27 Juni 2011

Dunia Yang Tersisihkan

Dunia anak adalah dunia bermain dan dunia yang harus selalu ceria. Hal yang paling serius pun bila dilakukan anak-anak, tetap unsur bermainnya tak bisa ditinggalkan begitu saja. Seperti misalnya saat aku kecil dulu. Harus menggembala kambing ke tepi hutan sambil cari kayu bakar, mancing ikan di sungai atau cari belut di sawah. Tak pernah kepikiran kalo itu untuk membantu orang tua. Lebih cenderung aku rasakan sungai, sawah dan hutan memang tempat bermainku.

Sayangnya masalah bermain ini kadang dilupakan oleh kita sebagai orang tua. Terlebih di pedalaman seperti di sini. Masyarakat sekitar tambang yang kena imbas langsung maupun tak langsung, memang dibantu oleh perusahaan melalui program CSR atau Comdev. Namun program itu lebih sering ditujukan ke orang tua dengan memberikan bantuan modal, ternak atau fasilitas air bersih.

Padahal anak-anak juga merasakan imbasnya secara langsung. Tempat bermain mereka berkurang karena digusur perusahaan. Mereka tak bisa bebas keluyuran seperti dulu karena kendaraan dan alat berat lalu lalang di sekitar mereka. Mungkin karena mereka tak bisa demo seperti orang-orang tua, hak mereka jadi terlupakan. Padahal naluri bermain mereka tak pernah bisa hilang sehingga mereka pun bermain dengan apa yang mereka temukan di sekitar. Termasuk kubangan bekas alat berat lewat walaupun tercemar limbah yang tentunya kurang baik untuk kesehatan.

Tak bisa kita salahkan mereka yang mandi lumpur berlimbah, karena bermain adalah tuntutan jiwa anak-anak. Dipaksa mengikuti pola permainan anak-anak kota pun sangat sulit, karena disana listrik dan sinyal hape saja tidak ada. Lagipula, tidak semestinya mereka dibawa ke dunia pesbuk atau game, hanya karena tempat bermain mereka tergusur kepentingan ekonomi industri.

Sedih juga melihat kenyataan semacam itu.
Entah kapan mereka tak lagi terjajah dan bebas bermain...?

Mobile Post via XPeria



3 comments:

  1. yo macem macem paklek...
    oli dan sebagainya. apalagi disini batubaranya berkalori rendah yang mudah larut dalam air. sedih lah pokoknya...

    BalasHapus
  2. aku lebih memilih menjadi mereka mas, tak kenal handphone dan teknologi seperti di kota, miris lagi bahkan tempat bermain yang diciptakan Tuhan pun direnggut ... naluri bermain memang tak bisa dipaksakan... terima kasih telah posting tentang dunia anak anak yg cukup bikin kepikiran ... fiuhhhh

    BalasHapus
  3. Maen gundu/kelereng, ucing sumput, boy-boyan, benteng2an...ahhh masa2 indah itu, akankah terulang kembali?

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena