09 Februari 2008

Cukup Sepatu Saja

Niat Hijrah untuk mengawali lembaran hidup baru kesampaian juga. Mengapa saya pilih Jakarta, karena beberapa waktu lalu temen-temen sering meminta bahkan memaksa saya ke Jakarta untuk membantu pekerjaan dia. Jadi yang kepikir, kayaknya ga terlalu sulit untuk cari kerjaan di Ibu Kota.

Satu dua tiga temen saya samperin, memang kerjaan yang menjadi bidang saya cukup banyak. Ditanya bisa ini,
Insya Alloh bisa... Bisa itu, bisa... Yang begono bisa, yakin bisa... Cuma semuanya mentok ketika mereka menanyakan sesuatu yang tidak saya miliki. Saya tidak punya ijasah dan sepatu.

Hmmm... pikiran saya melayang kembali ke desa. Ternyata budaya sepatu ga di kota ga di desa sama saja. Orang yang tidak punya sepatu, jangankan melamar kerja. Mau masuk kantor saja tidak boleh. Katanya tidak sopan. Saya tuh suka  bingung, walaupun pakaian saya butut tapi kan bersih dan rapi. Cuma karena urusan alas kaki kok dikatakan tidak sopan. Padahal saya lihat resepsionis di kantor itu, walau pakai sepatu, tapi pakaiannya menurut saya kekurangan bahan. Entah karena gajinya kurang atau tukang jahitnya salah potong, yang pasti menurut saya yang dari desa, pakaian itu kurang tata dan krama. Kok tidak dibilang ga sopan ya..?

Orang seringkali menanyakan kamu ijasahnya apa ketika melamar sebuah pekerjaan, padahal saat pekerjaan itu akan dikerjakan, kayaknya jarang banget deh konsumen yang menanyakan itu. Biar lebih yakin saya tanya ke temen saya yang di Lemhanas, "Ta, kalo elo ada pasien, pernah ga pasien elo nanyain elo ijasahnya apa..? IPKnya berapa..?" Nyatanya belum pernah.

Sampai akhirnya saya hampir seharian nongkrong di trotoar pasar senen, merenungkan langkah apa yang harus saya tempuh. Bolak-balik saya ke atas ke bawah melihat-lihat sepatu loakan yang masih bagus. Sempat saya pegang-pegang sambil meraba-raba isi kantong. Tapi akhirnya saya urungkan niat. Beli sepatu bagi saya masih bisa sedikit menerima, tapi membeli ijasah hati saya berat sekali mengiyakannya.

Sambil duduk di kolong jalan layang memperhatikan anak-anak jalanan saya mengambil satu kesimpulan. Isi otak tidak begitu diperlukan di negara ini. Cukup punya ijasah dan sepatu walau entah darimana asalnya. Dan saya harus berani menerima kenyataan kalau otak saya tidak ada harganya dibandingkan sepatu di loakan sekalipun....

Pantaslah Sarmidi menjual otak bangsa kita paling mahal dibanding bangsa lain. Masih original dan jarang dipakai.
Cukup sepatu saja...

Tanya, kenapa....?


0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena