28 Juni 2011

Kangen Gunung

Beberapa minggu terakhir ini, sudah beberapa teman mengajakku mendaki gunung. Setiap kali ajakan semacam itu datang, entah kenapa aku jadi pengen uring-uringan sendiri. Sepuluh tahun lebih aku meninggalkan dunia itu dengan segala kerinduan untuk kembali lagi. Bisa jadi aku terinspirasi bukunya Dr. Karl May yang dulu jadi favoritku. Di salah satu bukunya, ada ucapan dari salah satu tokohnya, Winetou kepada Old Shuterhand yang akan meninggalkan Wild West. "Sekali menghirup udara prairie, sejauh apapun kau pergi, pasti jiwamu akan terpanggil kembali..."

Keluyuran ke alam bebas, memang sejak kecil sudah jadi kerjaan sehari-hari mengingat kampungku memang dikelilingi hutan. Namun bertualang dari gunung ke gunung baru aku tekuni semenjak di STM. Awalnya sih gara-gara habis tawuran ditangkap polisi. Dijemur seharian trus nginep semalem di hotel gratisan tanpa AC berbonus nyamuk. Selama di polres itu, aku harus kerja rodi nyapu, ngepel dan bersihin WC. Saat numpang duduk kelelahan di depan kantin, aku lihat ada sosok lembut bermata sayu yang menarik hati untuk kenalan. Nah, dari si manis anak ibu kantin itulah aku jadi kenal mendaki gunung. Hobi tawuran pun terlupakan.

Karena cuma anak kos dengan uang saku pas-pasan, petualanganku hanya terbatas di gunung-gunung pulau Jawa. Itupun lebih banyak dilakukan dengan status bonek. Kemana-mana naik kereta api tanpa bayar disambung numpang truk atau jalan kaki. Gabung grup pecinta alam saat itu hanyalah mimpi buatku. Aku tak mampu beli peralatan yang harganya diluar jangkauan. Kemana-mana cuma bawa ransel yang biasa aku pakai sekolah dengan bekal tak pernah berubah, mie instan.

Bila pendaki lain selalu membawa lipgloss untuk mencegah bibir pecah-pecah, aku cukup mengoleskan mentega. Orang lain membawa pisau swiss yang praktis, aku bawanya golok pinjem penjaga sekolah. Untuk masak tak mampu aku beli parafin apalagi kompor gas portabel. Bawanya karet ban dalam bekas yang aku jadikan "urub-urub" saat mau buat api unggun. Jaketpun seadanya yang selalu dibantu sarung untuk menahan dingin. Aku baru bisa kenalan dengan alat-alat pendakian yang memenuhi syarat, setelah di pramuka bhayangkara berstatus senior. Yang artinya bisa menyalahgunakan peralatan inventaris untuk kepentingan pendakian pribadi.

Hampir tiap minggu atau hari libur aku pergi mendaki. Kalo pas ada duit agak banyak, aku pergi agak jauh. Kalo pas kere mencre, cukup ke gunung Slamet yang saat itu cukup dimodalin 2 ribu perak saja untuk ongkos bus Purwokerto - Bobotsari. Aku sendiri tak tahu kenapa aku bisa keranjingan abis seperti itu. Yang jelas bila terlalu lama tidak naik naik ke puncak gunung, kepala seperti tersugesti berasa senut-senut.

Diawali oleh cewek, diakhiri oleh cewek juga. Bertahun-tahun aku tekuni dunia petualangan, akhirnya harus pensiun ketika aku punya cewek yang tidak suka kegiatanku. Sejak saat itulah, malam-malam liburku berubah total. Bila biasanya malam minggu aku kedinginan di gunung, sejak itu jadi anget-angetan saat ngapel.

Apalagi setelah punya istri
Main ke gunung benar-benar kian terlupakan
Bisa jadi karena di rumah punya mainan gunung juga...

Tapi suer...
Sekarang aku kangen gunung-gunungku..
Kapan bisa kambek maning ya..?

5 comments:

  1. kembali maning ke utan ya... sambil makan kacang garuk2 kepala :))

    untung sudah punya gunung sendiri ya kang.

    BalasHapus
  2. yaa mainan gunung yang ada sekarang dirumat sing bener, biar kapanpun kangen bisa dinaikin kapan aja. *opo sih?*

    BalasHapus
  3. Yeah, sejak kuliah gua jadi jarang hiking dll lagi nih...now that I think about it...

    BalasHapus
  4. Emang klo hobi sudah merasuk ke jiwa... susah melepasnya ya mas. kalo saya dari kecil udah sahabatan sama sepeda.. sehari ga gowes, jadi kerasa yang kurang. heheheh...

    BalasHapus
  5. rtikel anda sangat bermanfaat, tapi saya mempunyai sedikit yang berhubungan ini silahkan anda klik KLIK DISINI. Jika anda tidak keberatan maka saYA tidak akan sungkan-sungkan untuk datang ke blog anda lagi lumayan untung ningkatkan pengunjungkan. ^_^

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena