11 Februari 2008

Japrem..!!!

Malam jumat kemaren saya sama temen saya Tata makan di Depan Wisma Antara. Saat itu ada seorang anak kecil menghampiri.

"Om... minta uang om. Buat makan om"
"Kamu belum makan.?" tanya saya. Anak itu cuma mengangguk.
Saya pegang pundaknya, "Dah, kamu duduk sini tar saya bayarin deh. Mau makan apa..?"
"Engga om, uangnya saja.."
"Lho, katanya belum makan. Dah pesen sana. Nanti kamu sakit."
"Engga om, ibu saya juga belum makan."

Duh, mulai rese ni anak. "Sekarang kamu makan dulu, tar bungkusin buat ibu kamu.."
Eh... anak itu malah berdiri. "Engga, om. Uangnya saja. Cepetan om..."

Waduh, ini anak. Udah minta ati, dikasih rempela sekalian jeroannya malah minta mentahnya. Pake setengah maksa lagi. Karena kelihatan seperti ketakutan akhirnya saya kasih. Abis itu lari ke sebrang jalan. Eh, sialan. Uang yang katanya buat ibunya malah dikasihin ke pemuda yang kayaknya preman deh.

Saya jadi inget cerita anak-anak di Senen waktu saya nongkrong setengah hari disana. Mereka cerita kalau uang hasil minta-minta, ngamen atau nyopet itu mereka cuma kebagian sedikit. Kebanyakan disetorkan ke preman penguasa wilayah itu.

Mikir engga sih... Anak di bawah umur harus cari uang dibawah paksaan sedangkan yang berusia produktif cuma ongkang kaki menunggu setoran..?

Yang memprihatinkan tuh waktu saya tanya, "Eh, elo nyopet, uangnya malah dikasihin orang. Kalo elo digebukin orang apa ketangkep polisi, emang bukan elo yang ngerasain..?"

"Kalo ketangkep, tar abang yang ngeluarin. Makanya gua harus setor, soalnya buat ngeluarin dari kantor polisi kan harus bayar gede..."

Sepintas bener juga sih jawaban polos di wajah lugu itu. Tapi coba deh pikirkan. Harus setor cuma untuk ngeluarin kalo ketangkep polisi.
Setornya berapa, ngasih polisinya berapa..? Imbang engga..?
Kerja keras dengan resiko tinggi, sama duduk manis nunggu setoran, imbang engga..?

Lagian kalo tidak nyopet kenapa harus ditangkep polisi. Padahal pelaku di bawah umur, apalagi di bawah paksaan belom bisa dimasukin perkara kriminal. Trus, kenapa polisinya minta duit..? Jadi preman aslinya yang mana..?

--------------------

Belum ilang kedua cerita itu dalam ingatan, saya malah harus berurusan langsung sama preman Pulogadung. Ceritanya neh dalam kondisi basah kuyup, saya mencari bus ke Solo. Calo-calo kurangajar pada berebut narik-narik tas.

Trus di deket pos polisi ada seorang bapak agak tua dan gemuk pakai payung bertanya. Walaupun cuma pakai kaos, tapi karena celananya coklat saya kira beliau tuh petugas. Lagipula gaya omongannya juga kaya kebiasaan polisi beneran.

"Kalo ke Solo, busnya sebelah sana. Tapi jangan kesana sendiri, dipalak calo tar. Tuh sama anak buah saya saja," katanya sambil memanggil seseorang.

Jadinya saya mbuntut deh sama orang itu. Trus diajak ke pinggir tempat agen. Ada orang berbadan gede di situ. Dia nanya mau kemana sama minta ongkos. Saya yang sering dengar tentang preman Pulogadung, bersikap rada ati-ati.

"Mana bisnya, bang..? Naik juga belum kok dimintain ongkos."
"Tuh.."katanya sambil menunjuk bus di depannya. "Mana duitnya.."

Saya keluarin uang dari celana. Kebetulan ada 3 lembar limapuluhan ribu. Niatnya saya kasihin selembar saja. Eh.. malah disamber semua.
"Eh, apa-apaan neh bang..?" protes neh ceritanya.
"Dah, pake eksekutif saja" jawab dia ketus sambil bergegas keluar terminal. Saya nengok ke orang yang katanya anak buah yang didepan pos polisi.
"Udah ayo ikutin aja, jangan disini, lama. Mending yang diluar terminal biar langsung berangkat," katanya sambil berjalan mengikuti yang tadi.

Mau ga mau mbuntut deh. Ternyata jalannya jauh juga tuh. Mulai kerasa ga enak perasaan neh. Ada mungkin 800 meter keluar terminal, trus saya disuruh naik bus Mandala yang saya tahu itu ekonomi AC. Saya turun lagi tapi dihalangin oleh personal bus. "Dah, mas. Duduk sana.."

"Bentar, bang. Katanya eksekutif bukan yang kaya gini..?"

Yang ditanya malah ngebentak pake dialek Jawa Timuran, "Eksekutif opo, mbayar 40ewu kok pengin bis apik.."

Saya lari keluar, dua orang yang tadi sudah menghilang entah kemana. Karena udah telanjur lelah seharian jalan kaki, badan basah kuyup kehujanan sejak di Senen, apalagi malemnya abis ga tidur, saya akhirnya duduk pasrah di bus itu sambil menggerutu "Nyikat duit 150 ribu kok cuma dibayarin 40 ribu ke kondekturnya..." Tapi ya sudahlah. Itung-itung zakat fitnah...

Dan ternyata.... disitupun banyak masalah. Ongkos resmi yang cuma 50ribu, ada yang dimintai 70 ada yang 85... Trus busnya engga juga berangkat. Ada yang protes katanya sudah duduk di bus itu sejak jam 2 siang tapi cuma nyampai cakung balik lagi ke pulogadung sampai berkali-kali. Orang itu minta ongkosnya dikembalikan. Walau alot akhirnya dikembalikan tapi cuma separo, 40 ribu doang... Denda kata kru bus.

Itu belum selesai. Sekitar jam 10 malem bus berangkat pelan seperti keong. Sampai Cakung ada penumpang operan dari bus Mahkota 13 orang. Karena Bus Mahkota itu ekonomi, dan Mandala itu AC, setiap penumpang dimintai tambahan 15 ribu oleh kondektur Mahkota.

Masih dilanjut neh...
Penumpang Mahkota tadi kebanyakan kan tujuannya ke sebelah timur Semarang, padahal Mandala dari Semarang belok ke selatan menuju Solo. Ternyata begitu sampai Semarang, kru Mandala tidak mau tanggungjawab memindahkan penumpang itu ke bus jurusan Semarang ke timur. Alesannya itu bukan urusan dia tapi kondektur Makhota. Mau ngangkut sampaiSemarang juga sudah untung kok... Lihat saja di karcis yang baru, tujuannya mana..?
Dan emang bener sih, di karcis yang mereka terima tertulis SMG...

Masya Alloh.... Kenapa harus begini Indonesiaku..? Sesama orang kecil saja saling menginjak. Apalagi yang gedean...?

Kapan aku bisa dapat Japrem (Jatah Preman...)

Kapan sih aku dipilih jadi presiden...?

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena