Pengen pelesiran dan puas-puasin makan enak di Banjarmasin saja susah buat diwujudkan. Telpon terus saja bersahutan laporan ini itu dan memaksa aku buru-buru kembali ke pedalaman. Mau tidak mau, bayangan wisata kuliner beberapa hari harus segera dihapuskan.
Enak atau tidak enak, mungkin bukan soal menu saja. Bisa jadi suasana hati disini lebih memungkinkan lidah untuk bisa leluasa mengecap segala rasa yang ada. Biarpun tetap di sebrang lautan, dekat dengan bandara membuatku merasa Jogja hanya satu jam dari sini. Bisa dibandingkan dengan di site yang harus menempuh perjalanan darat selama 6 jam dari Banjarmasin.
Apalagi soal menu yang jarang berubah tak hanya aku temukan di mess saja. Saat keluyuran ke kampung atau kota kecil terdekat, tetap saja susah mencari makanan ala warteg di Jawa. Warung yang menyediakan bermacam masakan sayur sangat langka disini. Setiap melihat daftar menu, paling-paling tertulis ayam, bebek, ikan, telor dan yang sejenis. Pernah aku jalan-jalan ke pasar tungging dan melihat ada yang borong sayuran sampai memenuhi bagian depan motor bebek. Aku pikir bapak-bapak itu pemilik warung makan yang menyediakan menu sayur. Buruan aku samperin dan bertanya. Buset, ternyata buat pakan babi.
Aku baca di tribunnews tentang Jakarta yang masuk peringkat ke 77 kota dengan biaya hidup termahal di dunia. Aku pikir bego juga yang survai itu. Semahal-mahalnya Jakarta, belum pernah aku makan mie rebus plus es teh dengan merogoh kocek sampai 25 ribu perak seperti disini. Sate kambing memang ada yang sepuluh tusuk 25 ribu, tapi dagingnya segede sate ayam di Jogja. Bandingkan dengan sate Tegal yang dagingnya seukuran jempol kaki. Sama 25 ribunya tapi untuk satu kodi. Eh, apa malah aku yang bego ya. Yang disurvai kan kota, sedangkan disini pedalaman.
Pertimbangan soal biaya makan ini pulalah yang membuat ibue Citra mundur teratur ketika dulu agak ngotot pengen ikut kemari. Memang kalo dilihat dengan ukuran Jogja, penghasilan kerja disini tampak sangat besar. Tapi kalo harus hidup disini bersama keluarga, tetap saja sisanya sama dengan kerja di Jogja dengan gaji sejuta setengah. Belum lagi sarana hiburan yang teramat kurang. Orang pengen nonton tipi saja tak bisa hanya bermodal antena UHF, harus berlangganan tipi satelit. Apalagi bila dikaitkan dengan masa depan anak, sarana pendidikan tak bisa dibandingkan dengan Jogja.
Sedikit serba salah memang.
Kembali ke Jawa atau tetap bertahan seperti ini sama-sama punya efek samping
Harus ngempet pun sudah jadi resiko yang tak boleh dipermasalahkan
Mau enak harus mau pula mikir kebutuhannya ketika jadi anak
Nikmati sajalah
Toh harga sabun masih murah...
Enak atau tidak enak, mungkin bukan soal menu saja. Bisa jadi suasana hati disini lebih memungkinkan lidah untuk bisa leluasa mengecap segala rasa yang ada. Biarpun tetap di sebrang lautan, dekat dengan bandara membuatku merasa Jogja hanya satu jam dari sini. Bisa dibandingkan dengan di site yang harus menempuh perjalanan darat selama 6 jam dari Banjarmasin.
Apalagi soal menu yang jarang berubah tak hanya aku temukan di mess saja. Saat keluyuran ke kampung atau kota kecil terdekat, tetap saja susah mencari makanan ala warteg di Jawa. Warung yang menyediakan bermacam masakan sayur sangat langka disini. Setiap melihat daftar menu, paling-paling tertulis ayam, bebek, ikan, telor dan yang sejenis. Pernah aku jalan-jalan ke pasar tungging dan melihat ada yang borong sayuran sampai memenuhi bagian depan motor bebek. Aku pikir bapak-bapak itu pemilik warung makan yang menyediakan menu sayur. Buruan aku samperin dan bertanya. Buset, ternyata buat pakan babi.
Aku baca di tribunnews tentang Jakarta yang masuk peringkat ke 77 kota dengan biaya hidup termahal di dunia. Aku pikir bego juga yang survai itu. Semahal-mahalnya Jakarta, belum pernah aku makan mie rebus plus es teh dengan merogoh kocek sampai 25 ribu perak seperti disini. Sate kambing memang ada yang sepuluh tusuk 25 ribu, tapi dagingnya segede sate ayam di Jogja. Bandingkan dengan sate Tegal yang dagingnya seukuran jempol kaki. Sama 25 ribunya tapi untuk satu kodi. Eh, apa malah aku yang bego ya. Yang disurvai kan kota, sedangkan disini pedalaman.
Pertimbangan soal biaya makan ini pulalah yang membuat ibue Citra mundur teratur ketika dulu agak ngotot pengen ikut kemari. Memang kalo dilihat dengan ukuran Jogja, penghasilan kerja disini tampak sangat besar. Tapi kalo harus hidup disini bersama keluarga, tetap saja sisanya sama dengan kerja di Jogja dengan gaji sejuta setengah. Belum lagi sarana hiburan yang teramat kurang. Orang pengen nonton tipi saja tak bisa hanya bermodal antena UHF, harus berlangganan tipi satelit. Apalagi bila dikaitkan dengan masa depan anak, sarana pendidikan tak bisa dibandingkan dengan Jogja.
Sedikit serba salah memang.
Kembali ke Jawa atau tetap bertahan seperti ini sama-sama punya efek samping
Harus ngempet pun sudah jadi resiko yang tak boleh dipermasalahkan
Mau enak harus mau pula mikir kebutuhannya ketika jadi anak
Nikmati sajalah
Toh harga sabun masih murah...
ya ya..kerja di tambang, di rig, emang seperti terlihat bergaji besar...tapi kadang kalo dipikir2...equal gak ya dengan kehilangan-kehilangan itu...? *pengalaman kerja di pedalaman... hehehe...
BalasHapuswah... mendengar cerita mas rawin.. sepertinya berat ya kerja jadi tarsan (kerja di pedalaman maksudnya mas... heheheh!) apalagi kalo masalah makan yang cuman mie rebus + teh sampe 25 ribu. yah, tetap semangat aja mas! demi anak istri... heheheh! ^_^
BalasHapusHehe kemungkinan itu cuma ngiseng survey, biar bikin gempar XD
BalasHapustelur dadar 20ribu? mahal ya. itu bisa dapet sekilo lebih kalau disini hehehe
BalasHapusbyuuh... iya om.. disini katanya biaya hidup mahal...semen..aja..ampe mendekati seratus ribu..atau malah lebih.. cuman..kok..yang bawah sendiri.. sing penting.. sabun masih murah.. doooh..hora melu-melu..aku..he.he.he..
BalasHapuswoooooow... mahal banget makan indomi aja segitu @_@
BalasHapusUjung-ujungnya kok sabun, wakakakak...Ujung-ujungnya kok sabun, wakakakak...
BalasHapusbanjarmasin y t4 krjanya,,
BalasHapuso gt,,,
hihiihii,,
setau saya biaya hidup di Jawa yang paling murah dibanding daerah lain..
BalasHapuspadahal kalo ibune citra dibawa kan bisa nyate sendiri setiap malam gak usah beli sate yang gak jelas rasanya.
BalasHapusmenu -menunya mahal amat bang,,,,,hehehehehe disini 30000 dapet nasi bungkus berbungkus-bungkus,,,,,hihihihi
BalasHapusitu menu telur saja mahal bangeeet. 20 ribu -____-
BalasHapusdi bogor sudah bisa makan enak yaa segitu.
semangat ka \m/
by the way, kalimat terakhirnya lucu.
hehehehh.
Lain kali minta disurvei, pedalaman mana yang biaya hidupnya lebih mahal, hehe. Eh, ngomong2 sabunnya murah ya Bang? mangnya buat apaan? mangnya cewek disono juga mahal? hahaha...
BalasHapusMeski harga sabun murah, aku yakin tetep aja dirimu malas mandi, wong tidur sendiri kok, di hutan lagi..wkwkwkw..
BalasHapus