Masih suntuk tentang pelayanan penerbangan, malah nemu artikel ini, Kisah dibalik delay.
Hebat dah...
Pertumbuhan penumpang Indonesia sampai 3 kali lipat pertumbuhan dunia. Ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi tinggi, atau ketertinggalannya yang keterlaluan sebelumnya. Apapun itu, terus terang salut deh...
KOMPAS.com — Pertumbuhan penumpang angkutan udara di Indonesia pada 2010 mencapai 22,39 persen. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan dunia sebesar 8,20 persen. Jelaslah negara ini masih berada dalam fase euforia terbang. Kita belum tahu kapan euforia itu berhenti. Belum tahu di angka persentase berapakah pertumbuhan yang pas untuk 230 juta penduduk. Angkanya masih terus bergerak. Pesawat terus ditambah untuk menerbangkan lebih banyak penduduk.
Hebat dah...
Pertumbuhan penumpang Indonesia sampai 3 kali lipat pertumbuhan dunia. Ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi tinggi, atau ketertinggalannya yang keterlaluan sebelumnya. Apapun itu, terus terang salut deh...
Namun, di tengah upaya ”mengudarakan” lebih banyak orang, ada pengalaman tak nyaman seperti penundaan penerbangan. Manajemen Lion Air yang hari-hari ini kerap delay¯pun membuka wawasan kita bahwasanya delay adalah harga mahal pertumbuhan udara yang fantastis itu.
”Kalau mau aman, dapat saja di tiap rute disiapkan pesawat cadangan. Tapi cost-nya, biaya produksinya, terlalu tinggi sehingga pembebanannya ke tarif. Dengan tarif tinggi, tak semua orang mampu terbang. Tak ada itu, Jakarta-Surabaya cuma Rp 350.000,” kata Direktur Umum Lion Air Edward Sirait.
Sapa bilang Lion sekarang paling murah dibanding yang lain. Di beberapa rute, tarifnya melebihi tiket Garuda yang pelayanannya lebih baik. Walau tarifnya kadang murah, tapi liat dulu jumlah seat pesawatnya. Jarak antar kursi dibikin rempet bak kursi metromini biar muat penumpang lebih banyak. Kalo perumnas, mungkin masuk kategori RSSSSSS (rasanya sangat sempit sekali sampe susah selonjor...)
Banyaknya jumlah penumpang sekali angkut, pastinya berpengaruh ke kecepatan antrian penumpang, menemukan tempat duduk, mengatur bagasi kabin plus berbagai kegiatan di darat sebelum boarding. Harusnya diantisipasi dengan membuat jadwal penerbangannya diulur lebih panjang dong. Belum lagi masalah kelambatan mengurus penumpang transit dan carut marut soal pengelolaan bagasinya. Apalagi kalo ada penumpang yang sedikit udik dan butuh bantuan. Wong pejabat sekelas Roy Sukro saja naik pesawat masih beloon...
Keterlambatan Lion pun sebenarnya diawali migrasi sistem untuk pelayanan yang lebih baik saat jumlah pilot makin banyak. Kekacauan serupa juga pernah dialami Garuda Indonesia pada November 2010 akibat migrasi sistem. Lion, dengan 80 pesawat, kini memang merajai kepulauan ini dengan penguasaan 48 persen pasar. Kuncinya, pengoptimalan utilisasi pesawat dengan pengaturan terbang ke sejumlah kota. Namun, delay 10 menit di rute pertama, memicu delay 20 menit di rute kedua. Saling berentet.
Kekacauan parah Garuda perasaan hanya terjadi saat transisi sistem. Sebelum dan sesudahnya, adem ayem dan keterlambatan masih bisa dibilang wajar untuk kelas Indonesia Raya. Kalo melihat Garuda kacau saat transisi sistem, kenapa tidak belajar dari sana. Memangnya perusahaan sekelas Lion Air tak punya masterplan bisnis yang memperhitungkan kapan sistem berjalan akan overload, ketika jumlah armada bertambah. Pernyataan ini seolah-olah membeberkan kekatrokan manajemen yang tidak bisa mengantisipasi perkembangan bisnisnya.
Di brosur Lion tertulis Boeing 737-900ER total 178 units, 47 units in service dan 131 units on order. Kalo memang punya rencana menambah armada sampai sekian ratus unit, kenapa tidak dari awal disiapkan untuk sebanyak itu. Tidakkah pihak manajemen tak punya pengalaman bahwa mengganti atau mengobati setelah menjadi borok lebih sulit dibanding menyiapkan dari awal. Kalopun sembuh, masih perlu waktu untuk memuluskan kembali belang-belang bekas lukanya.
Akan tetapi, dalam banyak kasus lain, delay bukan monopoli kesalahan pilot atau manajemen. Ada banyak faktor penyebab delay. Mulai dari alasan klasik, seperti cuaca buruk hingga kerusakan pesawat tanpa dukungan pesawat cadangan. Di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, kini delay mulai dipicu keterlambatan awak pesawat. Akar masalahnya, lalu lintas kota yang sulit diprediksi, diperparah tak adanya transportasi massal yang ”bebas hambatan” menuju bandara.
Ini aneh. Sudah tahu kondisinya seperti itu, kenapa tidak diantisipasi dengan menjemput kru kabin lebih awal. Untuk penumpang saja tertulis di tiket, check in paling lambat 45 menit sebelum penerbangan. Kayaknya sudah umum, penumpang tiba di bandara 2 jam sebelum jadwal. Masa awak pesawat tidak bisa dan melempar kesalahan ke penumpang. Penumpang terlambat saja boleh kok ditinggal. Kenapa pilot terlambat ga boleh ditinggal...
Yang tak dipahami penumpang, terkadang delay akibat keterbatasan bandara. Landasan pacu, runway, yang hanya satu kerap menghambat pergerakan pesawat. Minimnya fasilitas terminal juga memperlambat penumpang naik-turun.
Apa itu alasan operasionalnya..?
Tak pernah ada jawaban yang menentramkan hati. Mencoba bertanya, seringkali dijawab sekenanya. Tanya lagi malah dijutekin. Kalo dikomplen, konsumen adalah raja. Malah dijawab, raja yang baik tidak suka rewel...
Malang bagi maskapai penerbangan, penumpang tak mau mengerti. Kompensasi makanan dituntut ada. Meski berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008, kompensasi disediakan maskapai penerbangan hanya karena maskapai bersalah. Delay karena cuaca buruk mestinya tak membuahkan kompensasi.
Akibatnya, maskapai yang ketiban pulung. Sial. Lima pesawat saja delay, maskapai harus mencari 1.000 paket makanan. Bukan hal mudah. Belum lagi, harus mencari 1.000 kamar hotel. Mungkin penumpang menuding maskapai mencari 1.000 alasan ketika delay. Tapi, delay bukan urusan sederhana, Bung....
Tuh kan, penumpang lagi yang disalahin....
Dimana-mana bisnis tuh ga bisa untung terus. Kemungkinan merugi kan sudah diperhitungkan dari awal dan ditutup dengan subsidi silang. Yang nutup kerugiannya tetap saja kembali konsumen. Kalo soal kompensasi yang dipermasalahkan, terus terang aku tak pernah menginginkan adanya kompensasi. Bisa terbang tepat waktu buatku sudah cukup. Kalopun harus telat, aku mau ada penjelasan pasti disertai senyum manis. Sukur-sukur yang senyum mau nemenin ngobrol.
Aneh juga mempermasalahkan Kepmen tentang kompensasi. Sudah jelas diatas tertulis, tidak berlaku hanya untuk alasan cuaca. Padahal yang sering aku alami tuh delay karena alasan operasional tadi. Apakah alasan operasional itu bukan kesalahan perusahaan..? Apakah memberikan tarif murah juga bukan kesalahan perusahaan..? Apakah, apakah dan pasti akan banyak sekali apakah yang lain kalo bicara soal ini.
Dan ada satu lagi apakah yang paling penting.
Apakah tidak sebaiknya maskapai mengganti pengumumannya itu..?
Atengsiong pliss...
Penumpang Delay Airlines...
Pesawat dengan nomor penerbangan JT...
Sekali lagi JT... Alias Juragan Telat...
Terlambat karena anda bayarnya kurang...
Bayar murah kok mau slamet...
well....
BalasHapussalah satu efek pajak tuh... :D
Tapi memang bener sih, ada harga ada mutu, kalo mau pesawat yg terjamin, on time, servicenya bagus, mau ga mau ya keluarin kocek lebih besar...
BalasHapusAku sih kok kebetulan gak pernah delay, hahaha... Aku naik pesawat bisa diitung setahun berapa kali sih...
BalasHapusitulah makanya saya tidak pernah pakai pesawat terbang he he..
BalasHapusSepertinya transportasi di Indonesia dari hari ke hari makin jelek. Tidak darat, udara dan laut. Waktu pun menjadi korban, banyak yang terbuang karena alasan transportasi:)
BalasHapusMacet, delay, macet, delay
Lion jagoan telat, aku nggak pernah terkejut. Berapa kali aku nolak terbang dengan pesawat sore, karena pesawat sore hampir selalu delay, berkat pesawat siang sudah delay duluan.
BalasHapusKompensasi makanan tidak pernah cukup untuk mengganti kerugian konsumen. Konsumen kehilangan banyak waktu yang berharga gara-gara jadwal penerbangan tertunda. Dan waktu itu tidak bisa diganti dengan uang. Maka kuncinya, maskapai harus disiplin mematuhi jadwal penerbangan. Alasan keterlambatan awak nggak boleh ada. Kalau perlu, suruh pilot dan pramugarinya menginap di dalam bandara!
wadu,,,,
BalasHapusrepot bgt klo murah itu g slamat,,,
ana rega ana rupa ya
BalasHapusyaahh waspadalah bagi yang sering naik si singa udara :D
BalasHapusKalo pilot ditinggal, trus yang nyopiri pesawat siapa, Bro? Sampeyan? Lah, sampeyan kan dari tadi asyik ngobrol dengan yang tersenyum manis itu tadi... :D :D :D
BalasHapusNaik pesawat gara2 ke Malaysia ;D
BalasHapus