"Hey, kenapa naik bus ekonomi...?" tanya temen saya setibanya di Jakarta.
"Bedanya ga seberapa, habisnya lebih banyak. Mana ga nyaman lagi...."
"Bedanya ga seberapa, habisnya lebih banyak. Mana ga nyaman lagi...."
Saya cuma tersenyum mendengar pertanyaan temen itu. Emang bener sih, naik bus ekonomi itu ga enak. Udah lambat, panas, banyak gangguan pedagang asongan dan pengamen ditambah asap rokok dari penumpag lain yang seenaknya. Tapi justru itulah yang saya sukai. Ada sebuah nilai lebih yang saya rasakan saat menumpang kendaraan umum kelas rakyat jelata dan melata itu. Sebuah nilai yang saya rasa terlalu indah untuk dilewatkan. Nilai perjuangan dan kemanusiaan...
Terus terang saya salut dengan kegigihan mereka memperjuangkan hidup. Di saat orang lain, bahkan negara ini tak peduli. Mereka tidak mengeluh. Dengan modal seadanya, sebuah gitar bolong atau kecrek dari tutup botol mereka berusaha bertahan hidup. Jauh sekali dengan kita yang selalu merasa kekurangan padahal kita bisa menikmati internet.
Kalau dihitung sejak dari pintu tol Cileunyi sampai Kampungrambutan, pengamen saja mungkin lebih dari sepuluh. Belum lagi pedagang asongan dan peminta sumbangan. Untung stok uang ribuan rada banyak, jadi saya bisa sedikit berbagi kebahagiaan dengan manusia-manusia tangguh itu. Temen sebangku saya yang katanya dari Garut sampai bertanya, "Mas, habis berapa buat yang ngamen..? Sayang mas, paling buat mabok. Yang minta sumbangan masjid malah engga dikasih..?"
Memang begitulah. Apapun yang mereka lakukan dengan hasil ngamennya itu, saya tak peduli. Di mata saya mereka tetap manusia yang mau berusaha walaupun dengan cara yang ala kadarnya. Tak mengapa, sayang... Mungkin hanya sebatas itu kemampuan mereka. Bagi saya itu tetap lebih baik daripada munafik peminta-minta yang mengatasnamakan agama. Baca doa panjang lebar lalu mengacungkan kotak sumbangan masjid. Mengapa umat yang tahu hukumnya "berusaha" di mata Tuhan kalah oleh preman yang kata teman saya hanya bisa mabuk-mabukan...???
Hmmm... itulah indahnya bus ekonomi. Walaupun alasan saya sebenarnya kelupaan sarung saya taruh di tas paling bawah. Males mau bongkar-bongkarnya kalau saya harus naik bus AC.
Terus terang saya salut dengan kegigihan mereka memperjuangkan hidup. Di saat orang lain, bahkan negara ini tak peduli. Mereka tidak mengeluh. Dengan modal seadanya, sebuah gitar bolong atau kecrek dari tutup botol mereka berusaha bertahan hidup. Jauh sekali dengan kita yang selalu merasa kekurangan padahal kita bisa menikmati internet.
Kalau dihitung sejak dari pintu tol Cileunyi sampai Kampungrambutan, pengamen saja mungkin lebih dari sepuluh. Belum lagi pedagang asongan dan peminta sumbangan. Untung stok uang ribuan rada banyak, jadi saya bisa sedikit berbagi kebahagiaan dengan manusia-manusia tangguh itu. Temen sebangku saya yang katanya dari Garut sampai bertanya, "Mas, habis berapa buat yang ngamen..? Sayang mas, paling buat mabok. Yang minta sumbangan masjid malah engga dikasih..?"
Memang begitulah. Apapun yang mereka lakukan dengan hasil ngamennya itu, saya tak peduli. Di mata saya mereka tetap manusia yang mau berusaha walaupun dengan cara yang ala kadarnya. Tak mengapa, sayang... Mungkin hanya sebatas itu kemampuan mereka. Bagi saya itu tetap lebih baik daripada munafik peminta-minta yang mengatasnamakan agama. Baca doa panjang lebar lalu mengacungkan kotak sumbangan masjid. Mengapa umat yang tahu hukumnya "berusaha" di mata Tuhan kalah oleh preman yang kata teman saya hanya bisa mabuk-mabukan...???
Hmmm... itulah indahnya bus ekonomi. Walaupun alasan saya sebenarnya kelupaan sarung saya taruh di tas paling bawah. Males mau bongkar-bongkarnya kalau saya harus naik bus AC.
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih