22 Februari 2008

Atas Nama Cinta


Andai saja saya bisa memiliki seorang perempuan  seindah Rossa yang Atas Nama Cinta dia relakan hidupnya merana. Hanya dengan motivasi asal engkau akhirnya denganku dia rela untuk bersumpah, seolah kebahagiaan itu hanya ada dalam diri sang pujaan.

Mengapa selama ini kita selalu mengidentikkan cinta dengan kebahagiaan bila ternyata antara cinta dan benci batasnya hanya sekulit ari. Bahkan Rossa sendiri pun menggugat dengan mengatakan "mengapa yang lain bisa mendua dengan mudahnya...?"
Apakah dengan ini dapat kita artikan bahwa kebahagiaan cinta itu merupakan hal yang langka? Betapa banyak kita mendengar orang begitu mengagungkan cinta namun pada akhirnya tersakiti olehnya.

Mungkin puisi sepanjang 179 halaman yang berjudul Makrifat Cinta karya Otto Sukatno CR perlu kita telaah. Coba saya kutipkan satu bait dari halaman 91,

sebab kebahagiaan hanya dapat dirasa
mereka yang dapat mempertemukan antara
idealitas, harapan dan kenyataan
dan nyatanya, kenyataan penuh dengan rambu-rambu
dikuntit rasa takut dan maut
dan kenyataan selalu berbiak
pada ketidakmenentuan dan perubahan
hanya orang yang dapat menentukan pilihan
dan melakoni dengan senang hati
tanpa penuh tanda tanya dan curiga
itulah kebahagiaan, sekecil apapun artinya

Begitu rumitkah untuk menggapai satu kata yang kita sebut kebahagiaan...?
Tidak semudah dan sesederhana ungkapan hati seorang Rossa..?
Ataukah kebahagiaan itu memang hanya halusinasi kita yang lemah di hadapan Tuhan?

Hmmm...
Saya jadi ingat teriakan Nietsche

Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet!
Tuhan sudah mati! Tuhan terus mati! Kita telah membunuhnya!

Teriakan hati yang menjadi bermakna ketika jaminan kepastian dari Tuhan, dan model-model Tuhan seperti ilmu pengetahuan, prinsip logika, rasio, sejarah dan kemajuan sudah mulai memudar. Dengan kata lain paradigma seluruh krisis kebahagiaan itu adalah "Tuhan sudah mati."

Dengan matinya Tuhan kini orang merasa seolah menghirup udara kosong (der leere raum) dan seluruh cakrawala dihapuskan. Seolah ini menunjukkan pentingnya Tuhan dan jaminan kepastiannya akan kebahagiaan yang absolut. Tapi dimanakah Tuhan kini..?

Mengapa Dia tidak juga mengutus Jibril untuk menebar Cinta. Atau menugaskan Santa Claus berkeliling dunia setiap hari membagikan kebahagiaan kepada umat manusia. Masih relevankah tangisan Rossa yang memohon kebahagiaan atas nama cinta...?

Belum ada jawabnya kepada saya sampai saat ini. Mungkin hanya surat Nietzsche di Pforta yang bisa saya baca sebagai penghibur hati yang duka ini...

jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah
jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, carilah

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena