29 Oktober 2009

Zuma Deluxe

Sudah beberapa hari ini aku sedikit jenuh dengan game-game kelas berat macam GTA IV atau Armed Assault II. Engga tau darimana idenya aku kok inget game kecil jaman dulu, Zuma Deluxe.

Cari di piratebay, trus donlot dan instal. Ga perlu terlalu banyak menguras pikiran dan kelincahan jari untuk bisa menyelesaikan misi demi misi. Yang perlu kita lakukan hanya menembak bola dikendalikan dengan mouse sebelum masuk ke mulut si kodok Zuma. Tapi tetap saja otak perlu berpikir untuk menentukan bola bola mana yang akan ditembak agar bisa cepat selesai.

Biar kita bisa lihat waktunya di console, tekan aja T di kibod. Makin lama waktu tersisa dari expired time, semakin besar bonusnya. Tiap naik nilai 50 ribu kita akan dapat kodok satu sebagai simbol live yang akan berkurang satu kalo bolanya nyebur ke mulut kodok.

Paling asik tuh kalo kita bisa susun bola sedemikian rupa, sehingga begitu kita tembak bola sasaran, langsung combo terus menerus sampai habis. Pokoke coba aja deh kalo penasaran. Aku aja sudah bolak balik tamat sampai ke level 13 masih saja penasaran untuk mengulang lagi dengan waktu lebih cepat.


Read More

Budaya Agraris

Seorang teman pemilik konter seluler mengeluhkan persaingan usaha yang makin tidak sehat. Konter hape yang kian menjamur satu persatu berguguran karena tak mampu melawan seleksi alam yang lebih didominasi oleh budaya kapital, modal.

Walau banyak faktor yang jadi penyebab, ada satu budaya sebagian masyarakat kita yang turut berpartisipasi dalam proses menuju kebangkrutan usaha. Kita seringkali takut untuk berinovasi dan hanya menunggu bukti baru mau terjun.

Seperti beberapa tahun lalu, di Sidareja aku dan beberapa orang teman membuat konter hape. Banyak orang melecehkan karena memang waktu itu belum ada sinyal di daerah itu. Untuk bisa berkomunikasi hape harus disambung dengan antena yang menjulang. Padahal dengan mencuri start, begitu BTS dibangun, paling tidak kita sudah punya pengalaman. Dan nyatanya, setelah terlihat konter laris manis, yang namanya konter langsung menjamur bisa sepuluh meter satu.

Ini yang aku anggap budaya agraris. Masyarakat petani yang selalu nrimo dengan yang ada dan jarang mau berpikiran untuk mencoba resiko lain. Asalkan bisa panen sudah senengnya minta ampun. Berapa biaya produksi jarang mau menghitung. Adikku, seorang PPL pernah mengeluh susahnya mensosialisasikan bibit atau metode baru untuk meningkatkan produksi petani cuma karena alasan, belum ada petani lain yang mencoba dan terbukti sukses.

Sama kasus dengan masyarakat sepanjang pantai Jogja. Hidup beratus tahun di pesisir tapi tak pernah melirik laut sebagai sumber penghasilan. Mereka tetap saja bertani, sampai nelayan-nelayan Cilacap mulai berdatangan dan bermukim di Jogja.

Andai saja Thomas Alfa Edison orang Jawa, mungkin sampai saat ini kita masih menggunakan lampu teplok. Bertahun-tahun gagal dengan ribuan eksperimennya tak membuatnya surut untuk menemukan bahan untuk membuat filament lampu bohlam.

Untuk orang muslim mungkin ingat salah satu hadist nabi yang menyuruh kita belajar ke negeri China. Perintah sejak 15 abad lampau itu benar terbukti sekarang. Keuletan bangsa China membuatnya sukses dalam hal ekonomi. Bahkan ketika Amerika dan Eropa masih berkutat dengan krisis global sekarang, China sudah bisa bangkit dan berani menargetkan pertumbuhan ekonomi sampai 9%.

Banyak memang tetangga kita yang belajar kesana. Tapi bukan keuletan dan cerdasnya menangkap peluang yang dipelajari. Cuma pelitnya saja yang diambil.

Aku sendiri sudah membuktikan bahwa keuletan dan pantang mundur dalam berinovasi pada akhirnya bisa mendatangkan hasil. Seperti ketika dokter memvonis istriku kandungannya tidak subur dan sangat sulit untuk bisa hamil. Aku cuekin dokternya dan maju perut pantat mundur, alhamdulillah jadi juga.

Thanks berat, Tuhan...

Ilustrasi Mencoba Bertahan
Karya Katirin
Tujuh Bintang Art Space
Read More

28 Oktober 2009

Keasinan

Pulang dari kampung semalem, mampir di rumah makan sari bahari Gombong. Pelayanannya lumayan ramah dan menu pembuka jahe susunya mantap. Lalu aku pesen tongseng kambing, kok keasinan. Aku tanya pelayane, "ini memang ciri khas masakannya asin apa yang bikin lagi pengen kawin?"

Malah jawabannya ga nyambung blas, "tak tambah kuahnya ya, pak.."

Malah makin asin. Akhirnya aku pesan satu lagi, soalnya wujudnya menarik minat cacing perut neh. Menunggu 10 menit, tongseng baru terhidang. Lha kok masih asin juga...

Ketika soto pesenan istri datang, katanya keasinan juga. Akhirnya ga jadi makan. Setengah jam disitu cuma bengong sambil nyawang kasire yang manis sampe wareg tanpa penyesalan.

Mbokyao kalo mau menawarkan diri, tulis saja nomer hape di meja. Ga perlu pake nambahin garam banyak-banyak...

Lho, kok mulai nakal..?
Apa hubungane..?
Read More

26 Oktober 2009

Anggaran Nakal

Dari obrolan antar teman, atau tepatnya antar laki-laki siang tadi. Ada satu pertanyaan yang cukup menarik dan menggelitik. "Berapa anggaran nakalmu..?"

Agak lama aku berusaha memahami kata anggaran nakal. Dan temanku memberi jawaban begini, "Laki-laki bekerja untuk menafkahi anak istri. Dan dalam berusaha, seringkali ada rejeki yang tidak semestinya dimakan keluarga. Duit panas kui kudu diempake setan..."

Hooo matamu ambrol..
Bener banget walau tidak pener. Diharapkan atau tidak, uang panas itu memang selalu ada. Agama mengajarkan kita untuk membayar zakat untuk membersihkan rejeki yang remang-remang itu. Menurut temenku bayar zakat ya harus pakai uang halal juga. Lha trus, uang yang tidak halal itu dikemanakan dunk..?

Pembenarannya berlanjut begini. Laki-laki itu cape kerja, butuh represing. Dana hiburan itu yang selayaknya digunakan. Jadi posnya sudah masing-masing. Yang halalan toyibah dibawa ke rumah, yang haram buat senang-senang. Ga boleh dibalik.

Hihihi...
Kasihan juga ibu-ibu yang menunggu di rumah. Bagaimanapun ngurus rumah itu teramat melelahkan walau tidak pernah tampak di mata umum.

Aku sendiri dulu memang sering keluyuran ke cafe. Nongkrong-nongkrong nyawer penyanyi. Lumayan memang untuk melepas penat kerja tiap hari. Setelah ada istri, aku masih suka ke cafe juga. Tapi karena para penyanyinya sebel aku ga pernah nyawer lagi, aku dan istri lebih suka nongkrong di alun-alun nanggap pengamen.

Kondisi istri hamil muda tak lagi memungkinkan aku keluar rumah malem. Aku lari ke kebiasaan lama, ngegame di komputer. Anggaran nakalku paling buat merombak komputer agar lebih dahsyat speknya. Game aku tak pernah beli, cukup download di piratebay.

Represing di rumah saja masih suka jadi konflik, apalagi kalo sampai keluyuran malem lagi. Aku berpikiran, main game sebelum tidur biar penat otak sedikit ilang. Sedangkan juraganku berpikir, seharian di kantor ngadepin komputer, nyampe rumah masih juga ngeloni komputer...

Gapapalah...
Semoga lama-lama mengerti bahwa anggaran nakal harus diminimalisir efek negatifnya dengan cari kegiatan yang tidak harus meninggalkan rumah. Nurun-nurunin genteng apa nglemparin mangga tetangga...

Ilustrasi Malima
Karya Bambang Darto
Tujuh Bintang Art Space

.
Read More

25 Oktober 2009

Kembali Ke Alam

Bicara soal pengobatan tradisional kita akan ingat slogan back to nature yang menganjurkan kita kembali ke alam. Karena berbasis alamiah kita cenderung untuk berpikir bahwa yang natural itu selalu murah. Tak heran kalo sebagian dari kita kadang mencemooh kalo ada produk kesehatan yang katanya alamiah tapi harganya mahal.

Tak ada salahnya aku ingatkan kasus jamu tradisional Cilacap yang dulu begitu laris di pasaran. Harganya murah dan khasiatnya dahsyat. Sampai-sampai ada promosi yang mengatakan kalo kita minum jamu sakit kepala sambil berdiri, begitu duduk sakitnya sudah sembuh. Saking larisnya sampai-sampai para pengusaha jamu kehidupannya meroket menjadi orang-orang terkaya di daerah.

Dan kenyataan terungkap, bahwa semua produk jamu mereka bahan dasarnya tetap kunyit jahe dan beras kencur. Untuk pengobatan spesifik ditambahkan bahan-bahan kimia yang terlarang. Walau kasusnya sudah sampai ke polisi, aku heran bisa-bisanya salah seorang pengusaha jamu itu malah jadi bupati. Dan kasus itupun seolah lenyap ditelan bumi.

Bahan tradisional memang murah. Tapi pengobatan dengan cara ini tidak bisa instan hasilnya. Perlu waktu panjang walau hasilnya lebih bagus daripada obat-obatan kimia. Jadi kalo ada jamu tradisional yang hasilnya secepat kilat, perlu kita telusur benar-benar alamiah apa tidak. Pengusaha kadang tidak jujur mencantumkan komposisi bahan campuran obat, apalagi yang berharga murah dan untuk level ekonomi lemah yang tidak begitu kritis dengan komposisi bahan.

Memang agak susah untuk membudayakan produk tradisional alamiah yang sebenarnya, mengingat kita sekarang lebih suka menonjolkan cita rasa daripada keamanan produk. Minum jamu pahit sudah enggan. Akibatnya jamu-jamu sekarang cenderung dikemas dalam citarasa yang enak. Jamu bisa rasa jeruk atau stroberi. Dan untuk menekan harga, produsen membuatnya dengan mencampurkan pemanis buatan. Jadi sama saja kan..?

Intervensi produk kimia memang sudah teramat jauh ke dalam kehidupan kita. Seperti aku sendiri dulu tidak pernah ada keluhan bau badan yang berlebihan karena keringat, padahal aku kerja di lapangan. Setelah kerja kantoran, aku mulai dikenalkan dengan parfum dan deodoran.

Dari awal coba-coba itu, akhirnya aku mengalami apa yang dinamakan ketergantungan obat. Sekarang kalo ga pake deodoran, lumayan asik neh, breng-brengan. Dan stadium lanjutnya keluhanku bertambah, bulu ketek mulai rontok padahal tidak pernah aku pakai catok. Bisa gundul neh...

Read More

24 Oktober 2009

Garansi Uang Kembali (18+)

Awalnya sih cari-cari informasi suplemen untuk kesehatan mata, mengingat kerjaanku menuntut lebih dari 10 jam sehari di depan komputer. Tapi tau usernya laki-laki, lama-lama googlenya kok belok ke suplemen tentang kelelakian. Baca-baca di webset klinik yang bebas klenik dan bertaraf international, aku malah kaget sendiri. Cuma biar kuat bangun saja kok biaya pengobatannya sampai 7 juta ke atas.

Pantesan sebagian dari masyakarat kita lebih suka masuk ke pengobatan alternatif yang biayanya murah, plus pake embel-embel reaksi spontan, 10 menit jadi, langsung di tempat. Hahahaha kacaw... Terlalu fantastis buatku kalo terlalu kasar dibilang mengada-ada.

Aku inget seorang temenku yang tertarik iklan baris begituan di koran lokal. Melihat kata mahar cuma 200 ribu dengan kasiat instan, meluncurlah dia ke tempat praktek yang katanya keturunan Ma Erot almarhum. Beberapa hari kemudian aku tanya hasil pengobatannya. Eh, dia malah misuh-misuh.

Maksudnya mau kasih surprise buat istri, nyatanya istrinya malah takut melihat senjatanya yang berubah wujud menjadi aneh. Celakanya lagi, ketika dia mau komplen minta garansi uang kembali, mbah dukunnya sudah tidak praktek di hotel itu lagi. No HPnya juga tidaK bisa dihubungi.

Pengen ketawa tapi tak tega. Walau heran tapi ya ga bisa bilang apa-apa. Apalagi kalo ingat biaya pengobatan yang bersifat medis tarifnya tak terjangkau untuk kalangan kita, wajar mereka lari ke alternatif yang murah meriah walau keamanan meragukan.

Yang ga bisa dimengerti adalah, orang sehat kok nekat berobat. Dan kenapa mesti tergiur dengan biaya murah tapi statusnya ga jelas, termasuk lokasi praktek yang cukup di hotel yang mudah pindah tempat.


Garansi uang kembali juga ga menarik buatku. Untuk apa uang dikembalikan, kalo tidak bisa balik seperti semula. Dan yang lebih ga menarik, untuk apa musti besar dan panjang, bila G Spot bisa dijangkau 2-3 cm dari ambang pintu.

Yang wajar-wajar saja lah. Toh orang hidup bukan cuma untuk itu, walau untuk melanjutkan kehidupan harus berawal dari situ.

gambar dari google
Read More

23 Oktober 2009

Peduli Tidak Berarti Memberi

Pagi-pagi sudah ada yang jingkrak-jingkrak di pertigaan Babarsari lalu menghampiri kendaraan yang berhenti di lampu merah. Ketika sampai di sebelahku, seperti biasa aku angkat tangan mohon maaf cuma bisa kasih senyum terindah di pagi hari. Senyumku dibalas dengan sapaan ramah mereka, "nguri-uri budaya tradisional, pak.."

"Lha, piye.." aku jadi penasaran.
"Yo, nyumbang..."

Hoalah, kirain mau ceramah kebudayaan. Buntut-buntutnya minta duit juga.

Aku sebenarnya salut dengan kemauan mereka ngamen jathilan. Mereka mau melestarikan budaya bangsa seperti kata mereka "nguri-uri budaya". Tapi aku juga punya pendapat kalo mereka salah tempat. Jadinya terkesan bukan sekedar nguri-uri budaya bangsa, tapi melestarikan budaya meminta-minta juga.

Tidak cuma ngamen jathilan. Pengamen genjrang genjreng, orang cacat, anak kecil yang ada di jalanan aku tak pernah punya keinginan untuk berbagi. Kepedulian di lampu bangjo hanya akan menarik lebih banyak anak-anak ke jalan. Di jalan aku tak pernah terpikir untuk cari hiburan. Yang ada hanya cepat sampai ke tujuan.

Beda kalo aku lagi nongkrong di alun-alun kraton atau lesehan Malioboro. Kehadiran pengamen yang sebenarnya malah aku tunggu-tunggu. Karena aku lebih suka ngasih uang 20 ribu tapi bisa pesen lagu sealbum, daripada yang jrang jreng dikasih seribu langsung kabur. Sama aja mereka dengan pengemis.

Dengan ngamen di tempat yang tepat, dimana orang memang berniat mencari hiburan, aku kira pendapatan mereka bisa lebih banyak. Seperti pengamen campursari yang sedang istirahat ngopi bareng di alun-alun kidul pernah aku ajak ngobrol. Sehari bisa dapat 500 ribu lebih. Hasilnya dibagi rata dengan kru yang berjumlah 4 orang. Kalo musim liburan malah bisa mengingkat dua tiga kali lipat.

Untung pengamen Jogja bukan lah pengamen Jakarta yang suka menggores mobil kita dengan paku bila dicuekin. Ketidakpedulian kita masih bisa mereka tolerir. Kalo di Jakarta, ngasih receh bukannya untuk cari hiburan. Tapi buang sial atau bayar keamanan kendaraan. Huuuh...

Untuk pengemis, aku melihat mereka memang orang yang patut dikasihani, tapi bukan dengan jalan memberi uang. Anak-anak jalanan hanyalah korban dari orang-orang dewasa yang jadi koordinator yang kerapkali menggunakan kekerasan untuk menentukan nilai setoran. Kecacatan tubuh bukan untuk dijual ditepi jalan. Bayi pun bukan komoditi untuk dijemur di perempatan jalan.

Apalagi pengemis yang masih muda dan berbadan sehat. Aku jadi ingat di daerah Brebes, ada satu desa yang mayoritas penduduknya kerja diluar kota, sebagai pengemis. Walau sudah dikenal dengan desa pengemis, tapi rumah-rumah disitu jauh lebih mewah dibanding kontrakan kumuh teman-temanku di Jakarta yang statusnya karyawan.

Kita (terutama pemerintah) harus peduli dengan mereka. Tapi caranya seperti apa itu yang harus kita pikirkan. Razia Pol PP dan recehan kita tak akan mencapai sasaran. Sama seperti anggaran pemerintah untuk pengentasan kemiskinan yang selalu bocor di jalan sebelum sampai tujuan.
Read More

22 Oktober 2009

Kerusakan Bahasa

Panasnya hawa Jogja akhir-akhir ini, membuat istriku malem-malem ribut. "Panas mas, AC-nya dikecilin dong..."

Begitu pegang remote, aku termenung sejenak. Panas, dikecilin... Ini berbeda dengan kebiasaanku di kantor kalo kepanasan malah tereak, "gedein AC, neng. Panas neh..."

Walau akhirnya aku ngeh, kalo kepanasan ya suhunya diturunin atau istilahnya dikecilin, tapi kok rasanya masih ngganjel neh sampe pagi ini. Perasaan tuh lebih nyaman bilang digedein. Ini kayaknya sama seperti pada kasus kalo mau mandi, "krannya dinyalain dulu." Kok dinyalain ya..?

Gejala-gejala kerusakan bahasa ini kayaknya memang sudah lumrah walau tidak diakui oleh EYD (Ejaan yang dirusak...?). Kalo bahasa Jawa malah tidak semena-mena membuang kosa kata ini dengan memasukannya ke ruang rura basa. Bahasa yang tidak bisa dibenarkan tapi sulit untuk dibetulkan karena sudah begitu lumrah. Seperti istilah "nggodog wedhang", yang sebenarnya nggodog air biar jadi wedhang. Menek krambil, yang seharusnya menek glugu, dll dll

Bandingkan dengan ungkapan ini:
"What's in a name? that which we call a rose. By any other name would smell as sweet; So Romeo would, were he not Romeo call'd, Retain that dear perfection which he owes. Without that title. Romeo, doff thy name, And for that name which is no part of thee. Take all myself. (Shakespeare. 1594)

Apalah artinya sebuah nama. Mawar walau dinamai sandal jepit tetap saja manis.
Ngotot banget walau konsisten.


Jadi pengakuan bahasa rusak itu menunjukan basa Jawa lebih akomodatif dan tidak ngotot dengan kosa kata yang ada. Atau malah menunjukkan kengawuran yang semena-mena mengingat semua istilah ditelan mentah sampai sulit dicari persamaan katanya dalam bahasa lain.

Menurut teori kayaknya hanya ada 2 hubungan antara bunyi bahasa dan arti. Yang satu onomatopoeic atau menirukan suara alam, misalnya ‘tokek ‘disebut tokek karena suaranya tokek-tokek. Satunya lagi hubungannya arbitrary, semena-mena, atau ngawur. Kaum naturalis, percaya adanya hubungan intrinsik antara bunyi bahasa dengan makna yang diacu. Sedangkan kaum konvensionalis, beranggapan bahwa hubungan itu hanyalah karena konvensi dan sifatnya sewenang-wenang.

Pemakai bahasa Jawa generasi lama berusaha memaknai arbitrariness kata dan makna. Pemakai bahasa senantiasa berusaha memahami hidup melalui pemaknaan terhadap kata. Seperti fenomena kengawuran basa Jawa lainnya yang sebenarnya bertentangan dengan teori linguistik, yaitu keratabasa.

Pemaksaan makna dalam ruang kerata basa ini tidak hanya berlaku untuk sesuatu yang jadul semacam : gedhang = digeged bar madhang. mendhoan = mendho-mendho dipangan, dll dll. Kata serapan pun dengan sigap dibuat maknanya. Sepur = asepe metu dhuwur. Sepeda = asepe tidak ada.

Tapi walau dikatakan ngawur, ada pemaknaan kata melalui kerata basa yang mengacu pada ide yang lebih bersifat abstrak. Pemaknaan ini lebih mendalam yang berhubungan dengan nilai ketuhanan. Misalnya kata ndelalah atau ndilalah, yang berarti kebetulan ternyata bagi orang Jawa bukan kebetulan sama sekali. Ini menunjukkan sebuah religiositas yang sangat tinggi karena selalu ada campur tangan Tuhan dalam setiap peristiwa, termasuk dalam setiap kebetulan. Sehingga kata ndelalah (ngandel marang Gusti Allah) memunculkan idiom, "ndelalah kersane Ngallah..." Sebuah kepasrahan diri khas Jawa...

Yang paling ancur mungkin ada di komunitas ngapak Banyumasan. Coba saja simak lagunya Sopsan berjudul narkoba. Bisa-bisane narkoba dimaknai nasi rames kopi bakwan, narkotik sebagai nasi rames karo ndog pitik. Kacaw...

Mbuhlah, aku bukan ahli bahasa...
Cari lagi yang lain yo...

Kerikil = keri neng sikil
Keriting = ...
Keripik = ...


Ilustrasi "Kata-kata"
Karya Junaidi MS
Tujuh Bintang Art Space
Read More

20 Oktober 2009

Korban Iklan

Satu ruangan dengan staf cewek kadang ribet juga. Kalo dah nggosip lewat telepon ramenya minta ampun. Kalo berantem dengan cowoknya di pesbuk bisa sampai mewek-mewek. Dan pagi ini temenku njimprak-njimprak karena serangan jerawat. Gara-garanya tertarik iklan pemutih wajah di tipi, bukannya mulus malah jadi penuh bintang.

Lepas dari masalah itu, aku pikir perusahaan tidak tidak hanya berhak memasang iklan di media, tapi juga wajib memberikan semacam pendidikan konsumen. Banyak iklan-iklan yang terkadang bombastis dan tidak melihat realita. Sah-sah saja berusaha menarik perhatian konsumen, tapi jangan terkesan menipu dong.

Apalagi untuk iklan produk yang beresiko, kadang efek samping produk itu memang dicantumkan. Tapi keluarnya hanya sekilas dan tulisannya kecil banget susah dibaca. Iklan rokok misalnya. Atau iklan reg spasi sarmidi yang sekarang merebak di tipi, penjelasan tarif sms dan cara unreg terlalu kecil. Jauh sekali dibanding ukuran tulisan "dengan sms ini anda akan menjadi lebih kaya, lebih sukses, dst dst..." Padahal yang dimaksudkan jadi kaya kan perusahaan provider reg spasi tadi.

Ada juga iklan yang tampak wajar tapi penyampaiannya seolah tidak dipikir panjang oleh pembuatnya. Seperti beberapa waktu lalu. Jagoanku ikut-ikutan iklan minyak angin dan berteriak, "bikin anak kok coba-coba..." Aku luruskan, "buat anak, bukan bikin anak". Eh, malah nyaut, "buat kan sama dengan bikin, yah..."

Walau anak mungkin tidak mudeng dengan persamaan perbedaan buat dan bikin, apa salahnya sih kalo redaksinya dirubah dengan kata untuk anak..?

Atau mungkin iklan parfum cap kampak yang begitu dahsyat. Digambarkan dengan semua wanita akan nguber laki-laki yang menggunakan parfum tersebut. Malah para wanita itu mau nyebur ke kolam gara-gara koin disemprot parfum dan dilempar kesana.

Padahal kalo melihat pengalaman pribadi, kejadiannya jauh berbeda. Tahun lalu di Malioboro Mall aku ditawari parfum merk itu. Aku tidak tertarik untuk membeli karena memang lagi ga punya duit. Dan ternyata malemnya SPG ne malah sms terus ngajak jalan.

Ini membuktikan efek dahsyat parfum yang aku pakai. Walau tidak pernah diiklankan di tipi, tapi beraroma yang mahal harganya. Mambu wedus, sapi...
Read More

18 Oktober 2009

HAARP Project : Ambisi Menjadi Tuhan

Googling rutin hari ini, aku menemukan sesuatu yang membuatku berpikir tentang hakekat hidup manusia dalam kehidupan. Mengapa manusia selalu melakukan riset dan inovasi yang katanya untuk kebaikan umat, tapi kemudian jadi berbelok arah dan digunakan untuk membunuh sesama.

HAARP (High Frequency Active Auroral Research Program) Project, setahuku dulu meneliti cuaca dan bagaimana menyiasatinya untuk mengurangi efek bencana. Proyek di Alaska utara ini merupakan kerjasama Universitas Alaska dengan AU, AL Amerika dan DARPA (Defense Advanced Research Projects Agency). Mereka meneliti penggunaan frekuensi ekstra rendah (ELF) untuk memodifikasi ionosfer, dimana cuaca dan iklim banyak berproses disini. Detailnya silakan buka di websetnya.

HAARP ini sudah dipatenkan dengan nomor 4,686,605 atas nama Bernard J. Eastlund, bisa dilihat disini. Menggunakan prinsip-prinsip Nikola Tesla yang semuanya bisa dibaca dari bukunya: Angel Don't Play this HAARP. Yang penasaran langsung aja ke Amazon deh.

HAARP ini ternyata bisa untuk membuat hujan, badai, kabut, gempa dan yang semacamnya dalam skala kecil. Saat ini sedang dikembangkan untuk bisa dibuat secara global. Dan kerakusan manusia telah membuat AU Amerika menargetkan tahun 2025, iklim dunia sudah ada di genggaman dan digunakan sebagai alat pertahanan. Atau dengan kata lain digunakan sebagai senjata militer untuk perang. Kalo perang sudah menggunakan alat bencana, apakah kita bisa tahu sasarannya militer atau sipil..? Tentang ini selengkapnya bisa dibaca disini.

Ingat kasus jembatan Golden Gate di San Fransisco jaman dulu yang ambruk gara gara angin yang mempunyai frekuensi yang sama dengan natural frequency nya jembatan. Ternyata HAARP disinyalir mampu untuk membangkitkan jenis gelombang yg lebih dahsyat , yaitu gelombang Scalar (Scalar Wave). Scalar Wave inilah yang dicurigai bisa memicu terjadinya gempa.

Yang lebih mengerikan lagi, selain untuk mendatangkan gempa atau banjir, HAARP ini ternyata dikembangkan sebagai mind control. Penelitian Dr Andrija Puharich di tahun 1956 terhadap kaum Yogi India tentang kemampuan telepati telah diteliti secara ilmiah. Telepati dan hipnotis ini ternyata hanya dengan cara mempengaruhi korban dengan frekuensi 8 Hz. Otak ternyata sangat rentan terhadap sinyal ELF ini. Ini yang dipelajari dan dikembangkan secara elektromagnetis.

Gelombang ini dapat dipancarkan ke ionosfer dan dipantulkan ke bumi dengan koordinat yang telah ditentukan untuk merubah mood bangsa yang jadi sasarannya. Mind control ini dapat dimanfaatkan untuk membuat manusia yang terkena radiasinya menjadi marah, sedih, frustasi atau perasaan lain yang dikehendaki secara perlahan tanpa menyadarinya. Gelombang bunuh diri massal yang pernah terjadi di beberapa negara beberapa waktu lalu, bisa jadi merupakan kelinci percobaan dari penelitian ini.

Percobaan menjadi Tuhan ini benar atau tidak, silakan kembali di pemikiran masing-masing. Semuanya sekedar wacana untuk menambah pengetahuan saja. Silakan baca-baca di webset sumbernya melalui link-link diatas.
Read More

Kontakku Ga Banyak

Membaca tulisan temen yang mengeluh tentang kontaknya yang sedikit, aku malah berpikir sebaliknya. Entah berapa kali aku merampingkan kontak ketika melewati angka 500an. Sekarang saja kontakku sudah lewat angka 150 dari sekitar 100 yang aku sisakan pada pelangsingan terakhir.

Buatku kontak banyak bukanlah sebuah kebanggaan, bila yang mau interaksinya hanya satu dua. Jarang banget aku nge-add seseorang tanpa ada interaksi sebelumnya. Bila aku tertarik dengan tulisan-tulisannya dan asik diajak ngobrol baru aku minta dijadikan kontak. Soalnya banyak yang tulisannya oke banget, tapi ketika aku kasih tanggapan panjang-panjang, kok jawabnya cuma, "kayaknya begitu deh". Atau "terima kasih atas informasinya." Haduhh...

Begitu juga ketika ada yang meminta untuk menjadi kontak, aku cenderung selektif dengan melihat isi blognya. Kadang aku males melihat orang yang kontaknya sampai ribuan, isi blognya copy paste tanpa editan. Apalagi yang sekali posting sampai puluhan tulisan sampai menuh-menuhin inbox tapi interaksi dengan teman tidak ada. Lebih males lagi kalo nemu blog yang tidak ada isinya.

Yang aku kurang suka lagi orang yang murni mau "dodolan" di blog. Bisnis wajar dan sah sah saja. Tapi kalo cuma pajang dagangan trus masuk gesbuk cuma untuk ngiklan doang, wah jangan harap deh. Aku suka pedagang seperti temanku Lolly dulu (Sekarang kemana yah..?). Dia walau dagang,tapi tetap berceloteh juga. Dengan teman juga asik dan jarang banget ngiklan di gesbuk orang. Cara dia ngiklan ya dengan bikin tulisan yang asik asik trus sering nimbrung di tulisan orang.

Aku juga suka merasa "piyeee.." dengan temen di MP yang suka nguber orang yang numpang lewat tapi ga sempat komen. Kayaknya ga nyaman kalo di gesbuk nemu tulisan, "kenapa cuman ngintip doang sih..?" Atau "masuk blog orang kok ga mau komen sih..?" Huuuu...

Maaf juga kalo ada yang nanya di gesbuku aku jawab disitu juga. Kayaknya kok aneh ada temen yang menuntut kalo nanya di tempatku, jawabnya harus di tempat dia. Kasian aja orang lain yang baca, kok kesane ga nyambung gitu...

Trus buat temen-temen baikku. Mohon maaf kalo aku jarang nyamperin ke blog untuk sekedar basa-basi. Aku lebih sering masuk lewat inbox. Jadi kalo yang ga posting, mungkin aku ga sempat nengokin. Makanya, rajin-rajin nulis ya...
Read More

17 Oktober 2009

Memindah File Besar


Beli flashdisk 8GB untuk memindah-mindah data dari kantor ke rumah, ternyata ga selamanya menyelesaikan masalah. Terutama kalo selesai download game atau film yang berukuran DVD atau 4 gigaan.

Secara logika file 4 GB dimasukan ke flashdisk 8 GB pastinya langsung geblush... Nyatane seringkali nongol peringatan disk full. Nyebelin ga..?

Aku kira ada virus atau apa dalam flashdisk yang memanipulasi space atau data yang ada. Tak scan dan tak format bolak-balik tetap sama saja. Apa mungkin karena proses penyalinan file tunggal berukuran besar itu membutuhkan cache atau buffer di flashdisk yang sama dengan besar filenya..?

Jadi untuk mengakalinya, sementara ini file tunggal itu aku pecah-pecah dulu menggunakan winrar. Setelah dibagi menjadi beberapa file kecil, nyatanya semua masuk flashdisk tanpa kesulitan. Nyampe rumah file-file itu tinggal dicopy ke hardisk. Trus file part 1 nya diklik dua kali. Winrar kebuka dan file-file itu tergabung menjadi satu lagi.

Cari-cari informasi tentang itu di google belum nemu nih. Ada yang punya penjelasan..?

Read More

Perbaikan Keturunan

Pagi pagi ada sms nyasar dari si Ema, seorang temen di Ciamis sana.

Mah, m g bsa mask nasi g bsa napian bras, t'elin klah tdur. kumha yh

Sedikit lama memahami gaya bahasa semacam itu. Sampai akhirnya aku berkesimpulan, si Ema bilang ke ibunya kalo ga bisa masak dan napeni beras. kakaknya malah tidur.

Hehehehe dasar cewek modern, masuk dapur aja kayaknya alerginya kumat. Kayak stafku yang cewek pun begitu. Jangankan bantuin di belakang selama pembantu belum ada gantinya, beresin bekas makannya sendiri aja malesnya minta ampun. Aku tanya nanti kalo dah punya suami apa ya tetap ga mau ke dapur. Eh, jawabnya gini, "aku cari yang kaya dong, mas. Yang masak biar pembantu..."

Emang dipikirnya orang hidup ga ada pasang surutnya apa ya..? Trus kalo tiba-tiba kena musibah suaminya jatuh miskin, apa ya trus ganti suami? Kok kayak jenate sing esih urip..???

Padahal seenak-enaknya dimasakin orang lain atau di warung, masakan istri tetap terasa beda. Di lidah mungkin kalah, tapi dengan adanya pelibatan emosi dan ungkapan rasa sayang, masakan keasinan pun tetap terasa uenaakkkh... Walau mungkin bilangnya sambil mendelik. Hahahaha...

Gapapalah ga pengen menyayang suami dengan masakan kalo emang sayang parfumnya kecampuran bau bawang. Tapi mbok yao, kalo merasa dirinya pemalas, cari suami yang sregep dong, bukannya yang kaya. Minimal biar ga dianggap ga sayang anak. Pemalas ketemu pemalas tar kaya apa nasib anak-anaknya. Apa ga sedih kalo punya anak kebluk semua..? Kalo ada sedikit darah rajin dari salah satu pasangan, minimal kan ada usaha perbaikan keturunan.

Kayaknya begitu...
Kaleee...
Hahahaha...

Ilustrasi Translation
Karya Bambang Darto
Tujuh Bintang Art Space
Read More

16 Oktober 2009

Sabar Ga Sabar

Aku kadang merasa tidak adil. Ketika ada yang mengeluh tentang susahnya hidup, mudah banget aku bilang, "sabar..." Tapi sebaliknya kalo aku lagi ngomel tentang kerjaan dan ada yang kasih ucapan sabar, aku malah tambah ngedumel. Hahahaha...

Bisa begini mungkin karena pemahamanku atas kata sabar baru sebatas sebagaimana aku ungkap dalam tulisan lama, tentang laku dan rasa. Kesabaran akan lebih mudah dinikmati bila nasehat itu datang dari diri sendiri. Kalo dinasehati orang lain, paling komentar dalam hati, "emang enak..?"

Ketika aku terpuruk dulu, kebetulan jarang yang menyuruhku bersabar. Yang banyak malah bilang, "kamu lagi kere yah..?" Tapi justru saat itu aku bisa menikmati masa-masa sengsara dengan bahagia.

Padahal kalo aku mau membuka kilas balik dari sejak aku kecil. Banyak sekali cita-citaku yang tercapai walau perlu waktu panjang dan caranya yang berbeda. Ternyata kalo kita sabar, apa yang kita peroleh justru berlipat-lipat dari yang kita inginkan.

Seperti waktu SMP aku pernah kepingin jadi pengurus OSIS. Kayaknya kok asik jadi aktivis. Harapan itu tak juga terkabul. Beberapa tahun berikutnya baru keturutan. Malah ga cuma ngurusi OSIS. Begitu masuk STM ga tau bagaimana awalnya aku kok jadi ngurusi OSIS, Pramuka, PMR termasuk banyak organisasi di luar sekolah. Sampai aku disayang guru dan harus mengulang satu tahun. Asiiik...

Eh, waktu STM aku malah kebeletnya pengen punya motor. Beberapa tahun berikutnya baru terkabul. Malah ga cuma motor, aku bisa mondar-mandir pakai mobil juga. Walau mobil kantor tapi aku diberi wewenang untuk pemakaian tiap hari. Dengan bersabar, keinginanku akan motor dijawab dengan mobil berikut bensin dan servicenya secara gratis. Enjoy...

Berkah orang sabar kalo kita kupas lebih jauh ternyata luar biasa. Seperti cita-citaku punya istri. Suer, aku cuma pengen satu kali saja. Ternyata kesabaranku dibalas Tuhan. Huuuh...

Ilustrasi karya Budi Ubruk
Read More

15 Oktober 2009

Balapan Motor

Walau tidak suka kebut-kebutan, tetap saja motor kuminta bengkel untuk disetel balap. Bukan untuk balapan, tapi sewaktu-waktu aku suka butuh power mesin yang lebih dari umumnya. Seperti ketika harus nguber jambret beberapa waktu lalu. Atau ketika ada tugas luar kota yang butuh gerak cepat.

Aku ga suka usil, tapi kalo ada yang ugal-ugalan otak iseng pasti muncul. Seperti ketika jalan ke Magelang pagi tadi. Ada motor yang motong seenaknya tanpa aba-aba, padahal lalu lintas lagi padat. Aku uber malah zig zag di jalanan. Yaudah, Jogja Magelang jadi cepet nyampe dipake balapan.

Cuman, aku ga suka nyalip kalo lagi balapan begitu. Aku lebih suka nginthil di belakang knalpotnya. Ini permainan psikologi yang sering aku lakukan. Apalagi kalo pas jalan malam di daerah sepi. Kalo kita nyalip, orang akan terpacu untuk nguber. Dengan cara dibuntutin terus, kebanyakan orang bubar konsentrasinya dan kadang sampai was-was ga karuan.

Soalnya aku pernah seperti itu dulu. Sekitar jam 11 malem, dari Wangon sampai Karangpucung aku dibuntutin orang terus. Aku pelan ikut pelan, aku ngebut ikut ngebut. Padahal sepanjang jalan didominasi hutan dan jarang pemukiman. Kebayang ga apa yang aku rasakan saat itu. Ini orang maksudnya apa..? Orang jahat apa malah polisi mau nangkep..? Hahahaha...

Sampai terminal Karangpucung langsung aku berhenti di depan pos DLLAJR. Eh, orang itu malah berhenti di sebelahku. Aku perhatikan kok ga kenal. Mana tampangnya serem lagi. Sebelum aku berpikir lebih jauh, orang itu nanya duluan, "mau ke Sidareja apa Majenang, mas..?"

"Maksudnya..?" tanyaku bingung.
"Kalo ke Sidareja bareng ya, soalnya takut naik motor ga ada temen..."

Howalaaaah....
Emangnya cuma elo yang ketakutan...
Read More

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena