusnya kita bisa berpikir bahwa tak semua pengungsi bisa kita anggap korban sebagaimana di Mentawai. Disana kondisinya teramat parah sehingga pengungsi tak lagi memiliki apapun untuk hidup lebih baik. Di Merapi, lebih banyak pengungsi yang pergi dari desanya hanya untuk menghindari bahaya, sementara mereka masih punya segalanya.
Pengungsi jenis ini aku kira yang terbanyak di Merapi. Bagaimana mungkin mereka bisa tenang di pengungsian sementara harta benda dan ternak mereka masih ada di desa. Lagipula untuk masyarakat pedesaan yang tak betah nganggur pasti akan jenuh ketika mereka tak punya kegiatan di pengungsian.
Alangkah baiknya bila penanganan mereka mencontoh pada apa yang sering dilakukan kepada anak-anak. Diberi mainan dan diajak bermain untuk mengurangi trauma atas bencana. Tak ada salahnya bila mereka tak lagi diberi ransum siap makan. Dapur umum disiapkan tapi pelaksanaannya diserahkan kepada pengungsi perempuan secara bergiliran agar mereka punya kegiatan.
Pengungsi laki-laki pun bisa diberi kegiatan kerja bakti atau diikutsertakan bersama relawan menjaga desanya secara terjadwal sehingga mereka tidak pergi sendiri-sendiri yang pada akhirnya sulit untuk menjaga keselamatannya.
Mungkin itu terkesan kejam. Orang lagi kesusahan kok dikerjain. Tapi itu kan pandangan kita sebagai penonton yang tentunya kasihan dan ingin melayani mereka secara total. Namun kenyataannya mereka suka mengeluh jenuh setiap hari hanya makan tidur sementara ternak mereka telantar.
Untuk tempat pengungsian besar macam stadion Maguwoharjo mungkin itu sulit. Namun aku melihat di beberapa TPS kecil di Magelang cara itu bisa efektif. Para pengungsi kelihatan lebih suka dilibatkan dalam kegiatan relawan. Apalagi dilibatkannya di kegiatan daerahnya sendiri.
Tapi itu sekedar sumbang saran saja. Jangan angap mereka korban semata. Jadikanlah mereka mitra agar penanganan bencana ini bisa lebih terintegrasi. Bagaimanapun juga penduduk lokal lebih mengerti apa yang menjadi kebutuhannya dibanding kita yang notabene adalah pendatang.
Mobile Post via XPeria
Ilustrasi di TPS Gadingsari km 8 dari puncak Merapi
ancen wong ndeso iku ora iso meneng nek biasane tandang gae, bukan menyiksa tapi memang lebih suka dilibatin, sepertinya itu bener, kenapa mas gak usul langsung hehe
BalasHapus