13 Juni 2011

Keselamatan Kerja

Niat awalnya adalah memberdayakan masyarakat setempat. Warga sekitar tambang, terutama yang tanahnya dibebaskan untuk penambangan diberi kemudahan untuk menjadi karyawan perusahaan. Warga lokal juga diberi kesempatan untuk andil dalam bisnis pengangkutan batu bara sebagai sub kontraktor dump truck.

Warga yang tidak mampu membeli dump truck secara tunai, dibantu proses leasingnya. DP senilai 100 juta cukup dibayar sebagian dan kekurangannya ditalangi perusahaan untuk kemudian dicicil dengan cara dipotong dari penghasilan, berikut pembayaran angsuran bulanannya. Untuk yang tidak memiliki dana tunai, bisa membayar DP dengan lahan seluas 3 hektar. Dengan catatan, lahan tersebut memang diperlukan oleh perusahaan.

Namun bagaimanapun juga, kapasitas perusahaan ada batasnya. Kemampuan menampung karyawan tak mungkin selamanya ditambah tanpa melihat kapasitas produksi. Sayangnya hal ini kurang bisa dimengerti oleh masyarakat setempat. Pihak HRD sampai mumet menghadapi ancaman ketika ada warga yang melamar kerja dan harus ditolak, karena jumlah karyawan memang sudah over dosis.

Masalah penerimaan karyawan dengan jalur khusus itu juga membuat perusahaan mulai kerepotan. Tanpa screening, menjadikan skill karyawan seringkali tidak sesuai yang dibutuhkan. Pekerjaan yang oleh karyawan kiriman dari Jakarta bisa diselesaikan oleh satu orang, bila diserahkan kepada karyawan lokal, kadang butuh sampai 3 orang. Diajari untuk belajar cepat juga susahnya minta ampun. Tak heran bila pada akhirnya, mereka merasa terjajah karena hanya bisa bekerja di level terbawah dengan pendapatan minim.

Yang agak mencolok dalam hal keselamatan kerja. Merasa menjadi "yang punya kawasan" etos kerja mereka seringkali semau gue. Diperingatkan bukannya sadar, tak jarang malah balik mengancam. Tak aneh bila ada satu pemeo untuk karyawan kiriman. Kalo bisa bertahan sampai tiga bulan, sudah berhak menyandang gelar jagoan.

Sekedar menyosialisasikan pengenaan helm, rompi dan sepatu safety saja butuh waktu berbulan-bulan. Dump truck pengangkut batu bara wajib ditutup terpal untuk menghindari batu jatuh sama saja susahnya. Larangan merokok dan membawa sepeda motor masuk ke tambang masih belum jelas kapan bisa dipatuhi. Akibatnya kecelakaan demi kecelakaan seringkali terjadi.

Aku sendiri suka pesimis. Kapan daerah-daerah seperti ini bisa maju jika orang-orangnya terus saja bersikukuh dengan ketertinggalannya. Padahal setiap kali ada permasalahan, perusahaan juga yang dituntut dengan alasan yang kadang tak masuk akal. Seperti ketika gajian selalu telat karena pihak keuangan kerepotan dengan cara pembayaran tunai. Dibuat aturan gajian harus lewat rekening bank. Saat ada karyawan yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas sepulang dari ATM, perusahaan dipersalahkan. Katanya, gara-gara gajian lewat bank, karyawan sampai meninggal.

Carut marutnya soal safety ini kadang merembet ke orang yang seharusnya lebih tahu tentang pentingnya keselamatan kerja. Seperti tamu yang mungkin merasa tidak aman menggunakan sopir tambang, dia maksa nyupir sendiri. Padahal ketentuan nyupir di jalur tambang berbeda dengan di jalan raya yang harus selalu ambil kiri. Lagi pula, untuk bisa masuk tambang, sebenarnya sopir harus punya SIMPER, SIM khusus untuk pertambangan.

Seperti beberapa hari lalu juga ada tamu asing yang nyupir sendiri. Saat muter-muter tambang memang tidak ada masalah. Saat parkir, mobilnya mundur sampe nyebur selokan. Ternyata tukang parkirnya si Mister Amblas yang memang suka bikin ulah. Agak rame juga tuh tamu ribut sama si Amblas walau ga sampe berantem.

"What are you doing..?"
"Kan ai dah spik, bekstritnya litel-litel onli, mister..."
"You shout good... good... You don't say stop..?"
"Wai yu atret kontinyu..? Ai spik got.. got.. selokan, mister... selokan..."

Aku ga bisa ngomong apa-apa dah...

3 comments:

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena