Jurnal tentang aniversary kemaren, ternyata mengundang rasa penasaran beberapa temen. Banyak yang tidak percaya kalo keluarga kecilku ini dimulai dengan pertemuan singkat yang berawal dari perkenalan di blog. Pertanyaan paling banyak di YM adalah, kok bisa sih...?
Mungkin hanya teman-teman yang sudah ngeblog bareng sejak 5 tahun lalu saja yang mengerti latar belakangnya. Untuk teman baru, apalagi yang masih muda-muda, aku yakin teramat susah untuk bisa menerima ini. Pola pikir mereka sama dengan jaman aku muda dulu. Menganggap pernikahan adalah sesuatu yang teramat sakral dan membutuhkan pendekatan yang teramat panjang. Menganggap cinta adalah segalanya, sehingga terlalu sibuk memupuk cinta sampai-sampai lupa bahwa membangun keluarga tak hanya butuh itu saja. Begitu banyak hal yang berubah dari diri kita setelah memasuki jenjang pernikahan. Masalah anak, ekonomi, lingkungan dan yang pasti kejenuhan setiap waktu makan tidur bersama, membutuhkan yang namanya komunikasi.
Bicara komunikasi memang teramat gampang. Baru terasa susah ketika kita sudah menjalaninya dan nemu hal-hal yang tidak enak. Yang aku alami, berkali-kali mencoba menjalin hubungan atas dasar cinta justru sulit untuk membuka komunikasi sepenuhnya. Mau menyampaikan suatu kenyataan yang kurang bagus, seringkali dihantui rasa ketakutan. Jangan-jangan kalo aku ngomong, dia kecewa dan ninggalin. Sedikit demi sedikit aku jadi belajar untuk berbohong. Dan ketika kebohongan-kebohongan kecil itu terbuka dengan kondisi sudah terakumulasi, lebih susah lagi untuk mengatasinya.
Dengan tidak adanya rasa yang berlebihan, aku justru lebih gampang untuk mengatakan semuanya termasuk yang paling ga enak. Yang terpikir saat itu, suka ga suka ya terserah kamu, wong kenyataannya begini. Kenyataannya, setelah ngerti istri bisa menerima keburukan itu, dengan sendirinya aku sadar untuk memperbaikinya menjadi lebih baik. Tanpa paksaan atau rasa terpaksa. Dan ketika rasa sayang dan cinta makin membesar, aku sudah terbiasa dengan yang namanya keterbukaan. Semua masalah yang terjadi diselesaikan saat menjelang tidur dengan damai sambil kelonan. Ini rekor tertinggiku, dua tahun hidup bersama belum pernah sampai berantem. Padahal sebelum-sebelumnya, pacaran beberapa bulan saja pasti sudah merasakan apa yang dinamakan cekcok. Kalo sekedar adu mulut sih, baru beberapa hari juga sudah kejadian.
Saat ceting kemarin, ada temen cewek yang kondisinya mirip aku dan istri dulu. Usia menjelang 35 tapi belum juga menemukan jodoh. Membaca ceritaku, dia bilang, itu kan cowok ga banyak beban. Sebenarnya sama saja. Istriku juga bukan cowok dan dia bisa berpikir sama. Berkali-kali mencoba mencari jodoh melalui pacaran tapi selalu saja gagal, kenapa tidak mencoba untuk tanpa pacaran. Toh pake pacaran apa engga resikonya sama, bisa awet bisa bubar jalan. Tidak ada jaminan garansi sama sekali.
Kalo masih ada rasa ragu-ragu, tunda dulu punya anak biar kalo bermasalah tidak ribet. Apalagi buat cewek yang semakin tinggi usia, semakin takut cowok untuk mendekat. Terutama yang tinggal di kampung yang masyarakatnya katrok. Andai kata gagal, ambil saja hikmahnya. Minimal bisa berubah status dari perawan tua menjadi janda kembang. Coba aja bandingin, apa konotasi yang timbul saat mendengar dua istilah itu dan pilih yang mana.
Aku juga sama. Niatku dulu mau menunda punya anak sampai setahun agar bisa saling mengenal lebih dekat dulu. Eh, baru dua tiga bulan sudah merasa mantep dengan pasangan. Akhirnya ya jreknong deh, terlahirlah Citra.
Seperti ceroboh memang. Tapi ini cuma belajar dari pengalaman dan mencoba mencari alternatif baru setelah semua yang diyakini semula tidak berhasil. Walau banyak pemalsuan identitas di internet, aku pikir untuk seorang blogger itu berbeda. Dengan membaca tulisan-tulisannya secara runtut dari awal sampai akhir, minimal kita bisa membaca sedikit tentang watak penulisnya. Kalo carinya di room ceting atau pesbuk, mana aku berani. Susah cari dalil shahihnya. Walnekatun minal iman tuh mana ada..?
Cuma itu yang bisa aku sampaikan ke temen yang hampir uzur, kebelet nikah tapi gagal maning gagal maning. Masa depan anak-anak kan paling utama nantinya. Anak sekarang rata-rata baru mandiri di umur 25 tahun. Kalo umur sudah 35, perlu dipikirkan apakah di saat umur 60 tahun nanti masih mampu membiayai mereka. Rejeki sudah ada yang ngatur memang. Tapi apakah itu berarti kita tak wajib mempersiapkan segala sesuatunya..?
Belajar dari pengalaman, itu saja yang aku jadikan pegangan saat membuat keputusan dengan ibue Citra dulu. Komitmen untuk menjalani hidup bersama suka dan duka dalam arti kata yang sebenarnya sudah cukup dijadikan modal. Masa bolak balik pacaran gagal, masih tetap ngotot pacaran lagi. Keledai saja tak pernah terperosok ke lubang yang sama. Kecuali kondisinya sudah seperti aku sekarang, ya harus ikhlas selalu masuk ke lubang yang sama. Nyoba yang lain pengen benjut apa..?
Segala keputusan ada di tanganmu, teman.
Aku cuma cerita tentang pengalaman pribadi.
Tuntutlah ilmu sampe ke negeri China
Tapi bener engga ilmu itu salah sampe mau dituntut segala..?
Dah ah...
Mulai ngaco...
Mungkin hanya teman-teman yang sudah ngeblog bareng sejak 5 tahun lalu saja yang mengerti latar belakangnya. Untuk teman baru, apalagi yang masih muda-muda, aku yakin teramat susah untuk bisa menerima ini. Pola pikir mereka sama dengan jaman aku muda dulu. Menganggap pernikahan adalah sesuatu yang teramat sakral dan membutuhkan pendekatan yang teramat panjang. Menganggap cinta adalah segalanya, sehingga terlalu sibuk memupuk cinta sampai-sampai lupa bahwa membangun keluarga tak hanya butuh itu saja. Begitu banyak hal yang berubah dari diri kita setelah memasuki jenjang pernikahan. Masalah anak, ekonomi, lingkungan dan yang pasti kejenuhan setiap waktu makan tidur bersama, membutuhkan yang namanya komunikasi.
Bicara komunikasi memang teramat gampang. Baru terasa susah ketika kita sudah menjalaninya dan nemu hal-hal yang tidak enak. Yang aku alami, berkali-kali mencoba menjalin hubungan atas dasar cinta justru sulit untuk membuka komunikasi sepenuhnya. Mau menyampaikan suatu kenyataan yang kurang bagus, seringkali dihantui rasa ketakutan. Jangan-jangan kalo aku ngomong, dia kecewa dan ninggalin. Sedikit demi sedikit aku jadi belajar untuk berbohong. Dan ketika kebohongan-kebohongan kecil itu terbuka dengan kondisi sudah terakumulasi, lebih susah lagi untuk mengatasinya.
Dengan tidak adanya rasa yang berlebihan, aku justru lebih gampang untuk mengatakan semuanya termasuk yang paling ga enak. Yang terpikir saat itu, suka ga suka ya terserah kamu, wong kenyataannya begini. Kenyataannya, setelah ngerti istri bisa menerima keburukan itu, dengan sendirinya aku sadar untuk memperbaikinya menjadi lebih baik. Tanpa paksaan atau rasa terpaksa. Dan ketika rasa sayang dan cinta makin membesar, aku sudah terbiasa dengan yang namanya keterbukaan. Semua masalah yang terjadi diselesaikan saat menjelang tidur dengan damai sambil kelonan. Ini rekor tertinggiku, dua tahun hidup bersama belum pernah sampai berantem. Padahal sebelum-sebelumnya, pacaran beberapa bulan saja pasti sudah merasakan apa yang dinamakan cekcok. Kalo sekedar adu mulut sih, baru beberapa hari juga sudah kejadian.
Saat ceting kemarin, ada temen cewek yang kondisinya mirip aku dan istri dulu. Usia menjelang 35 tapi belum juga menemukan jodoh. Membaca ceritaku, dia bilang, itu kan cowok ga banyak beban. Sebenarnya sama saja. Istriku juga bukan cowok dan dia bisa berpikir sama. Berkali-kali mencoba mencari jodoh melalui pacaran tapi selalu saja gagal, kenapa tidak mencoba untuk tanpa pacaran. Toh pake pacaran apa engga resikonya sama, bisa awet bisa bubar jalan. Tidak ada jaminan garansi sama sekali.
Kalo masih ada rasa ragu-ragu, tunda dulu punya anak biar kalo bermasalah tidak ribet. Apalagi buat cewek yang semakin tinggi usia, semakin takut cowok untuk mendekat. Terutama yang tinggal di kampung yang masyarakatnya katrok. Andai kata gagal, ambil saja hikmahnya. Minimal bisa berubah status dari perawan tua menjadi janda kembang. Coba aja bandingin, apa konotasi yang timbul saat mendengar dua istilah itu dan pilih yang mana.
Aku juga sama. Niatku dulu mau menunda punya anak sampai setahun agar bisa saling mengenal lebih dekat dulu. Eh, baru dua tiga bulan sudah merasa mantep dengan pasangan. Akhirnya ya jreknong deh, terlahirlah Citra.
Seperti ceroboh memang. Tapi ini cuma belajar dari pengalaman dan mencoba mencari alternatif baru setelah semua yang diyakini semula tidak berhasil. Walau banyak pemalsuan identitas di internet, aku pikir untuk seorang blogger itu berbeda. Dengan membaca tulisan-tulisannya secara runtut dari awal sampai akhir, minimal kita bisa membaca sedikit tentang watak penulisnya. Kalo carinya di room ceting atau pesbuk, mana aku berani. Susah cari dalil shahihnya. Walnekatun minal iman tuh mana ada..?
Cuma itu yang bisa aku sampaikan ke temen yang hampir uzur, kebelet nikah tapi gagal maning gagal maning. Masa depan anak-anak kan paling utama nantinya. Anak sekarang rata-rata baru mandiri di umur 25 tahun. Kalo umur sudah 35, perlu dipikirkan apakah di saat umur 60 tahun nanti masih mampu membiayai mereka. Rejeki sudah ada yang ngatur memang. Tapi apakah itu berarti kita tak wajib mempersiapkan segala sesuatunya..?
Belajar dari pengalaman, itu saja yang aku jadikan pegangan saat membuat keputusan dengan ibue Citra dulu. Komitmen untuk menjalani hidup bersama suka dan duka dalam arti kata yang sebenarnya sudah cukup dijadikan modal. Masa bolak balik pacaran gagal, masih tetap ngotot pacaran lagi. Keledai saja tak pernah terperosok ke lubang yang sama. Kecuali kondisinya sudah seperti aku sekarang, ya harus ikhlas selalu masuk ke lubang yang sama. Nyoba yang lain pengen benjut apa..?
Segala keputusan ada di tanganmu, teman.
Aku cuma cerita tentang pengalaman pribadi.
Tuntutlah ilmu sampe ke negeri China
Tapi bener engga ilmu itu salah sampe mau dituntut segala..?
Dah ah...
Mulai ngaco...
Wow, keren banget kisahmu, teman...ada link blog jaman dulu yg bercerita tentang hal itu ga? Gua ga mau jauh2 menuntut ilmu ke negeri China, hehehe
BalasHapusooh ternyata begono ya Wins, bagus tuh kalo nikah langsung nggak usah lama2 pacaran.
BalasHapustapi udah kenal dekeet donk sebelumnya.
moga langgeng yaa ^_^
Mas Rawin, jebul temen chatnya banyak ya, hahaha... Maklum di hutan.
BalasHapusMenurutku hidup semua ada resikonya. Menurut Islam cari akhlak yang baik. Tapi itu gak gampang. Maunya sih nemu yang baik, cocok, bertahan lama. Bisa jadi baru nikah sakit meninggal dunia. Atau dipaksa pisah sama ortu, kena penyakit aneh.
Aku sendiri biarpun udah divorced gak mikir status, hanya sekedar hamba Allah dan mencari keridhoan Allah...
saya juga mau cepat nikah deh
BalasHapuswah yang penting harmonis dan bahagian sampai sekarang kan ya mas...
BalasHapushehe iya di blog memang ada risiko plagiat... saya ngerti
saya sih boleh boleh aja kalau mau nyuri ide saya dan menjadikannya tulisan.. it's okay.... asalkan tidak sama2 persis susunan kalimatnya. kita menulis tetap sesuai dengan pandangan kita meskipun idenya dari orang lain. ide bisa ketemu dari bacaan, dari teman2 blogger dan lain2... tapi harus tetap ditulis ala kita sendiri.. seperti kalau nulis penelitian, harus ada kutipan seseorang yang kata2nya kita cantumkan namanya siapa.. kalau kita baca penelitian orang lain untuk nyusun kalimat... ya boleh maksudnya sama tapi kan mesti diubah pake susunan kalimat kita sendiri.. ya begitulah mas rawins... kadang sederhananya gampang saja seseorang bisa bilang nah tuh tau risikonya kayak gitu kenapa kamu masih nulis blog? sama aja kayak nah tuh tau vcd kaset kamu gak bakal laku, orang sukanya mp3 terus ngapain jadi penyanyi?
tulisan2 saya yg dicopas itu lebih merupakan sastra personal... saya bukan cuma blogger, saya juga pengin nerbitkan buku saya yg berikutnya.. apa yang terjadi ketika saya mencantumkan tulisan saya dibuku tsb dan orang pernah mengenalinya dimedia lain? iya akan terjadi fitnah bahwa mungkin saja kita mencuri tulisan (masa mau nyuri tulisan sendiri) sama kayak yg terjadi pada Sapardi Djoko Damono, penulis puisi Indonesia yang hebatdan dikirain beliau njiplak puisi Kahlil Gibran. hanya karena ada orang yang entah sok tau atau gimana nyetak undangan pake kutipan puisi sapardi dengan dalam kurung kahlil gibran. orang yang pernah baca banyak karya keduanya pasti tidak akan menyimpulkan begitu. karena apa, ciri khasnya beda banget...
hahahah semoga penjelasan saya ini nyambung ya mas
menikah tnpa pacaran ? pengen bgt :)
BalasHapusLah aku baru tau kalo ternyata istrimu bukan cowok, Mas ;)
BalasHapusAku juga nikah tanpa pacaran. Dulu pernah pacaran ampe 8 tahun, dari masih ingusan gitu. Eh, menjelang detik-detik pernikahan kok aku malah merasa nggak yakin wal ragu-ragu. Akhirnya ku batalkan.
Waktu nikah dengan suamiku ini malah aku mantap surantab aja. Yang penting shalat istikharah dulu sebelum menjatuhkan pilihan.
Top ah, postingannya!
menikah tanpa pacaran ? entah komitmen pribadi atau dijodohkan,...banyak terjadi kok, salah satunya saya :)
BalasHapus