Di saat citizen jurnalism sedang menjadi topik hangat, saya malah mendapat PM yang menanyakan pemikiran saya tentang topik yang beberapa waktu lalu sempat hangat menjadi perbincangan, yaitu tentang kesetaraan gender. Padahal bila mau membuka replai atau komen di blog, seharusnya beberapa pemikiran saya sudah bisa terbaca. Saya sendiri sebenarnya kurang menguasai dan kurang tertarik dengan masalah gender itu, hanya saja karena sering terkait dengan masalah hak anak, seringkali hal tersebut ikut tersentuh. Sepertinya lebih layak bila pertanyaan itu disampaikan kepada Yu Rofie atau Shopi yang memang menjadikan gender sebagai bagian dari hidupnya. Tapi demi teman tak apalah saya coba buka kembali sedikit.
Masalah emansipasi dan pemikiran saya agaknya akan menarik jika kita membuka bukunya Allan and Barbara Pease yang berjudul Sillyman from Mars, Pitywoman from Venus. Buku yang menjawab pertanyaan “Mengapa pria tampak bodoh dan mengapa wanita seolah harus dikasihani” itu seolah menebak pemikiran saya secara detail tentang makhluk yang berjudul perempuan. Bahkan saya dulu seringkali menyebut Yayang saya dengan ungkapan Venus. Dewi Cinta yang penuh keindahan, termasuk beribu kemisteriusannya….
Isu kesetaraan sebenarnya lebih banyak diekspos di negara-negara barat yang fakta sendiri mengungkapkan 50% perkawinan kandas dengan perceraian. Pria dan wanita dengan segala bentuk budaya, kepercayaan dan coraknya tiada henti-hentinya “bertengkar” karena prtentangan pendapat, sikap, perilaku dan keyakinan pasangan mereka.
Saya tak ingin membahas secara detil sampai ke masalah genetika. Cukup kiranya kita ambil contoh nyata yang sederhana dalam masyarakat untuk mencoba mengungkap bahwa kedua tipe seks itu memang berbeda secara struktural dan fungsionalnya, tidak sekedar perbedaan biologis semata.
Ketika seorang pria pergi ke toilet, biasanya karena satu alasan dan hanya satu alasan. Sedangkan wanita menganggap toilet sebagai sesuatu yang universal, tempat instropeksi penampilan, tempat berleha-leha bahkan dianggap kamar terapi. Wanita yang masuk toilet kendati sebagai “orang asing” bisa saja dengan mengajak teman baik atau sahabat dekatnya. Akan tetapi orang akan menatap dengan aneh bila seorang pria berperilaku seperti Lik Ihin, yang di YM saja tak pernah ketinggalan mengetik, “Saya mau ke toliet, ikut ga, Wins..?”
Perbedaan pandang untuk kasus sederhana itu pada akhirnya mengisi segala aspek kehidupan dan kolaborasi insan berbeda jenis itu sampai ke tahap yang paling rumit. Mereka saling kritik dan saling serang walau di sisi lain mereka saling mengagumi.
Kaum wanita sering mengkritik pria karena dianggap cuek, tidak mau mendengar, kasar, tidak setia, suka selingkuh, tidak bisa memberikan kehangatan dan cinta kasih, hanya menginginkan seks ketimbang cinta dan tak jarang meninggalkan dudukan toilet (toilet seat) dalam keadaan terbuka setelah menggunakannya.
Pria mengkritik wanita karena cara mereka “menyetir” yang tidak bisa membaca marka atau rambu jalan, hanya mebolak-balik peta petunjuk tanpa tahu arah, malah menjerit histeris saat ada pejalan kaki nyelonong bukannya banting stir atau menginjak rem, banyak bicara tapi tanpa “juntrung”, pura-pura pendiam, tidak mau membicarakan seks dan lebih suka dudukan toiletnya dalam keadaan tertutup.
Di lain sisi…
Pria mengagumi cara wanita berjalan “berlenggak-lenggok” di suatu tempat yang ramai dan kemudian memberikan komentar pada semua orang, tapi wanita tidak percaya kenapa pria tidak bisa setia. Pria merasa heran kenapa wanita tidak bisa melihat lampu “indikator oli” menyala merah di dashboard mobil tapi bisa melihat noda kotor di kaos kaki yang berada 50 meter di pojok ruangan.
Wanita merasa kagum karena pria bisa secara tepat “memarkir mobil” di tempat yang sempit dalam kegelapan sekalipun hanya dengan melihat spion dan naluri, tapi anehnya mereka tidak pernah bisa menemukan titik G Spot yang hanya beberapa sentimeter dari ambang pintu.
Secara stereotip, refleksi masyarakat sudah membedakan gender sejak kita masih polos bagaikan kertas yang siap ditulisi. Bayi perempuan akan diberi pakaian pink dan boneka, sedangkan laki-laki akan dibelikan kostum sepak bola dan mainan tentara-tentaraan. Ketika tumbuh menjadi gadis kecil, dia akan digendong disayang-sayang dengan belaian mesra sedangkan laki-laki kecil dipukuli “bokongnya” dan tidak boleh menangis. Walaupun misalkan kita bereksperimen menempatkan seorang bayi laki-laki dan perempuan di sebuah pulau kosong agar mereka tumbuh tanpa pemaksaan ide dari kultur masyarakat dewasa, anak perempuan kemungkinan besar tetap akan bersifat “ngemong”, penuh belaian, bersahabat dan bermain boneka dari kayu kering. Sementara anak laki-laki secara mental dan fisik akan tetap belajar cara mempertahankan ego dan kuasanya dan membuat senjata dengan kayu kering yang ditemukannya.
Secara spesifikasi memang berkembang secara berbeda karena pria suka “berburu”, wanita suka “ngerumpi”. Pria bersikap melindungi dan wanita memiliki kelembutan dan cinta kasih. Jadi bisa disimpulkan bahwa tubuh dan otak mereka memang diciptakan berbeda secara keseluruhan. Selama berjuta tahun struktur otak pria dan wanita berubah dengan cara yang berbeda. Kini kita juga mengenal jenis kelamin menyuguhkan informasi yang berbeda pula.
Mereka berpikir, meyakini sesuatu, memiliki persepsi, prioritas dan perilaku yang berbeda. Berbuat yang sebaliknya adalah salah satu “resep jitu” untuk menambah sakit kepala, kebingungan dan kekecewaan hidup kita semua…
dan mereka masih menuntut kesetaraan gender, padahal fakta (seperti yang diungkapkan mas Rawins) sudah gamblang :D
BalasHapusmereka itu tidak tahu atau pura2 tidak tahu yah :D