04 Desember 2010

Mencoba Prihatin

Orang hidup memang sawang sinawang dan semua pilihan pasti mengandung resiko. Seperti ketika memutuskan untuk putus hubungan dengan yang namanya mobil, awalnya begitu damai. Namun ketika harus pulang kampung seperti saat ini, kerasa juga ribetnya. Citra dan ibunya berangkat naik travel dan aku menyusul pakai sepeda motor. Bisa sih berangkat bareng pakai travel, cuma nanti di kampung ribet tidak ada kendaraan. Apalagi dari rumah ortu ke jalan raya jaraknya sekitar 5 km dan transportasi satu-satunya adalah ojek.

Masalah lain adalah keponakanku yang pasti ngambek seperti pas mudik terakhir kemarin. Karena sudah kebiasaan setiap aku pulang pasti jalan-jalan, ketika aku pulang naik motor kemarin dia gabisa ditanya sampai 2 hari. Ponakan cute tapi mutungan, hehe...

Pertimbangan awalnya sebenarnya dari sebuah cita-cita. orang Jawa bilang bila sedang menginginkan sesuatu kita harus mangan longan turu longan. Mengurangi makan dan tidur dalam artian prihatin mengurangi kesenangan sementara sampai cita-citanya tercapai. Terinspirasi burung pun membuatkan sarang untuk pasangan dan anak-anaknya, masa aku tak bisa membuatkan rumah untuk anak istriku. Selamanya jadi kontraktor kan tidak nyaman.

Dan salah satu sumber pemborosan adalah kendaraan. Memang tak seberapa kalo hanya mikir bensin saja. Masalahnya ketika ada kendaraan, asal bengong sedikit pengennya keluar rumah. Niat awalnya cuma jalan-jalan. Tapi nyatanya kalo sudah muter-muter akhirnya mampir-mampir. Dan buntut-buntutnya tak jarang jadi borong-borong.

Saat pulang kampung pun sama. Jogja Cilacap itu normalnya 3 jam nyampe. Masa berangkat jam 9 pagi nyampe rumah ortu bisa jam 9 malem. Asal ada sesuatu yang kelihatan asik langsung parkir. Dari perempatan buntu tinggal ke selatan dikit dah nyampe, seringnya malah belok kanan ke arah Purwokerto dulu hanya karena pengen soto Sokaraja. Belum lagi setelah sampai di kampung, keponakan-keponakan pasti ribut ngajak jalan. Sudah gitu, adik-adik atau ortu suka nodong juga main ke Pangandaran atau Baturaden. Jadinya tidak mungkin bisa pulang kampung hemat. Bagaimanapun beban mental seorang perantau memang teramat berat. Orang kampung selalu menganggap perantau sebagai orang sukses dan banyak duit.

Eh, ndilalah kersane ngallah. Pada saat keinginan berhemat mulai ditindaklanjuti, statusku malah berubah jadi pengangguran. Yasudah, makin hemat cermat dan bersahaja saja menjalani hidup. Kadang ada sih keinginan untuk hidup nyaman lagi seperti sebelumnya. Tapi cita-cita tentang rumah agaknya jauh lebih penting.

Toh falsafah Jawa tentang priya utama akan garwa (istri), tata urutannya adalah griya (rumah), baru turangga (kuda atau kendaraan) dan kukila (burung). Walau nyatanya keadaanku kebalik. Untuk dapat garwa dulu modalku cuma kukila doang...

Read More

03 Desember 2010

Sabda Pandhita Ratu

Mencermati ucapan dan perilaku para pembesar negeri ini, aku kok jadi mikir kalo istilah Sabda Pandhita Ratu itu cuma sekedar mitos belaka. Bagaimana tidak, bila melihat sebagian besar pemimpin negeri ini adalah orang Jawa, ungkapan yang mengandung filosofi adiluhung tak ubahnya hanya isapan jempol dan hanya ada di dunia pewayangan.

Dalam kisah Ramayana diceritakan ketika menjelang suksesi kekuasaan dari Prabu Dasarata kepada Rama sebagai anak tertua dari permaisuri harus terganjal janji Dasarata kepada istri yang lain. Rupanya saat indehoy dengan Dewi Kekeyi selaku istri muda, beliau pernah berjanji akan menjadikan anaknya yang dijadikan raja di Ayodya. Walau harus melanggar ketentuan kerajaan tentang suksesi, sabda pandhita ratu tak bisa dirubah. Barata yang diangkat menjadi raja dan Rama harus dibuang ke hutan selama 14 tahun. Prabu Dasarata pun mati dalam kesedihan yang tiada akhir demi menepati ucapannya sebagai raja.

Sabda pandhita ratu, tan kena wola - wali, secara bebas dapat diartikan ucapan pendeta atau raja tidak boleh diulang atau diralat. Ungkapan ini biasanya disambung dengan berbudi bawalaksana yang berarti mempunyai sifat teguh memegang janji. Secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan. Dua ungkapan luhur yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung atas pilihan itu.

Bila mengamati ucapan dan tindakan para penggede negeri ini apalagi bila terkait suksesi, yang lebih dominan kayaknya kutukan Empu Gandring. Dimana kutukan dendam akan berjalan terus turun temurun terhadap anak turun para penguasa. Penguasa yang jatuh atau dijatuhkan, anak turunnya akan menghimpun kekuatan untuk suatu saat kembali merebut kekuasaan. Trah yang masih berkuasa, akan berusaha menancapkan kuku kekuasaan sampai ke akar-akarnya dan menyiapkan putra mahkota di level terdepan kendaraan politiknya. Mereka yang kelihatan akan menjadi penghalang segera disingkirkan dengan berbagai cara. Walau tak sebrutal politik tumpas kelornya Amangkurat I yang menumpas ulama dari Bayat dan pejabat senior Mataram sampai ke anak cucunya, tapi tetap saja politik itu kejam.

Apalagi ketika jaman repotnasi menerpa negeri ini, calon-calon penguasa berpendirian wolawali semakin banyak. Orang yang kemarin masih mengagung-agungkan si Bejo, besok bisa loncat haluan dan mencacimaki. Orang yang awalnya begitu agamis, tak jarang besok agamanya hanya sekedar jadi ageman semata untuk membungkus hatinya yang berubah sekuler. Sampai mereka lupa walaupun poligami halal, tapi politikus adalah haram. Poli adalah banyak, tikus adalah najis. Jadi politikus artinya najis mughaladhoh kuadrat.

Sabda pandhita ratu agaknya cuma ada di kalangan rakyat kecil seperti Mbah Maridjan. Tak peduli apapun yang akan terjadi, sumpah jabatan adalah segalanya. Ini tak bakalan bisa kita temukan di kalangan penguasa. Buat mereka hidup dalam kekuasaan itu bagaikan komputer yang punya tombol Ctrl dan Z. Andai kata terlanjur error pun masih bisa bikin masalah tandingan untuk mengalihkan dari pandangan umum. Apa yang akan terjadi bila pemimpin yang kita ikuti hanyalah orang yang mancle mencle.

Merasa punya kuasa memang mudah membuat orang merasa superior atas segalanya. Sampai-sampai sejarah pun dengan mudah diubah-ubah dari buku pelajaran sekolah. Mereka yang saat dibawah cuma bisa jadi penjilat, begitu berkuasa suaranya begitu lantang mencacimaki pendahulunya. Seperti kita selalu mengecap Belanda sebagai penjajah yang kejam selama 300 tahun, tapi nyatanya sampai sekarang kita masih saja memakai KUHP peninggalannya. Mereka yang jaman orde baru sendhiko dawuh nunut makan, sekarang bisa menghujat Suharto sebagai sumber segala sumber masalah kehidupan bangsa saat ini. P4 dengan segera dibumihanguskan hanya karena mengharuskan pelaksanaan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Alasannya sih cukup logis, mencari manusia yang konsekuen saat ini semakin sulit.

Ketika konsekuensi perbuatan dan tindakan semakin sulit dilakukan, kenapa tidak diantisipasi dengan berpikir panjang sebelum mengatakan sesuatu. Dampak ucapan lirih seorang penguasa tentu sangat berbeda dengan teriakan lantangku. Jangankan ucapan seorang presiden menggugat seorang raja, seorang PNS golongan IIIA yang tak terlalu tinggi saja sudah mampu membuat rakyat kecil berantem. Mau bukti tentang efek domino perbuatan pemilik kekuasaan terhadap wong cilik, pengalaman penguasa becak legendari Gandhung dengan penumpangnya mungkin bisa dijadikan cermin.

Penumpang : Dab, ongkos becak yang paling jauh berapa?
Gandhung : Kemarin dari Malioboro ke Tembi 50 ribu
Penumpang : Haaahh... cuman 50rb. Kalo duitnya Gayus buat naik becak bisa sampe mana ?
Gandhung : Deket, dab. Paling sampe pasar Kltihikan
Penumpang : Sampe Klithikan paling 5 ribu. Ini milyaran kok.
Gandhung : Tenan mas, soale aku mau beli pacul bekas disana.
Penumpang : Lha kok jadi cari pacul bekas. Go opo dab..?

Gandhung : Macul ndasmu mas...!! Aku nggenjot tekan Tembi wae wijine nganti mlebu bolongan silit. Opo maneh mbok tawani 100 milyar kongkon mbecak. Mending patenono wae aku. Muduno saiki teko becakku. Affu..!!

Jayus yang tak pernah naik becak saja bisa membuat tukang becak berantem. Apalagi yang selalu bicara dan berbuat dengan mengatasnamakan rakyat. Jangan harap mau berkorban untuk rakyat demi menepati mitos Sabda Pandhita Ratu. Lebih asik lengser keprabon madheg bandito...
Read More

02 Desember 2010

Lapan Anam

Hidup bersama banyak orang memang memiliki keunikan tersendiri. Apalagi bila yang berkumpul disitu adalah anak-anak muda yang kadang hanya pinter secara akademis namun masih kurang dengan pengalaman lapangan. Ketika menemukan pengalaman baru, mereka kadang merasa perlu untuk mengikuti agar tidak terlihat oon atau oot. Sayangnya mereka suka asal comot saja tanpa mau menelusur lebih lanjut asal muasalnya.

Seperti dalam penggunaan radio komunikasi misalnya. Bolak-balik aku bilang kepada mereka agar menggunakan gaya bahasa yang biasa seperti dalam komunikasi sehari-hari. Terutama bila itu menyangkut tentang berita atau informasi penting yang bersifat darurat. Namun tetap saja sebagian dari mereka seolah merasa tak afdol bila tidak mengikuti gaya bahasa breaker walau acakadut. Tak jarang aku dengar ada kata-kata ajaib seperti, roger dicopy dimonitor begitu ganti tewewewwww...

Entah grogi atau memang lagi kemaruk dengan mainan baru. Dalam menyampaikan berita pun tak jarang malah bikin bingung orang lain. Apalagi bila sudah menggunakan kode atau sandi yang menggunakan angka, wes mirip pasar bubrah ketubruk erupsi. Mereka asal pakai saja apa yang pernah didengar tanpa mau tahu bahwa kode-kode itu secara umum ada dua jenis. Yang satu adalah Ten Code yang biasa digunakan oleh kelompok radio antar penduduk RAPI. Yang satu lagi adalah yang digunakan oleh kepolisian.

Penggunaan dua jenis kode yang berbeda secara campur aduk, tentu bikin bingung mereka yang mengerti. Walau kalo aku lihat mereka yang asal pake itu malah enjoy dengan bahasa itu. Mereka seringkali mencampuradukan kode 33 milik polisi yang artinya kecelakaan dengan 10-33 Ten Code yang artinya keadaan darurat. Yang paling sering dipakai mungkin kode 10-2 yang dalam Ten Code artinya penerimaan sinyal bagus atau informasi diterima dengan jelas. Padahal dalam sandi kepolisian 102 itu artinya posisi. Untuk penerimaan informasi yang jelas disandikan dengan kode 86. Padahal menggunakan radio komunikasi secara awam tanpa harus selalu bilang 86, menurutku justru lebih baik di tengah bencana semacam ini. Kesalahpahaman komunikasi sedikit saja bisa berakibat fatal bila menyangkut soal evakuasi misalnya.

Jangankan yang pakai kode-kode rumit, yang sifatnya umum juga banyak yang salah pakai kok. Misalnya istilah CP. Entah berapa kali aku ketemu orang yang menanyakan harus menghubungi siapa. Ketika aku jawab misalnya Eko, eh dia nanya lagi, CP nya berapa. Awalnya aku sempat bengong dengan pertanyaan susulan itu sampai akhirnya aku ngeh kalo CP itu ada yang mengartikannya sebagai Cell Phone alias nomer hape, bukannya Contact Person. Hhhhh, mbokyao pakai bahasa yang mudeng aja kenapa sih..?

Tapi tidak semuanya begitu kok. Ada juga yang begitu nasionalis dan selalu bicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap kesempatan. Aku tanya dalam berbagai bahasa dari bahasa inggris, jawa, tubuh sampai bahasa binatang, tetap akan menjawab dengan bahasa Indonesia. Setelah aku vonis dia orang tak mudeng bahasa Jawa, baru saat itu dia ngaku kalo dia orang Magelang. Pantesan aja ngambek pas aku gosipin pakai bahasa Jawa. Ternyata bisa juga tho ngomong Jawa dan cuma merasa ga sreg aja dengan bahasa ibunya. Ga gaul katanya kalo ga ngomong lu gue.

Tapi gapapalah. Walau demi alasan gaul, yang pentingkan bisa 86 dengan yang lain. Toh ini cuma masalah bahasa komunikasi bukan soal nasionalisme. Obama atau Justin saja maksa pakai bahasa Indonesia walau cuma sepotong, agar dianggap lebih 86 dengan masyarakat Indonesia. Biarpun maksa, tapi ya jangan seperti Cinta Laura seperti saat tampil di tipi kemarin. Dia nyanyi begini :

So why or a jump you..
Jump you go down tell a..
So why or a cat em you..
Cat em you peace and ga why gell a...

Ketika ditanya lagu apa itu, dengan gegap gempita dia menjawab, "suwe ora jamu.."
Demikian lapan anam...?
Read More

01 Desember 2010

Shelter

Salah satu kegiatan pokok dalam kegiatan pasca bencana adalah mengupayakan agar masyarakat yang kembali ke kampungnya bisa segera bekerja kembali. Untuk yang rumahnya masih utuh, mungkin hal itu tak terlalu menjadi masalah. Untuk yang rumahnya rusak berat atau total, mau tidak mau harus tetap tinggal di barak sementara sampai janji pemerintah untuk membangun kembali rumah mereka terealisasi.

Hanya saja, kehidupan di barak bukanlah hal yang mudah. Banyak pengungsi yang mulai stres dan terganggu perilakunya. Bagaimanapun juga hidup bersama banyak orang mudah menyulut masalah sosial dan tidak bisa menjaga privasi masing-masing orang. Tak jarang terjadi keributan kecil dan mulai perang dingin dengan tetangga sebelah tikar hanya karena ada barang yang hilang. Perbedaan kualitas bantuan yang diterima pun bisa memancing kecemburuan sosial.

Belum lagi bagi sebagian orang, hasrat biologis seringkali menjadi kebutuhan yang teramat mendesak. Ketiadaan tempat yang privasi bisa menjadi sumber masalah jangka panjang. Memang pemerintah di beberapa tempat pengungsian telah menyiapkan apa yang disebut bilik asmara yang bisa dipergunakan oleh pengungsi dikala kebelet. Namun keharusan lapor petugas untuk minta kunci bilik juga menjadi masalah tersendiri. Pengungsi itu kebanyakan warga pedesaan yang mungkin masih punya rasa ewuh pekewuh sedemikian besar bila harus laporan ke petugas hanya untuk urusan perkenthuan. Tak heran bila petugas sekuriti di stadion Maguwoharjo bilang, pembuatan bilik itu mubazir karena bisa dibilang tidak ada yang mau pakai.

Berawal dari pemikiran itu beberapa lembaga seperti dari NU dan ACT membangun shelter di beberapa lokasi. Shelter ini statusnya sama dengan barak pengungsian sebagai tempat penampungan sementara sebelum rumahnya siap huni. Namun shelter ini hanya dihuni oleh satu keluarga sehingga lebih terjamin keamanan harta benda yang ada dan privasi juga lebih terjaga. Setiap shelter dipersyaratkan luas minimalnya 18 meter persegi dilengkapi sarana rumah tangga minimum dan MCK saja yang berbarengan. Dilengkapi pula dengan kandang ternak bersama untuk komunitas. Lokasi pembangunannya juga harus sedekat mungkin dengan kampung asalnya sehingga penghuni shelter mudah menjangkau kebun atau sawahnya.

Walau sedikit telat, pemerintah pun mulai membangun shelter untuk menggantikan barak-barak pengungsian. Sayangnya pembangunan shelter pemerintah ini dibumbui aroma kurang sedap dari beberapa pejabat yang berwenang. Kondisi shelter swasta katanya memiliki standar yang berbeda dengan shelter pemerintah dan sebaiknya disesuaikan. Shelter swasta yang lebih bagus ditakutkan akan menciptakan kecemburuan sosial antara penghuni shelter swasta dengan shelter pemerintah. Kata bapak pejabat itu, sementara sih biar saja. Tapi bila di kemudian hari menimbulkan gejolak sosial, harus ditindak.

Dan aku pun cuma bisa bilang, ndasku...!!!
Read More

30 November 2010

Geliat Lereng Merapi

Perubahan status dari tanggap darurat ke pasca bencana, walau Merapi sendiri masih dalam status awas, telah cukup banyak merubah keseharian masyarakat di lerengnya. Perekonomian sedikit demi sedikit berusaha menggeliat walau rodanya tak bisa bergerak cepat. Namun ini cukup menggembirakan bila dikaitkan dengan masyarakat yang sempat berubah agresif beberapa waktu lalu. Harapanku mereka tak sampai anarkis seperti ketika gempa Jogja beberapa tahun lalu dimana masyarakat mulai angkat senjata tajam menghentikan kendaraan pengangkut logistik secara paksa dan menjarah bantuan.

Pasar sudah mulai buka biarpun belum ramai pembeli. Ini bisa dimaklumi, sebulan di pengungsian membuat sebagian besar masyarakat tak bisa bekerja dan kehabisan uang. Selain itu, bantuan sembako dari relawan masih terus mengalir walau tak sebanyak dulu.

Penambang pasir juga mulai melakukan aktifitas. Mereka bisa mengambil pasir dari selokan-selokan kecil atau saluran irigasi yang bersumber ke sungai besar pembawa material vulkanik. Sungai yang mendangkal membuat air menyebar ke segala arah melalui selokan dengan membawa serta pasir dan kerikil. Namun cukup banyak penambang yang tak sabar mengais pasir sedikit demi sedikit dari selokan dan memilih langsung turun ke sungai. Ini yang cukup merepotkan relawan dan aparat karena tak jarang ketika hujan mulai turun mereka tak mau segera beranjak dari sungai dengan alasan tanggung baru dapat setengah bak truk. Urusan perut membuat mereka lebih suka main petak umpet daripada menuruti larangan dari yang berwenang.

Bidang pertanian juga masih lumpuh. Hujan abu berhari-hari telah menghancurkan tanaman di ladang-ladang penduduk. Apalagi yang namanya cabe atau palawija, kondisinya sangat mengenaskan. Hanya tanaman padi yang masih bisa bertahan asalkan belum mulai berbulir. Debu vulkanik seolah tak berpengaruh dan tanaman padi tetap saja menghijau di tengah pepohonan lain yang berubah kelabu. Tapi tetap saja ada masalah ketika mereka kesulitan untuk mendapatkan pupuk atau tak punya uang untuk membayar tenaga untuk matun (basa indonesianya matun apa sih..?).

Kondisi terakhir untuk bantuan mempercepat gerak roda perekonomian dari relawan swasta belum terlalu banyak. Mereka masih berkutat di pendataan kebutuhan anak sekolah dan penanganan trauma pasca bencana untuk anak-anak. Dari pemerintah, pendataan baru sampai ke tahap desa dan entah kapan bisa sampai ke masyarakat mengingat panjangnya birokrasi selama ini. Aku harap sih pabeye segera insyaf dan segera memotong jalur birokrasi yang rawan kebocoran ini. Kayaknya ini lebih menarik untuk rakyat daripada mengungkit-ungkit kedudukan Sultan Jogja.

Kalo memang punya otak, tolong pikirkan jeritan para petani Merapi yang ingin kembali ke ladang. Yang tanamannya tidak hancur pun tak berarti mereka tidak gagal panen. Seperti petani di sebelah posko yang mengeluh, tanaman pare nya sekebun pahit semua...

Kapan ga cuma pinter nyunat duit rakyat.
Sunat jalur birokrasi, ndol..!!!
Read More

29 November 2010

Kali Code Meluap

Kegiatan droping logistik hari ini ke daerah Srumbung dihadang hujan deras. Air dari selokan sepanjang pinggir jalan tak mampu menampung banyaknya air sampai meluap ke jalan sampai setengah roda. Kali Putih yang berhulu di lereng Merapi juga kelihatan meningkat pesat debit airnya.

Pakaian basah kuyup dan tak ada lagi pakaian ganti, memaksaku untuk segera pulang ke rumah setelah kegiatan selesai. Memang banyak pakaian pantas pakai menumpuk di gudang. Tapi aku tak biasa mengenakan baju orang lain, jadi rasanya kok males banget dan memilih kembali ke Jogja menerobos hujan lebat.

Cukup menyebalkan ketika selepas Sleman kondisinya terang benderang tak ada bekas air setetespun di jalanan sementara aku bagai tikus kecebur got. Lebih menyebalkan lagi begitu masuk kota, jembatan dekat RS Sardjito ditutup polisi karena kali Code meluap. Belok ke arah Gondolayu kondisinya sama. Hampir sejam cuma dilempar sana-sini oleh polisi yang menutup jalan sampai akhirnya diarahkan ke Malioboro. Sampai perempatan kantor pos sudah mulai macet sepanjang jl Sultan Agung. Jembatan  Sayidan memang tidak ditutup, tapi kondisinya macet parah.

Cukup ironis ketika melihat suasana Jogja yang begitu cerah, sepanjang Malioboro dari stasiun Tugu sampai Gedung Agung begitu padat dengan manusia bersukacita. Namun tak sampai 1 km di sebelah timurnya ribuan orang mengungsi di sepanjang bantaran sungai yang aman. Sepintas air terlihat sudah menenggelamkan rumah dan tampak keruh membawa material vulkanik dari lereng Merapi. Tak bisa diprediksi kali Code akan segera surut atau tambah meluap. Karena walau di Jogja sangat cerah, hujan di lereng Merapi dari siang tadi sampai aku meluncur ke Jogja masih saja deras. Kerugian harta benda pasti cukup besar, tapi aku harap tidak perlu ada korban jiwa.

Hanya itu laporan sepintas kilas dari kali Code. Laporan terakhir dari tipi selepas isya mengatakan debit air masih terus meningkat. Semoga saja segera surut. Yang pasti aku sudah kembali damai bersama keluarga di Kotagede sebelum esok pagi kembali ke lereng Merapi.
Read More

27 November 2010

Kesasar

Menjadi relawan di daerah yang asing membuatku lebih pantas disebut tim kesasar daripada tim sar. Makanya saat orientasi medan tidak dianjurkan untuk bergerak seorang diri agar tidak celingukan saat nyasar. Waktu posko masih di garis belakang rada mendingan karena masih banyak penduduk yang bisa kita tanya arah. Setelah posko ditarik ke garis depan, tak jarang kita temukan perkampungan tanpa penghuni atau tegalan luas yang dipenuhi jalan bercabang-cabang.

Dalam kondisi seperti itu biasanya perasaan yang dipergunakan. Selalu mencari jalan yang arahnya turun gunung, walau kadang jalannya kemudian muter dan naik lagi. Bila cuaca cerah dan puncak Merapi kelihatan, kita bisa memilih jalan yang berlawanan dengan arah puncak. Sayangnya kondisi cuaca lebih sering disaput mendung sehingga puncak gunung atau matahari sulit untuk dilihat.

Kalo cuma mencari arah barat atau utara kita bisa mencari masjid atau kuburan. Tapi mengingat arah menggunakan perasaan tuh tidak bisa diandalkan. Tak jarang kita merasa yakin berjalan ke arah barat, ketika sedikit demi sedikit membelok, kita masih saja merasa ke arah barat. Tak heran bila kita merasa telah berjalan jauh banget, tahu-tahu sudah kembali ke perempatan yang tadi.

Radio komunikasi cukup membantu untuk menghubungi posko dan menanyakan arah kepada yang hapal medan. Namun dengan modal antena sejengkal seringkali sulit menembus lalu lintas di frekuensi yang suka crowded atau diisengin jammer. Alternatifnya adalah hape, walau saat ini mulai banyak yang mengeluh kehabisan amunisi karena memang tidak ada donatur pulsa pantas pakai. Dengan kedua alat ini, yang sering jadi masalah adalah pencarian "ancer-ancer" lokasi. Mending kalo disitu ada sekolahan yang pasti ada papan nama. Soalnya banyak juga perkampungan kosong yang tanpa kejelasan identitas. Papan nama kepala dusun hanya tulisan Kadus 50 m, tanpa ada tambahan dusunnya apa. Ada toko pun cuma pajang tulisan toko anu tanpa tambahan alamat jalan atau rt rw.

Untuk aku sendiri, andalan ketika nyasar adalah GPS yang terpasang di hape. Deviasinya cuma 5 - 20 meter dan ini menurutku lumayan akurat untuk menentukan posisi. Apalagi aku selalu di lapangan terbuka yang pasti bisa menjangkau lebih dari 10 satelit. Peta jalan-jalannya yang menggunakan aplikasi Google Maps juga sudah lumayan komplit. Untuk daerah seputaran Merapi, jalan-jalan kecil sudah masuk peta.

Tapi bukan berarti GPS bisa mengatasi masalah tanpa masalah. Persoalannya GPSku ditracking oleh istriku di rumah. Ketika kelihatan posisiku makin mendekati puncak, dijamin teleponku mulai bertalu-talu. Apalagi kalo tipi sudah mulai mengumbar berita bohong berlebihan tentang Merapi, wah makin rewel deh hapeku.

Tapi syukurlah, sampai saat ini walau banyak relawan yang langganan kesasar, tidak ada yang sampai hilang atau terjadi hal-hal yang fatal. Walau kadang harus muter-muter sampai 3 jam yang penting bisa kembali pulang dengan selamat. Biarpun kalo lewat jalan yang benar harusnya ga sampai setengah jam sudah nyampe...

Tetap semangat kawan...
Read More

25 November 2010

Logistik Kadaluarsa

Ada satu hal yang terlewat di tengah kesibukan mengurusi logistik pengungsi. Satu bulan kegiatan berjalan, baru saat ini ketahuan ada satu dua logistik kadaluarsa atau hampir kadaluarsa. Selama ini kita kurang jeli dan tak pernah memeriksa waktu expired pada bantuan yang masuk posko. Melihat kemasan yang masih bagus yang kita catat hanya jenis dan jumlah barangnya saja.

Kemudian tanpa sengaja ada yang melihat satu produk susu bayi kalengan yang kadaluarsa. Masalah itu kemudian di konsultasikan dengan pihak yang menyumbang dan diperoleh keterangan bahwa mereka bukan tak tahu kalo produk itu hampir kadaluarsa. Justru karena hampir kadaluarsa dan stoknya banyak di gudang makanya disumbangkan untuk pengungsi. Asumsi mereka, produk itu akan langsung dikonsumsi habis dengan segera sebelum tanggal tercantum.

Padahal kenyataan di lapangan, untuk masyarakat pedesaan produk susu bayi masih dianggap barang mewah yang dihemat pemakaiannya. Bila aturan membuat satu gelas dibutuhkan susu 4 sendok makan, bagi mereka cukup satu sendok susu ditambah gula supaya manis. Dengan kondisi semacam itu, susu kaleng ukuran 800 gram yang semestinya tak sampai sebulan konsumsi habis, bisa bertahan sampai 3 bulan bahkan lebih. Apalagi produk obat-obatan pasti akan disimpan lebih lama sebagai persediaan. Apalagi saat menyerahkan bantuan kita tak pernah mengingatkan mereka akan hal itu. Relawan saja sampai lupa tentang waktu kadaluarsa, apalagi pengungsi yang pasti lebih komplikasi keadaannya.

Akhirnya mulai diadakan penyortiran logistik sebelum diserahkan kepada warga. Produk makanan dan susu dibatasi minimal 3 bulan. Apabila terpaksa harus dibagikan karena stok kurang, akan diberi peringatan kepada yang menerima agar langsung dikonsumsi dan jangan dijadikan persediaan. Yang kurang dari sebulan diputuskan khusus untuk kalangan sendiri itung-itung perbaikan gizi relawan.

Semoga saja bisa jadi perhatian buat kita semua saat menyumbang untuk bencana, agar bisa lebih hati-hati dan tidak menjadi musibah tambahan pasca bencana.

Mobile Post via XPeria
Read More

24 November 2010

Wisata Bencana

Kondisi pasca bencana ini memang lebih sulit penanganannya. Masyarakat kadang menganggap kondisi sudah kondusif sehingga kewaspadaan mulai mengendur. Ancaman bahaya yang mereka lihat tiap hari juga membuat mereka terbiasa dan tak lagi melihat itu sebagai potensi bahaya.

Lava atau lahar panas relatif lebih mudah diantisipasi karena jarak jangkaunya yang terbatas. Masyarakat pun lebih mudah diatur untuk mencegah dampak bahayanya karena diawali dengan letusan dan gemuruh di puncak gunung. Berbeda dengan lahar dingin yang diawali hujan lebat kadang kurang diwaspadai masyarakat. Lahar yang telah dingin di sepanjang hulu sungai menyisakan lumpur dan bebatuan yang tak jarang berukuran jumbo.

Hujan lebat akan membawa material itu ke hilir sungai. Ini yang membuat setiap jembatan harus diwaspadai terutama jembatan yang memiliki penyangga di tengah sungai. Tak jarang jembatan kelihatan utuh, tapi penyangganya telah rontok dihantam bebatuan yang dibawa banjir. Kadang banyak pepohonan yang hanyut dan nyangkut di jembatan. Akibatnya aliran lahar dingin ini tersumbat dan tak bisa mengalir lagi. Dalam kondisi lahar tertahan di jembatan ini, kita tinggal menungu saja kapan rangka jembatan tak lagi mampu menahan beban yang sedemikian berat. Ilustrasi lebih jelas untuk kondisi ini bisa dilihat di video pada posting terakhir kemarin.

Setelah aliran sungai mampet, kondisi hujan lebat akan membuat banjir meluap keluar sungai. Melanda pemukiman beserta material vulkanik yang dibawanya. Pemerintah sendiri sudah mengingatkan radius 1km dari sungai sebagai daerah bahaya. Tapi kayaknya cuma bisa mengingatkan saja tanpa pengawasan yang ketat dan rutin. Semantara relawan yang kebagian memantau sungai tak punya kekuatan untuk memaksa penduduk dan hanya bisa memberi anjuran saja.

Sayangnya ketika jembatan harus terus dipantau seperti saat ini, masyarakat seringkali menjadikan itu sebagai tontonan menarik. Tak cuma di tepi sungai, di tengah jembatan seringkali dipenuhi wisatawan bencana. Rasa terbiasa dalam benak mereka membuat mereka susah untuk diperingatkan. Bisa dibayangkan bila tiba-tiba jembatan runtuh dihantam banjir batu ini. Seharusnya aparat keamanan yang punya wewenang memaksa atas nama undang-undang lebih banyak dikerahkan untuk masalah ini. Bagaimanapun mereka warganegara yang harus dilindungi keselamatannya.

Semoga keadaan ini bisa cepat membaik...

Siaran langsung dari si manis jembatan Senowo di km 7 dari puncak Merapi...

Mobile Post via XPeria

Read More

23 November 2010

Kembali ke Garis Depan

Niat menjadi relawan jarak jauh kemarin, sepertinya harus diurungkan. Terlalu lamanya masa bencana mulai membuat sebagian relawan jenuh. Belum lagi mereka yang punya kepentingan seperti pekerjaan atau kuliah, mau ga mau harus segera meninggalkan posko. Ekspos media yang menyatakan Merapi sudah kondusif membuat bantuan logistik dan jumlah relawan makin berkurang. Padahal kebutuhan untuk itu justru bertambah tinggi.

Beberapa posko yang ada sudah mulai berteriak-teriak kekurangan tenaga. Bahkan ada yang harus bergabung dengan posko terdekat karena tak punya relawan lagi.

Kondisi di ring km 10 memang masih mengkawatirkan. Seperti saat ini kondisi hujan deras telah mengakibatkan banjir lahar dingin. Warga di sekitar sungai sudah mulai diungsikan kembali. Setiap jembatan harus dipantau untuk mengantisipasi kalau-kalau penyangganya runtuh dihantam batu-batu segede kerbau yang terbawa bajir. Petir yang bersahut-sahutan juga menutupi suara gemuruh dari puncak Merapi sehingga apa yang terjadi di puncak sulit untuk diprediksi. Jarak pandang juga cukup terbatas oleh derasnya hujan.

Warga di ring km 5 juga mulai dipersiapkan untuk bisa evakuasi sewaktu-waktu terutama mengantisipasi jembatan di jalur evakuasi yang mulai mengkhawatirkan. Ditakutkan pada saat harus evakuasi mereka tak bisa menyebrang karena jembatan runtuh. Apalagi sejak pagi tim dari Taman Nasional Merapi menginformasikan satwa liar seperti harimau mulai turun gunung mendekati pemukiman di km 5. Mereka juga butuh relawan untuk penyelamatan satwa liar.

Demikian informasi terkini dari lereng barat Merapi sambil menunggu hujan reda dan banjir lahar dingin surut.





NB
Mohon bantuan agar dipublikasikan kepada teman-teman yang bersedia jadi relawan agar bisa membantu posko Merapi. Bantuan logistik terutama sembako juga masih sangat dibutuhkan. Informasi lebih lanjut silakan hubungi nomerku 081 391 634 777
Terima kasih...

Mobile Post via XPeria

Read More

22 November 2010

Roso..!!!

Menyimak sepak terjang pengelola negara ini akhir-akhir ini, aku kok makin merindukan adanya sebuah revolusi yang bisa memformat ulang sistem kenegaraan. Bila perlu pakai low level format, karena instal ulang sampe mencret pun tak akan bisa lagi memperbaiki kerusakannya. Bagaimana mungkin bisa menjadi baik bila berbagai aplikasi dipasang di sistem penuh virus yang selalu membuat berbagai file corrupt.

Mau jadi polisi atau PNS saja sudah harus menyiapkan modal puluhan juta. Trus berapa lagi yang harus disiakan untuk jadi pejabat..? Bisakah menjadi pejabat yang tak jahat bila gaji bulanan tak mampu menutupi modal awalnya..?

Makanya ketika ada berita anggota hewan jalan-jalan dan tak mau peduli pada sapi perahannya yang telantar, aku sudah tak ingin mengelus dada lagi. Pengen banget kuelus-elus jidat mereka pake arit. Mungkin itu sebuah niat yang diluar perikemanusiaan. Tapi yang ingin kulihat isi otaknya itu bukan manusia kok.

Atau ketika "yang terhormat" menyalahkan mereka yang tinggal di pantai atau di gunung yang akibatnya menjadi korban, cuma satu kata yang ingin aku bilang, dagadu..!!! Boro-boro bisa meneladani apa yang jadi pendirian teguh Mbah Marijan. Ini malah dengan santainya mengatakan sang guru itu mati konyol karena kepalanya yang keras.

Andai saja mereka sempat ngobrol bersama simbah tentang kehidupan, tentu mereka tak akan bicara begitu. Pehamanan filosofi beliau tentang hidup teramat dalam. Aku pun tak pernah mau dengar bila dikatakan beliau keras kepala. Bukan keras kepala, tapi keteguhan hati seorang prajurit sejati. Beliau mengungsi hanya untuk mengantar masyarakatnya saja dan setelah itu kembali ke rumahnya seorang diri. Tugasnya sebagai penjaga gunung tak akan beliau sampai desersi apapun kondisinya. Melarikan diri dari tugas adalah sebuah kepengecutan yang hina. Dan gugur dalam tugas adalah syahid.

Ada yang bisa disimak dari satu ucapan beliau dalam sebuah iklan. Roso..! Mungkin karena berada dalam iklan minuman energi, kita suka mengartikannya sebagai rosa. Teriakan itu kita artikan sebagai keperkasaan beliau sebagai penjaga gunung Merapi. Namun bila kita mau menilik tentang filosofi hidupnya, roso itu sebenarnya beliau artikan sebagai rasa.

Ya, rasa...
Itu sebuah kunci untuk menjalani hidup dengan baik. Sebagai makhluk sosial kita memang harus bisa mendalami kata rasa dan rumangsa. Agar kita tak terjebak kedalam kata rumangsa bisa (merasa bisa), tapi tetaplah berpegang pada bisa rumangsa (bisa merasa). Dengan rasa ini paling tidak kita bisa menelaah setiap perbuatan yang akan kita lakukan. Sebelum kita mencubit orang lain, paling tidak kita coba rasakan bagaimana rasanya kita dicubit orang. Melihat orang lain dalam bencana, tak ada salahnya kita coba merasakan andai saja yang di tengah bencana itu kita.

Pejabat yang bilang mbah Marijan konyol, seharusnya mau mendalami ajaran-ajaran beliau. Sehingga terasah rasa dan perasaannya dalam menjalankan tugas negara yang adalah amanat rakyat. Rasa memiliki itu berarti bahwa amanat itu harus diemban sampai titik terakhir. Bukannya diartikan mereka bebas memiliki duit rakyat yang jadi tanggung jawabnya. Dan ketika terjadi masalah dengan mudah mereka lari ke luar negeri meninggalkan tanggungjawabnya.

Adalah aneh ketika ada relawan dengan semangat mbah Marijan mau bergerak ke km 5 pasca evakuasi untuk meyakinkan tidak ada masyarakat menjadi korban dikatakan sembrono oleh yang berwenang. Tapi aparat yang mencuri start mengungsi sementara  ribuan jiwa masih bertahan di garis depan adalah sebuah strategi penyelamatan. Mengibarkan bendera merah putih di garis terdepan bukan dianggap sebagai motivator agar masyarakat tetap semangat menghadapi bencana, melainkan dianggap tindakan konyol sok heroik. Lalu yang merasa jadi pengayom masyarakat tuh aparat atau relawan sih..?

Kenapa tetap harus ada rasa..? 
Idealisme saja tak cukup. Memang sejarah mencatat suksesi kekuasaan kita seringkali diawali oleh para pemuda di jalanan. Tapi idealisma tanpa rasa membuat mereka lupa panasnya jalanan setelah mereka duduk di lingkaran kekuasaan. Coba saja cari, siapa veteran pejuang jalanan yang masih keras teriakannya ketika kursi mereka sudah terasa empuk. Tetap kembali ke filosofi hanacaraka dimana mereka akan selalu berbunyi dalam segala kondisi dan baru mati setelah dipangku.

Besar harapanku, pemahaman mbah Marijan bisa berinkarnasi dan meracuni otak-otak muda agar bisa segera melakukan format ulang sebelum reinstal sistem kenegaraan ini. Tanpa revolusi negara ini tak akan ada perubahan. Tak apalah bila harus jatuh korban. Karena tanpa perubahan segera, justru akan lebih banyak masyarakat yang dikorbankan oleh para pemilik modal dan kekuasaan.

Untuk perubahan ini, aku siap jadi relawan.
Minimal relawan bagian misuh-misuh di blog...
Hehehe payah...
Read More

21 November 2010

Bencanarsisme

Narsis memang sudah menjadi bagian dari sifat manusia yang sulit untuk dihilangkan di tengah bencana sekalipun. Apalagi di jaman orang gemar berbagi cerita secara online seperti sekarang. Ketika berada di tengah bencana sedang menjadi trend, rasanya tak afdol kalo orang lain tak tahu bahwa kita peduli dengan hal itu.

Banyak sekali relawan datang dan pergi silih berganti dengan berbagai motivasi. Sayangnya yang berasas narsisme cukup banyak. Bawa logistik tak seberapa tapi yang ngantar sampai 2 mobil. Mereka ga mau menyerahkan bantuan ke posko, tapi minta diantar kesana kemari untuk menyerahkan langsung ke pengungsi. Maunya ke tempat pengungsian yang ribuan orang biar pas foto-foto latar belakangnya ga hanya satu dua obyek pelengkap penderitanya. Biar kelihatan keren buat diaplut pesbuk, katanya. Ribet, tapi mau menolak jadi penunjuk jalan kok kesannya kejam amat. Orang mau beramal kok ga dibantu.

Yang agak mencolok kayaknya mereka yang bergerak dibidang medis. Biasanya mahasiswa dari beberapa universitas terkemuka di negara ini. Mereka sepertinya terlalu bernafsu ingin menjangkau semua pengungsi yang ada, sehingga tak pernah mau stay di satu lokasi yang membutuhkan. Lebih suka keliling-keliling lalu sorenya pulang ke hotel di Jogja. Padahal sebagian pengungsi itu suka pulang ke rumahnya kalo siang hari dan baru kembali ke pengungsian menjelang malam. Bagaimana bisa mencapai sasaran bila mereka tak mau tinggal bersama pengungsi siang malam.

Sudah jelas lokasi pengungsian yang di tengah kota dan mudah terjangkau selalu ada yang ngurus, mereka suka menolak kalo diajak ke daerah terpencil. Salah satu alasan yang paling menyebalkan bila diajak ke pelosok adalah, "mobil saya bisa masuk kesana engga..? Aman engga..?"

Kalo mau aman, bobo saja di rumah. Takut mobilnya lecet, kenapa ga disimpen saja di akuarium. Heran juga dengan pemikiran mereka yang katanya terpelajar itu. Sudah tahu mau ke daerah bencana, kok bawa sedan. Saat mereka bilang ga sanggup nyetir melihat kondisi jalan, kenapa menolak ketika aku menawarkan diri jadi sopir tembak. Lebih payah lagi, alternatif mobil mereka ditinggal lalu ikut naik pick up ku juga ditolak dan lebih suka balik kanan untuk cari lokasi pengungsian lain yang mudah dijangkau.

Tapi itu tak begitu jadi masalah walau suka bikin jengkel. Bagaimanapun mereka relawan yang tak digaji. Yang paling menyebalkan adalah narsisnya para pejabat yang lebih suka aku sebut mereka berwisata bencana. Kalo benar ingin menghayati apa yang dirasakan rakyatnya, kenapa tidak bekpekeran saja sih. Kenapa pula tanah becek berlumpur harus diurug dulu agar sepatu yang terhormat tidak belepotan. Datang dikawal patwal dengan sirene meraung-raung menyuruh orang lain menyingkir dari jalanan. Di pengungsian cuma mau action mencicipi nasi bungkus jatah pengungsi didepan kamera tipi. Setelah itu kembali ke tempat tidurnya yang empuk melupakan semua basa basi tadi. Berapa anggaran dana negara untuk jalan-jalan mereka. Belum lagi sejumlah pejabat bawahannya yang jadi buntut kesana kemari yang tentunya juga dibiayai dengan uang rakyat. Kayaknya lebih afdol kalo anggaran jalan-jalan itu dikasihin langsung ke pengungsi, bos...

Paling parah adalah bila ada kunjungan pejabat pemerintah yang merangkap pejabat partai. Sudah jelas-jelas disebutkan bantuan yang dibawa itu atas nama kementrian anu, tapi kenapa di sekitar lokasi kunjungan banyak bendera partai berkibar. Ini sama menyebalkannya dengan ketika awal bencana banyak satgas partai berebut tempat pengungsian yang akan dikelolanya. Bukan aku tak suka partai berbuat baik. Tapi kalo memang niatnya ikhlas membantu sesama, kenapa mereka pilih-pilih pengungsian yang di pinggir jalan dan lokasinya strategis. Bukan strategis untuk mobilitas logistik saja, tapi untuk menempatkan logo dan bendera partai agar mudah dilihat dari segala penjuru.

Di luar lokasi bencana pun, budaya pamer semacam itu cukup kentara. Yang menyolok mungkin budaya memberikan sumbangan melalui stasiun tipi. Entah benar mereka percaya kepada lembaga itu atau hanya karena waktu penyerahan disiarkan secara langsung aku ga begitu mengerti. Cuma sempat heran ketika liat di tipi, banyak kelompok masyarakat yang sebenarnya lebih dekat jarak tempuhnya ke Merapi memilih merapat ke stasiun tipi. Malah ada club motoris dari daerah Ciamis selatan yang sengaja konvoi naik sepeda motor ke Jakarta untuk menyerahkan amal baiknya.

Salahkah semua itu..?
Tentu saja tidak karena itu memang budaya sebagian dari kita kita. Toh antara "rila" dan "riya" cuma beda satu huruf saja. Kalo narsis itu dilarang, aku ga bisa cerita tentang pengungsi Merapi dong. Wong aku banyak nulis begini juga karena narsis. Karena aku juga ingin bilang, "apa yang aku berikan dengan tangan kanan, tangan kiriku ga boleh tahu. Tapi kalo wartawan tipi tahu, itu lebih bagus..."

Read More

20 November 2010

Semakin Berat

Langit di sekitar Merapi semakin tampak cerah dari lapangan Pasturan Muntilan. Batas wilayah bahaya sudah mulai diturunkan tak lagi 20 km. Beberapa lokasi pengungsian pun mulai kosong ditinggalkan penghuninya kembali ke desanya masing-masing.

Sepintas ini merupakan berita gembira untuk banyak orang, terutama bagi relawan yang mulai mengalami kelelahan fisk dan mental setelah hampir sebulan hidup di daerah bencana. Namun kenyataan tak seindah itu. Ribuan pengungsi di ring 5 - 10 km masih membutuhkan dukungan penuh. Padahal sumbangan logistik dari para donatur sudah semakin berkurang jumlahnya. Mungkin ekspos media yang mulai sepi dan tak lagi menganggap Merapi sebagai good news turut berperan dalam hal ini. Bila beberapa waktu lalu, setiap hari selalu ada truk atau donatur yang mampir ke posko untuk menawarkan logistik, sekarang sudah harus mulai dicari-cari.

Selain kerawanan dari penduduk setempat atau dari pengungsi gadungan seperti yang aku tulis di jurnal sebelumnya, kerawanan baru juga muncul dari pengungsi yang kembali atau bersiap-siap kembali ke desanya. Ketika awal-awal mengungsi, mereka cukup selektif dengan bantuan yang kita tawarkan. Misalkan stok beras mereka masih cukup, mereka akan menolak saat kita kirim beras lagi dan minta yang lain seperti pakaian atau laukpauk. Menjelang pulang kampung, rupanya mereka tak lagi mikir kebutuhan makan dan berteduh saja seperti awalnya. Mereka mulai berpikir bahwa mereka tidak punya uang untuk beres-beres rumah atau memulai usaha. Sehingga mereka mulai serakah dengan bantuan logistik dan tak lagi pilih-pilih, apa saja diterima.

Aku sendiri menemukan penjelasannya tak sengaja ketika melihat ada pengungsi yang kemarin sore aku drop bantuan, pagi ini lagi jualan masker di perempatan. Aku sempatkan ngobrol dan dari situ aku tahu bahwa mereka sedang getol-getolnya menimbun logistik untuk dijual. Hasilnya katanya akan dibagi rata kepada semua pengungsi di TPS tersebut sebagai persiapan saat kembali ke kampungnya.

Pantas saja dalam dua hari terakhir ini, permintaan bantuan ke posko semakin banyak saja. Tak cuma dari pengungsi yang masih di TPS, pengungsi yang sudah kembali ke kampungnya dan masyarakat setempat yang tak mengungsi pun mulai ribut kadang setengah maksa minta logistik.

Sebuah dilema kemanusiaan memang. Tapi mau gimana lagi, pengungsi yang berada di wilayah bahaya masih ribuan sementara sumbangan logistik makin susah didapat. Apalagi kita belum ada koordinasi tentang penanganan pasca bencana dan masih tetap pada komitmen awal untuk menangani pengungsi. Jadi, walau tak jarang harus menerima sumpah serapah masyarakat, kita tetap berjalan hanya untuk pengungsi.

Penciutan wilayah bahaya nyatanya tidak memperingan tugas relawan yang masih mau bertahan. Semoga saja masih ada satu dua donatur tersisa yang masih belum merasa bosen membantu kita di lapangan menyediakan kebutuhan pengungsi. Lelah dan mulai jenuh memang. Tapi ini panggilan kemanusiaan.

Andai saja pejabat di pemerintah kita adalah manusia, harusnya mereka tahu itu dan sigap ambil tindakan untuk melanjutkan tugas kita. Bila memang kepedihan pengungsi tak mampu menyentuh sisi kemanusiaan mereka, seharusnya kelelahan relawan bisa sedikit menggugah hati nurani. Masa jayus saja dikasih cuti dan liburan ke Bali, relawan kebelet pipis saja harus ngempet sekian lama.

Kapan ya, Depkeu buka lowongan relawan untuk posisi jayus..?
Read More

17 November 2010

Masalah Merapi Mulai Bergeser

Memasuki satu bulan masa bencana, satu persatu permasalahan mulai bergeser dari kondisi awal. Seperti misalnya di bidang kesehatan. Bila semula ketiadaan air bersih jadi masalah, kini MCK dan instalasi air bersih sudah mulai teratasi oleh relawan atau LSM yang bergerak dibidang itu. Relawan kesehatan pun semakin banyak baik yang stay maupun mobile. Namun ketiadaan relawan yang bergerak dibidang pengelolaan sampah membuat diare masih tetap menjadi keluhan di kalangan pengungsi. Mereka yang sejak awal merasa tak bermasalah membuang sampah di sekitar rumah atau barak baru saat ini terasa efeknya. Terutama ketika sampah organik mulai membusuk dan dipenuhi lalat. Masih mending yang tempat pengungsiannya di sekitar kota, sekali waktu masih ada petugas DKP keliling mengambil sampah yang menggunung.

Keluhan sesak nafas akibat debu vulkanik juga makin banyak disampaikan masyarakat. Pada awal-awal masa bencana ketika hujan abu masih begitu tebal, mereka memang lebih suka diam diri di rumah dan mengenakan masker setiap waktu. Setelah hujan abu reda, masker cenderung dianggap pengganggu. Padahal tumpukan debu di sekitar rumah apalagi di jalanan masih saja beterbangan ditiup angin atau ada kendaraan lewat. Apalagi di kalangan anak-anak, mereka yang menggunakan masker makin jarang terlihat.

Yang agak menyolok mungkin di bidang sosial ekonomi. Penduduk setempat yang semula menolong pengungsi kini mulai kehabisan bahan pangan karena roda perekonomian memang belum jalan. Ini berlawanan dengan pengungsi yang mulai kecukupan logistiknya dari berbagai bantuan yang masuk. Ketiadaan alokasi bantuan untuk warga setempat mulai memicu kecemburuan sosial. Ini membuat mereka yang merasa dirinya "yang punya kawasan" mulai agresif dan berani mencegat-cegat mobil relawan yang akan mengirim logistik ke tempat pengungsian. Sampai-sampai sejak dua hari lalu terbit instruksi dari Kompak Merapi, dropping logistik keluar kota dilarang dilakukan malam hari dan sangat dianjurkan untuk meminta pengawalan polisi atau TNI.

Kasus lain dalam satu minggu terakhir ini adalah mulai munculnya pengungsi gadungan yang meminta-minta bantuan. Sehari kemarin saja dari sekitar 15 permintaan bantuan, sepertiga diantaranya data palsu. Sepintas data yang masuk sepertinya komplit sekian ratus pengungsi dengan rincian anak-anak sekian, balita sekian, difabel sekian dan kebutuhan mendesak ini itu dst dst. Tapi ketika disurvai ke lokasi, ternyata di alamat tercantum tidak ada tempat pngungsian sama sekali. Lebih payah lagi ternyata dari beberapa permintaan untuk lokasi yang berbeda, bentuk tulisan tangannya hampir mirip. Makanya sejak kemarin, permintaan bantuan dengan cara mengambil sendiri ke posko hanya dilayani untuk paket rumah tangga saja. Paket bantuan besar untuk tempat pengungsian tidak boleh diambil dan akan diantar sampai ke tempat. Dan semua data yang masuk tetap akan disurvai agar kasus bantuan salah sasaran bisa diminimalisir.

Banyaknya pergeseran masalah itu tak cuma terjadi di kalangan pengungsi saja. Relawan pun tak jauh berbeda. Terutama di kalangan bapak-bapak yang hampir sebulan ini meninggalkan anak istri. Bila semula mereka begitu fokus dengan penanganan korban erupsi Merapi. Kini otaknya mulai eksplosif akibat gejala korban ereksi...
Read More

16 November 2010

Setor she late...

Puskesmas Sawangan II Magelang 15 Nopember 2010, tiba-tiba menjadi ramai dan banyak petugas medis siap siaga. Aku pikir ada mobilisasi umum tenaga medis pemerintah yang selama ini mblegedreg menangani pengungsi. Ternyata salah besar...

Hari-hari sebelumnya, petugas medis disitu tak pernah stand by 24 jam. Bahkan menurut pengakuan relawan yang disitu, tak jarang mereka cuma nongol 2 atau 3 jam saja dalam sehari. Sampai-sampai relawan sering kelabakan ketika ada pengungsi gawat darurat yang butuh bantuan medis. Untung saja petugas medis TNI sering bolak-balik, jadi tak perlu terlalu banyak misuh-misuh ketika ada yang sakit.

Yang agak parah adalah ketika ada sumbangan atau donasi kemanusiaan masuk. Barang-barang itu seolah haram bila langsung diterima pengungsi dan harus masuk gudang dulu. Padahal sampai saat ini judulnya belum pernah berubah, yang pegang kunci gudang tak selalu ada di tempat.

Dan mendadak siap siaganya para petugas medis kemarin itu, ternyata bukan karena mereka telah sadar akan tugasnya atau minimal telah tergugah rasa kemanusiaannya. Tapi cuma mau setor silit berkaitan adanya kunjungan dari MerC Singapore yang cukup besar donasinya dalam penanganan bencana Merapi ini.

Padahal mereka bertugas di ring 2 wilayah bahaya. Bagaimana dengan mereka yang jauh di Jakarta sana.. Sampai kapan budaya narsis semacam ini akan tetap bertahan dalam diri petugas negara kita..? Ga merasa bersalah apa ya, bikin aku misuh-misuh setiap waktu..?

Mobile Post via XPeria

Read More

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena