Pagi-pagi sudah ada yang jingkrak-jingkrak di pertigaan Babarsari lalu menghampiri kendaraan yang berhenti di lampu merah. Ketika sampai di sebelahku, seperti biasa aku angkat tangan mohon maaf cuma bisa kasih senyum terindah di pagi hari. Senyumku dibalas dengan sapaan ramah mereka, "nguri-uri budaya tradisional, pak.."
"Lha, piye.." aku jadi penasaran.
"Yo, nyumbang..."
Hoalah, kirain mau ceramah kebudayaan. Buntut-buntutnya minta duit juga.
Aku sebenarnya salut dengan kemauan mereka ngamen jathilan. Mereka mau melestarikan budaya bangsa seperti kata mereka "nguri-uri budaya". Tapi aku juga punya pendapat kalo mereka salah tempat. Jadinya terkesan bukan sekedar nguri-uri budaya bangsa, tapi melestarikan budaya meminta-minta juga.
Tidak cuma ngamen jathilan. Pengamen genjrang genjreng, orang cacat, anak kecil yang ada di jalanan aku tak pernah punya keinginan untuk berbagi. Kepedulian di lampu bangjo hanya akan menarik lebih banyak anak-anak ke jalan. Di jalan aku tak pernah terpikir untuk cari hiburan. Yang ada hanya cepat sampai ke tujuan.
Beda kalo aku lagi nongkrong di alun-alun kraton atau lesehan Malioboro. Kehadiran pengamen yang sebenarnya malah aku tunggu-tunggu. Karena aku lebih suka ngasih uang 20 ribu tapi bisa pesen lagu sealbum, daripada yang jrang jreng dikasih seribu langsung kabur. Sama aja mereka dengan pengemis.
Dengan ngamen di tempat yang tepat, dimana orang memang berniat mencari hiburan, aku kira pendapatan mereka bisa lebih banyak. Seperti pengamen campursari yang sedang istirahat ngopi bareng di alun-alun kidul pernah aku ajak ngobrol. Sehari bisa dapat 500 ribu lebih. Hasilnya dibagi rata dengan kru yang berjumlah 4 orang. Kalo musim liburan malah bisa mengingkat dua tiga kali lipat.
Untung pengamen Jogja bukan lah pengamen Jakarta yang suka menggores mobil kita dengan paku bila dicuekin. Ketidakpedulian kita masih bisa mereka tolerir. Kalo di Jakarta, ngasih receh bukannya untuk cari hiburan. Tapi buang sial atau bayar keamanan kendaraan. Huuuh...
Untuk pengemis, aku melihat mereka memang orang yang patut dikasihani, tapi bukan dengan jalan memberi uang. Anak-anak jalanan hanyalah korban dari orang-orang dewasa yang jadi koordinator yang kerapkali menggunakan kekerasan untuk menentukan nilai setoran. Kecacatan tubuh bukan untuk dijual ditepi jalan. Bayi pun bukan komoditi untuk dijemur di perempatan jalan.
Apalagi pengemis yang masih muda dan berbadan sehat. Aku jadi ingat di daerah Brebes, ada satu desa yang mayoritas penduduknya kerja diluar kota, sebagai pengemis. Walau sudah dikenal dengan desa pengemis, tapi rumah-rumah disitu jauh lebih mewah dibanding kontrakan kumuh teman-temanku di Jakarta yang statusnya karyawan.
Kita (terutama pemerintah) harus peduli dengan mereka. Tapi caranya seperti apa itu yang harus kita pikirkan. Razia Pol PP dan recehan kita tak akan mencapai sasaran. Sama seperti anggaran pemerintah untuk pengentasan kemiskinan yang selalu bocor di jalan sebelum sampai tujuan.
"Lha, piye.." aku jadi penasaran.
"Yo, nyumbang..."
Hoalah, kirain mau ceramah kebudayaan. Buntut-buntutnya minta duit juga.
Aku sebenarnya salut dengan kemauan mereka ngamen jathilan. Mereka mau melestarikan budaya bangsa seperti kata mereka "nguri-uri budaya". Tapi aku juga punya pendapat kalo mereka salah tempat. Jadinya terkesan bukan sekedar nguri-uri budaya bangsa, tapi melestarikan budaya meminta-minta juga.
Tidak cuma ngamen jathilan. Pengamen genjrang genjreng, orang cacat, anak kecil yang ada di jalanan aku tak pernah punya keinginan untuk berbagi. Kepedulian di lampu bangjo hanya akan menarik lebih banyak anak-anak ke jalan. Di jalan aku tak pernah terpikir untuk cari hiburan. Yang ada hanya cepat sampai ke tujuan.
Beda kalo aku lagi nongkrong di alun-alun kraton atau lesehan Malioboro. Kehadiran pengamen yang sebenarnya malah aku tunggu-tunggu. Karena aku lebih suka ngasih uang 20 ribu tapi bisa pesen lagu sealbum, daripada yang jrang jreng dikasih seribu langsung kabur. Sama aja mereka dengan pengemis.
Dengan ngamen di tempat yang tepat, dimana orang memang berniat mencari hiburan, aku kira pendapatan mereka bisa lebih banyak. Seperti pengamen campursari yang sedang istirahat ngopi bareng di alun-alun kidul pernah aku ajak ngobrol. Sehari bisa dapat 500 ribu lebih. Hasilnya dibagi rata dengan kru yang berjumlah 4 orang. Kalo musim liburan malah bisa mengingkat dua tiga kali lipat.
Untung pengamen Jogja bukan lah pengamen Jakarta yang suka menggores mobil kita dengan paku bila dicuekin. Ketidakpedulian kita masih bisa mereka tolerir. Kalo di Jakarta, ngasih receh bukannya untuk cari hiburan. Tapi buang sial atau bayar keamanan kendaraan. Huuuh...
Untuk pengemis, aku melihat mereka memang orang yang patut dikasihani, tapi bukan dengan jalan memberi uang. Anak-anak jalanan hanyalah korban dari orang-orang dewasa yang jadi koordinator yang kerapkali menggunakan kekerasan untuk menentukan nilai setoran. Kecacatan tubuh bukan untuk dijual ditepi jalan. Bayi pun bukan komoditi untuk dijemur di perempatan jalan.
Apalagi pengemis yang masih muda dan berbadan sehat. Aku jadi ingat di daerah Brebes, ada satu desa yang mayoritas penduduknya kerja diluar kota, sebagai pengemis. Walau sudah dikenal dengan desa pengemis, tapi rumah-rumah disitu jauh lebih mewah dibanding kontrakan kumuh teman-temanku di Jakarta yang statusnya karyawan.
Kita (terutama pemerintah) harus peduli dengan mereka. Tapi caranya seperti apa itu yang harus kita pikirkan. Razia Pol PP dan recehan kita tak akan mencapai sasaran. Sama seperti anggaran pemerintah untuk pengentasan kemiskinan yang selalu bocor di jalan sebelum sampai tujuan.
jajal rika nggawa mobil meng jakarta lah. tek amplas sekalian mobile.
BalasHapusSekalian dicat yo..?
BalasHapus