22 Oktober 2009

Kerusakan Bahasa

Panasnya hawa Jogja akhir-akhir ini, membuat istriku malem-malem ribut. "Panas mas, AC-nya dikecilin dong..."

Begitu pegang remote, aku termenung sejenak. Panas, dikecilin... Ini berbeda dengan kebiasaanku di kantor kalo kepanasan malah tereak, "gedein AC, neng. Panas neh..."

Walau akhirnya aku ngeh, kalo kepanasan ya suhunya diturunin atau istilahnya dikecilin, tapi kok rasanya masih ngganjel neh sampe pagi ini. Perasaan tuh lebih nyaman bilang digedein. Ini kayaknya sama seperti pada kasus kalo mau mandi, "krannya dinyalain dulu." Kok dinyalain ya..?

Gejala-gejala kerusakan bahasa ini kayaknya memang sudah lumrah walau tidak diakui oleh EYD (Ejaan yang dirusak...?). Kalo bahasa Jawa malah tidak semena-mena membuang kosa kata ini dengan memasukannya ke ruang rura basa. Bahasa yang tidak bisa dibenarkan tapi sulit untuk dibetulkan karena sudah begitu lumrah. Seperti istilah "nggodog wedhang", yang sebenarnya nggodog air biar jadi wedhang. Menek krambil, yang seharusnya menek glugu, dll dll

Bandingkan dengan ungkapan ini:
"What's in a name? that which we call a rose. By any other name would smell as sweet; So Romeo would, were he not Romeo call'd, Retain that dear perfection which he owes. Without that title. Romeo, doff thy name, And for that name which is no part of thee. Take all myself. (Shakespeare. 1594)

Apalah artinya sebuah nama. Mawar walau dinamai sandal jepit tetap saja manis.
Ngotot banget walau konsisten.


Jadi pengakuan bahasa rusak itu menunjukan basa Jawa lebih akomodatif dan tidak ngotot dengan kosa kata yang ada. Atau malah menunjukkan kengawuran yang semena-mena mengingat semua istilah ditelan mentah sampai sulit dicari persamaan katanya dalam bahasa lain.

Menurut teori kayaknya hanya ada 2 hubungan antara bunyi bahasa dan arti. Yang satu onomatopoeic atau menirukan suara alam, misalnya ‘tokek ‘disebut tokek karena suaranya tokek-tokek. Satunya lagi hubungannya arbitrary, semena-mena, atau ngawur. Kaum naturalis, percaya adanya hubungan intrinsik antara bunyi bahasa dengan makna yang diacu. Sedangkan kaum konvensionalis, beranggapan bahwa hubungan itu hanyalah karena konvensi dan sifatnya sewenang-wenang.

Pemakai bahasa Jawa generasi lama berusaha memaknai arbitrariness kata dan makna. Pemakai bahasa senantiasa berusaha memahami hidup melalui pemaknaan terhadap kata. Seperti fenomena kengawuran basa Jawa lainnya yang sebenarnya bertentangan dengan teori linguistik, yaitu keratabasa.

Pemaksaan makna dalam ruang kerata basa ini tidak hanya berlaku untuk sesuatu yang jadul semacam : gedhang = digeged bar madhang. mendhoan = mendho-mendho dipangan, dll dll. Kata serapan pun dengan sigap dibuat maknanya. Sepur = asepe metu dhuwur. Sepeda = asepe tidak ada.

Tapi walau dikatakan ngawur, ada pemaknaan kata melalui kerata basa yang mengacu pada ide yang lebih bersifat abstrak. Pemaknaan ini lebih mendalam yang berhubungan dengan nilai ketuhanan. Misalnya kata ndelalah atau ndilalah, yang berarti kebetulan ternyata bagi orang Jawa bukan kebetulan sama sekali. Ini menunjukkan sebuah religiositas yang sangat tinggi karena selalu ada campur tangan Tuhan dalam setiap peristiwa, termasuk dalam setiap kebetulan. Sehingga kata ndelalah (ngandel marang Gusti Allah) memunculkan idiom, "ndelalah kersane Ngallah..." Sebuah kepasrahan diri khas Jawa...

Yang paling ancur mungkin ada di komunitas ngapak Banyumasan. Coba saja simak lagunya Sopsan berjudul narkoba. Bisa-bisane narkoba dimaknai nasi rames kopi bakwan, narkotik sebagai nasi rames karo ndog pitik. Kacaw...

Mbuhlah, aku bukan ahli bahasa...
Cari lagi yang lain yo...

Kerikil = keri neng sikil
Keriting = ...
Keripik = ...


Ilustrasi "Kata-kata"
Karya Junaidi MS
Tujuh Bintang Art Space

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena