Ada sebuah anehdot di perusahaan ini tentang karyawan lokal yang mengatakan, asal bisa copy paste berarti sudah memenuhi syarat untuk menjadi admin. Mengenaskan, tapi memang begitulah adanya. Berawal dari keinginan perusahaan untuk memberdayakan tenaga kerja lokal yang lahannya tergusur untuk penambangan, ditambah budaya pemaksaan ala yang punya kawasan, membuat penerimaan karyawan tidak berjalan sesuai kebutuhan spesifikasi.
Awal datang kemari, ada sedikit keprihatinan saat melihat pekerjaan yang menurutku bisa aku selesaikan sendiri, disini dikerjakan oleh beberapa orang staf. Sepintas tak ada yang kelihatan ganjil. Namun setelah dilihat lebih dekat, mau ga mau aku merasa iba sekaligus pengen ketawa. Mereka memang mengerjakan tabel-tabel menggunakan excel. Tapi saat melakukan perhitungan, mereka sibuk dengan kertas dan kalkulator untuk kemudian hasilnya dimasukan ke tabel excelnya.
Aku ajari mereka membuat satu rumus sederhana dan tinggal copy paste. Pekerjaan hari itu pun bisa selesai lebih cepat. Namun besoknya aku ditegur juragan mereka karena pekerjaan berantakan. Waktu aku cek, baru ketahuan kalo rumus yang aku bikin itu tidak cuma digunakan di tabel yang dimaksud. Tapi setiap mereka kerjakan tabel lain yang perhitungannya beda, rumus itu juga yang mereka kopikan.
Pelatihan demi pelatihan non formal aku lakukan. Walau progresnya lumayan lambat, namun sudah lebih mendingan dibanding saat aku pertama datang dulu. Dan ada beberapa benang merah yang bisa aku bilang kalo mereka itu Indonesia Raya banget. Dimana kita terbelenggu oleh pepatah lama yang mengatakan, malu bertanya sesat di jalan. Tanya di jalan malu-maluin...
Seolah ada pemahaman yang menyatakan, bertanya artinya bodoh. Makanya rasa penasaran sepertinya tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan atau pelatihan. Karena takut salah atau takut dianggap bodoh, di sekolah atau workshop, peserta jarang mau bertanya. Tetapi setelah sesi berakhir, peserta mengerumuni narasumber untuk minta penjelasan tambahan. Lebih payahnya lagi, disuruh tanya malah diam, kalo ditanya tambah diam lagi...
Dalam budaya kita, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi atau jabatan yang dimiliki. Passion atau rasa cinta terhadap sesuatu kurang dihargai. Akibatnya, bidang pengembangan kreatifitas kalah populer oleh pencapaian karir yang dianggap bisa lebih cepat mendatangkan kekayaan. Orang jadi lebih suka bayar duit segepok untuk nyogok biar dapat jabatan daripada buang sedikit duit untuk meningkatkan kemampuan. Kuliahpun kadangkala hanya menargetkan ijasah dan wisuda secepatnya tanpa mikir apa yang dia dapat selama kuliah. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Tingginya jabatan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh jabatan tersebut. Tidak heran bila banyak orang menyukai sinetron atau cerita yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak. Gelandangan cantik yang tiba-tiba diperistri direktur dan sejenisnya.
Pendidikan dan pelatihan seolah identik dengan hafalan berbasis kunci jawaban, bukan pada pengertian. Makanya kita lebih mudah menerima apa yang kita dapatkan dari pengajar tapi bingung ketika harus mengembangkan apa yang sudah diketahui. Lebih parahnya lagi, kita suka fanatik dengan apa yang telah kita dapatkan. Sehingga ketika ada pemahaman baru, sangat susah untuk diterima dan tak jarang ditentang habis-habisan. Tak aneh kalo kita mudah cari orang pinter tapi susah cari yang cerdas.
Seperti percakapan dua orang teman yang mau minta rokok.
"Kalo aku bisa nebak jumlah rokok di sakumu, boleh bagi sebatang ga..?"
"Jangankan satu, lima-limanya aku kasihin kamu!"
"Sip! ada tiga batang kan...!"
#Mana yang pinter..?
Awal datang kemari, ada sedikit keprihatinan saat melihat pekerjaan yang menurutku bisa aku selesaikan sendiri, disini dikerjakan oleh beberapa orang staf. Sepintas tak ada yang kelihatan ganjil. Namun setelah dilihat lebih dekat, mau ga mau aku merasa iba sekaligus pengen ketawa. Mereka memang mengerjakan tabel-tabel menggunakan excel. Tapi saat melakukan perhitungan, mereka sibuk dengan kertas dan kalkulator untuk kemudian hasilnya dimasukan ke tabel excelnya.
Aku ajari mereka membuat satu rumus sederhana dan tinggal copy paste. Pekerjaan hari itu pun bisa selesai lebih cepat. Namun besoknya aku ditegur juragan mereka karena pekerjaan berantakan. Waktu aku cek, baru ketahuan kalo rumus yang aku bikin itu tidak cuma digunakan di tabel yang dimaksud. Tapi setiap mereka kerjakan tabel lain yang perhitungannya beda, rumus itu juga yang mereka kopikan.
Pelatihan demi pelatihan non formal aku lakukan. Walau progresnya lumayan lambat, namun sudah lebih mendingan dibanding saat aku pertama datang dulu. Dan ada beberapa benang merah yang bisa aku bilang kalo mereka itu Indonesia Raya banget. Dimana kita terbelenggu oleh pepatah lama yang mengatakan, malu bertanya sesat di jalan. Tanya di jalan malu-maluin...
Seolah ada pemahaman yang menyatakan, bertanya artinya bodoh. Makanya rasa penasaran sepertinya tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan atau pelatihan. Karena takut salah atau takut dianggap bodoh, di sekolah atau workshop, peserta jarang mau bertanya. Tetapi setelah sesi berakhir, peserta mengerumuni narasumber untuk minta penjelasan tambahan. Lebih payahnya lagi, disuruh tanya malah diam, kalo ditanya tambah diam lagi...
Dalam budaya kita, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi atau jabatan yang dimiliki. Passion atau rasa cinta terhadap sesuatu kurang dihargai. Akibatnya, bidang pengembangan kreatifitas kalah populer oleh pencapaian karir yang dianggap bisa lebih cepat mendatangkan kekayaan. Orang jadi lebih suka bayar duit segepok untuk nyogok biar dapat jabatan daripada buang sedikit duit untuk meningkatkan kemampuan. Kuliahpun kadangkala hanya menargetkan ijasah dan wisuda secepatnya tanpa mikir apa yang dia dapat selama kuliah. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Tingginya jabatan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh jabatan tersebut. Tidak heran bila banyak orang menyukai sinetron atau cerita yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak. Gelandangan cantik yang tiba-tiba diperistri direktur dan sejenisnya.
Pendidikan dan pelatihan seolah identik dengan hafalan berbasis kunci jawaban, bukan pada pengertian. Makanya kita lebih mudah menerima apa yang kita dapatkan dari pengajar tapi bingung ketika harus mengembangkan apa yang sudah diketahui. Lebih parahnya lagi, kita suka fanatik dengan apa yang telah kita dapatkan. Sehingga ketika ada pemahaman baru, sangat susah untuk diterima dan tak jarang ditentang habis-habisan. Tak aneh kalo kita mudah cari orang pinter tapi susah cari yang cerdas.
Seperti percakapan dua orang teman yang mau minta rokok.
"Kalo aku bisa nebak jumlah rokok di sakumu, boleh bagi sebatang ga..?"
"Jangankan satu, lima-limanya aku kasihin kamu!"
"Sip! ada tiga batang kan...!"
#Mana yang pinter..?
aku udah lali kabeh main excel..
BalasHapuslagian kayak anggota DePeeR saja, pakenya mbleberi ato komunikator, nek nyatet alamat tetep aja pake buku alamat..mubazir..
yg penting proses ya mas..
BalasHapusbukan jabatan atau posisi, nlh kdng anak buah lebih cerdas dr atasan dikarenakan proses meski kdng pahit tp stidaknya mau menerima pahit, jauh lbh baik ktimbang maunya manis dikasih susah dikit ngeluh hihihihi
oke mas , materi bacaan yg sip tp jd inget wktu dulu aku blajar excel weekekekk....
lima-limanya dikasihin... ide darimana, hahaha...
BalasHapusmiris ya tu perusahaan,,,hehe,,
BalasHapusartikel yang bagus om,, good post,,
smoga ni bisa jadi pembelajaran yang baik, mengenai kalimat yang singkat namun yaa,,, sulit buat diterapkan,,
hihihihi
Waktu aku tinggal di Kalimantan dulu, di koran lokal sampek ada iklan berbunyi gini, "Malu dikata-katain KKN waktu lulus ujian CPNS? Makanyaa, belajar komputer dulu dong 1 bulan saja di XXX. Gedung sekolah milik sendiri, bukan ngontrak!"
BalasHapusDari iklan itu ditambah pengamatan sekitar, saya baru sadar kalo perekrutan kerja via KKN itu dianggap sudah biasa. Bahwa yang direkrut kerja itu nggak bisa ilmu aplikasi Office dasar itu juga udah biasa. Dan belajar instan demi lulus diterima kerja itu juga biasa. Yang mencengangkan, bikin lembaga pendidikan seolah-olah jadi lahan bisnis baru, kalau perlu, ngontrak ruko demi jadi sekolah-sekolahan pun dilakukan asalkan nabur untung.
mwahaha.. ngakak bacanya sebenernya, make excel tapi ngitung masih manual..
BalasHapus*sama kayak saya..
yaa beruntung ada kamu wins, satu orang baru membawa perubahan bagi banyak anggota team lainnya :)
aku bukan penonton sinetron loh :)
BalasHapusBukti bahwa pendidikan di Indonesia masih belum merata ya...
BalasHapusbudaya "malu bertanya,sesat dijalan" mungkin bukan hanya di tempat sampean saja , karena memang sering pribadi ewuh pakewuh seperti ini banyak terjadi dimana-mana kagak percaya? masih ingat beberapa waktu yang lalu bapak presiden kita curhat di media kalo 50 persen instruksinya tidak dilaksanakan oleh menterinya, itu bukankah menandakan kalo menterinya tidak mengerti atau presidennya salah memberi instruksinya he he he...
BalasHapussaya pikir hebatnya orang indonesia adalah pada kemampuannya bermain dengan imajinasi dan selera humornya yang tinggi. sehingga kita sering salah menilai mereka. pokoknya jangan lawan orang indonesia lah, khususnya orang jawa.
BalasHapusmasih mending hitung pakai manual :D
BalasHapus