Pagi-pagi masih enak ngimpi sudah dibangunin orang, karena ada vendor yang kirim material tower. Antara ngantuk dan suntuk aku cuma bengong memikirkan kelakuan orang sini yang kadang susah dipahami. Surat kontrak kerja borongannya saja belum ditandatangani, barang sudah dikirim. Barang aku terima, dasarnya apa. Tidak diterima, kasihan orangnya sudah menempuh 7 jam perjalanan.
Draft kontrak kerja memang sudah aku tunjukan ke pemborong untuk meminta persetujuan pasal-pasalnya. Disitu memang tercantum, mobilisasi material paling lambat 4 hari setelah DP diterima. Ini boro-boro DP dibayar, kontraknya saja belum diteken. Kalo sampai proyek ditunda atau uangnya tidak segera cair, apa bukan aku yang dikejar-kejar nantinya. Salah vendor yang ngotot kirim biar proyeknya cepat selesai dan terima duit. Atau salah aku bikin ketentuan paling lambat 4 hari setelah pembayaran DP tanpa pasal paling cepat satu detik setelah DP diterima..?
Ribetnya berurusan dengan pola pikir sebagian masyarakat lokal lebih terasa oleh teman-teman di HRD. Mereka sering menghadapi calon karyawan yang langsung kerja padahal kontrak belum dibuat. Biasanya jadi ribut saat gajian. Perusahaan menghitung gaji sejak tanggal surat kontrak, karyawan ngotot sudah kerja seminggu sebelumnya. Yang sudah jadi karyawan juga suka ada saja yang datang ke HRD dan bilang ingin mutasi ke bagian lain. Belum juga surat mutasinya dibuat atau permohonan itu belum tentu disetujui, orangnya sudah main pindah saja.
Bicara dengan orang-orang seperti itu memang harus ekstra hati-hati dalam memilih kata. Harus benar-benar diyakinkan dulu bahwa mereka ngerti dengan apa yang kita ucapkan. Mengangguk-angguk dan bilang iya, bukan berarti mereka benar-benar paham. Soalnya sering kejadian, orang masukin lamaran kerja besoknya langsung ngantor. Sepertinya ada kesulitan memahami kata-kata "diterima kerja" dan "berkas lamaran kami terima untuk dipertimbangkan."
Mending kalo tidak ngotot ngamuk-ngamuk atau demo dengan mengatasnamakan yang punya kawasan. Memiliki sebidang tanah yang kemudian dibebaskan untuk kegiatan penambangan sepertinya alasan yang paling sering digunakan. Bahasa "saya pemilik lahan" sudah menjadi andalan disini. Padahal apa hubungannya orang lahannya sudah dibayarin perusahaan.
Tidak semua orang memang. Tapi yang berpikiran semacam itu masih cukup banyak dan seringkali susah untuk diluruskan. Makanya entah kapan daerah ini bisa diajak maju, bila pola pikir jangka pendek sebagai yang punya kawasan selalu dikedepankan. Apa ini memang bawaan budaya lama dimana proses pra pernikahan, anak gadis harus dicuri dulu sebelum dilamar secara resmi.
Eh, kalo ini mah sudah merambah ke kota besar ding
Belum ada janur kuning sudah test drive duluan
Kaya beli sepatu saja ya..?
Draft kontrak kerja memang sudah aku tunjukan ke pemborong untuk meminta persetujuan pasal-pasalnya. Disitu memang tercantum, mobilisasi material paling lambat 4 hari setelah DP diterima. Ini boro-boro DP dibayar, kontraknya saja belum diteken. Kalo sampai proyek ditunda atau uangnya tidak segera cair, apa bukan aku yang dikejar-kejar nantinya. Salah vendor yang ngotot kirim biar proyeknya cepat selesai dan terima duit. Atau salah aku bikin ketentuan paling lambat 4 hari setelah pembayaran DP tanpa pasal paling cepat satu detik setelah DP diterima..?
Ribetnya berurusan dengan pola pikir sebagian masyarakat lokal lebih terasa oleh teman-teman di HRD. Mereka sering menghadapi calon karyawan yang langsung kerja padahal kontrak belum dibuat. Biasanya jadi ribut saat gajian. Perusahaan menghitung gaji sejak tanggal surat kontrak, karyawan ngotot sudah kerja seminggu sebelumnya. Yang sudah jadi karyawan juga suka ada saja yang datang ke HRD dan bilang ingin mutasi ke bagian lain. Belum juga surat mutasinya dibuat atau permohonan itu belum tentu disetujui, orangnya sudah main pindah saja.
Bicara dengan orang-orang seperti itu memang harus ekstra hati-hati dalam memilih kata. Harus benar-benar diyakinkan dulu bahwa mereka ngerti dengan apa yang kita ucapkan. Mengangguk-angguk dan bilang iya, bukan berarti mereka benar-benar paham. Soalnya sering kejadian, orang masukin lamaran kerja besoknya langsung ngantor. Sepertinya ada kesulitan memahami kata-kata "diterima kerja" dan "berkas lamaran kami terima untuk dipertimbangkan."
Mending kalo tidak ngotot ngamuk-ngamuk atau demo dengan mengatasnamakan yang punya kawasan. Memiliki sebidang tanah yang kemudian dibebaskan untuk kegiatan penambangan sepertinya alasan yang paling sering digunakan. Bahasa "saya pemilik lahan" sudah menjadi andalan disini. Padahal apa hubungannya orang lahannya sudah dibayarin perusahaan.
Tidak semua orang memang. Tapi yang berpikiran semacam itu masih cukup banyak dan seringkali susah untuk diluruskan. Makanya entah kapan daerah ini bisa diajak maju, bila pola pikir jangka pendek sebagai yang punya kawasan selalu dikedepankan. Apa ini memang bawaan budaya lama dimana proses pra pernikahan, anak gadis harus dicuri dulu sebelum dilamar secara resmi.
Eh, kalo ini mah sudah merambah ke kota besar ding
Belum ada janur kuning sudah test drive duluan
Kaya beli sepatu saja ya..?
biasa tuh di pergaulan pemuda-pemudi
BalasHapuswew...masa sblm nikah di DP dulu jg sich? hadeeehhh, klo nda dilunasin gmn?
BalasHapuskayaknya banyak kasus seperti ini ya dipertambangan? permasalahan dg penduduk setempat
ini memperlihatkan kalau orang lokal (daerah) butuh pengakuan
BalasHapus(bahasaku sok tahu yah)
Senasib dengan perusahaan disini boz.... Yang punya lahan (Walaupun tanahnya dah dibebaskan)lebih berkuasa dari yang punya perusahaan...
BalasHapusya yang lebih pinter ngalah aja deh sama orang daerah...
BalasHapuskadang2 kita emang suka mumet kalo lihat tingkah orang2 setempat di kawasan proyek kita bekerja... kayaknya bukan hanya di lokasi mas rawin aja... hampir setiap proyek...
BalasHapusmakanya kalo ngomong yg agak serius atau serius sama orang2 setempat kudu to the point... alias tembak langsung tp awas salah tembak hhhhh....
walah, susah yo urusan sama orang yang suka salah paham gitu.. repoot, salah2 dikepruk ntar
BalasHapusWah repot memang berurusan dengan orang2 yang kurang berpendidikan spt itu ya? Terus selama ini bagaimana cara HRD mengatasinya?
BalasHapusMaaf baru mampir lagi. Apa kabar?