Seorang teman pemilik konter seluler mengeluhkan persaingan usaha yang makin tidak sehat. Konter hape yang kian menjamur satu persatu berguguran karena tak mampu melawan seleksi alam yang lebih didominasi oleh budaya kapital, modal.
Walau banyak faktor yang jadi penyebab, ada satu budaya sebagian masyarakat kita yang turut berpartisipasi dalam proses menuju kebangkrutan usaha. Kita seringkali takut untuk berinovasi dan hanya menunggu bukti baru mau terjun.
Seperti beberapa tahun lalu, di Sidareja aku dan beberapa orang teman membuat konter hape. Banyak orang melecehkan karena memang waktu itu belum ada sinyal di daerah itu. Untuk bisa berkomunikasi hape harus disambung dengan antena yang menjulang. Padahal dengan mencuri start, begitu BTS dibangun, paling tidak kita sudah punya pengalaman. Dan nyatanya, setelah terlihat konter laris manis, yang namanya konter langsung menjamur bisa sepuluh meter satu.
Ini yang aku anggap budaya agraris. Masyarakat petani yang selalu nrimo dengan yang ada dan jarang mau berpikiran untuk mencoba resiko lain. Asalkan bisa panen sudah senengnya minta ampun. Berapa biaya produksi jarang mau menghitung. Adikku, seorang PPL pernah mengeluh susahnya mensosialisasikan bibit atau metode baru untuk meningkatkan produksi petani cuma karena alasan, belum ada petani lain yang mencoba dan terbukti sukses.
Sama kasus dengan masyarakat sepanjang pantai Jogja. Hidup beratus tahun di pesisir tapi tak pernah melirik laut sebagai sumber penghasilan. Mereka tetap saja bertani, sampai nelayan-nelayan Cilacap mulai berdatangan dan bermukim di Jogja.
Andai saja Thomas Alfa Edison orang Jawa, mungkin sampai saat ini kita masih menggunakan lampu teplok. Bertahun-tahun gagal dengan ribuan eksperimennya tak membuatnya surut untuk menemukan bahan untuk membuat filament lampu bohlam.
Untuk orang muslim mungkin ingat salah satu hadist nabi yang menyuruh kita belajar ke negeri China. Perintah sejak 15 abad lampau itu benar terbukti sekarang. Keuletan bangsa China membuatnya sukses dalam hal ekonomi. Bahkan ketika Amerika dan Eropa masih berkutat dengan krisis global sekarang, China sudah bisa bangkit dan berani menargetkan pertumbuhan ekonomi sampai 9%.
Banyak memang tetangga kita yang belajar kesana. Tapi bukan keuletan dan cerdasnya menangkap peluang yang dipelajari. Cuma pelitnya saja yang diambil.
Aku sendiri sudah membuktikan bahwa keuletan dan pantang mundur dalam berinovasi pada akhirnya bisa mendatangkan hasil. Seperti ketika dokter memvonis istriku kandungannya tidak subur dan sangat sulit untuk bisa hamil. Aku cuekin dokternya dan maju perut pantat mundur, alhamdulillah jadi juga.
Thanks berat, Tuhan...
Walau banyak faktor yang jadi penyebab, ada satu budaya sebagian masyarakat kita yang turut berpartisipasi dalam proses menuju kebangkrutan usaha. Kita seringkali takut untuk berinovasi dan hanya menunggu bukti baru mau terjun.
Seperti beberapa tahun lalu, di Sidareja aku dan beberapa orang teman membuat konter hape. Banyak orang melecehkan karena memang waktu itu belum ada sinyal di daerah itu. Untuk bisa berkomunikasi hape harus disambung dengan antena yang menjulang. Padahal dengan mencuri start, begitu BTS dibangun, paling tidak kita sudah punya pengalaman. Dan nyatanya, setelah terlihat konter laris manis, yang namanya konter langsung menjamur bisa sepuluh meter satu.
Ini yang aku anggap budaya agraris. Masyarakat petani yang selalu nrimo dengan yang ada dan jarang mau berpikiran untuk mencoba resiko lain. Asalkan bisa panen sudah senengnya minta ampun. Berapa biaya produksi jarang mau menghitung. Adikku, seorang PPL pernah mengeluh susahnya mensosialisasikan bibit atau metode baru untuk meningkatkan produksi petani cuma karena alasan, belum ada petani lain yang mencoba dan terbukti sukses.
Sama kasus dengan masyarakat sepanjang pantai Jogja. Hidup beratus tahun di pesisir tapi tak pernah melirik laut sebagai sumber penghasilan. Mereka tetap saja bertani, sampai nelayan-nelayan Cilacap mulai berdatangan dan bermukim di Jogja.
Andai saja Thomas Alfa Edison orang Jawa, mungkin sampai saat ini kita masih menggunakan lampu teplok. Bertahun-tahun gagal dengan ribuan eksperimennya tak membuatnya surut untuk menemukan bahan untuk membuat filament lampu bohlam.
Untuk orang muslim mungkin ingat salah satu hadist nabi yang menyuruh kita belajar ke negeri China. Perintah sejak 15 abad lampau itu benar terbukti sekarang. Keuletan bangsa China membuatnya sukses dalam hal ekonomi. Bahkan ketika Amerika dan Eropa masih berkutat dengan krisis global sekarang, China sudah bisa bangkit dan berani menargetkan pertumbuhan ekonomi sampai 9%.
Banyak memang tetangga kita yang belajar kesana. Tapi bukan keuletan dan cerdasnya menangkap peluang yang dipelajari. Cuma pelitnya saja yang diambil.
Aku sendiri sudah membuktikan bahwa keuletan dan pantang mundur dalam berinovasi pada akhirnya bisa mendatangkan hasil. Seperti ketika dokter memvonis istriku kandungannya tidak subur dan sangat sulit untuk bisa hamil. Aku cuekin dokternya dan maju perut pantat mundur, alhamdulillah jadi juga.
Thanks berat, Tuhan...
Ilustrasi Mencoba Bertahan
Karya Katirin
Tujuh Bintang Art Space
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih