12 Februari 2010

Perempuan dan Kebertubuhan (bag. 2)

Lanjutan dari bagian 1

Fitur keindahan tubuh begitu gencar diekspos dalam media massa misalnya televisi. Media ini paling kuat membentuk image kecantikan, baik melalui sinetron atau iklan yang selalu menampilkan figur perempuan ideal. Perempuan menjadikan model yang terdapat pada iklan atau majalah sebagai standar atau patokan baru untuk ukuran kecantikan. Iklan televisi seolah-olah memberikan masukan adanya produk-produk ‘ajaib’ terbaru yang dapat menjembatani jurang antara kenyataan dan apa yang dianggap ideal.


Iklan bisa disebut sebagai bentuk penyampaian mitos kecantikan yang mempengaruhi penonton televisi untuk menerima pesan komersial sebagai kebenaran daripada sebagai konstruksi.  Media massa melakukan persepsi yang mendehumanisasi perempuan. Melalui media inilah perempuan diterjemahkan> Hanya saja penerjemahannya bukan atas diri perempuan sendiri, melainkan atas sebuah konstruksi berupa simbol-simbol atau pesan-pesan yang "diinginkan dunia laki-laki".

Dan akhirnya ada anggapan bahwa perempuan yang memiliki tubuh ideal akan mendapat respons yang lebih positif di masyarakat. Itu merupakan salah satu penyebab sebagian besar perempuan mengikuti trend. Figur perempuan semakin menyesaki layar televisi dan majalah. Tubuh, senyum, geraian rambut, dan raut wajah perempuan yang menggairahkan muncul bertahun-tahun di papan-papan iklan yang berjajar di pinggir jalan.

Betapa besar peran media massa bagi kita. Sanggupkah kita menghindarkan diri dari media massa?

Bagi kebanyakan orang, terutama di kota-kota besar pertanyaan ini mungkin akan mendapat jawaban negatif. Hari-hari yang kita lalui tidak pernah luput dari sentuhannya. Dalam pengertian semiotik, kita adalah para “pembaca” media massa, entah itu berupa koran, majalah, radio, televisi, film, atau sarana komunikasi apapun yang mereproduksi dan menyebarkan pesan-pesan publik.

Jika kita mengamati fenomena perempuan dari kebudayaan barat, yang dibentuk oleh media massa dengan standar tubuh yang diidealkan telah mempengaruhi para perempuan dari kebudayaan timur. Terbukti berbagai bentuk produk terutama yang berhubungan dengan kosmetika dari luar negeri untuk memperbaiki wajah/tubuh telah dikonsumsi oleh perempuan Asia. Hal ini diperkuat beberapa penelitian dan literatur yang menunjukkan fenomena para perempuan dari kebudayaan barat yang dibombardir oleh media massa dengan standar tubuh yang diidealkan juga terjadi di Indonesia karena adanya globalisasi kapitalisme. Sehingga mereka cenderung jatuh dalam citra tubuh negatif.

Dengan kemajuan tehnologi seperti sekarang ini, standar kecantikan menjadi global dan universal. Standar pembentukan tubuh ideal yang digambarkan oleh iklan kosmetika dunia menjadi megatrend bagi hampir semua manusia di dunia. Inilah setrategi kapitalisme yang memang ditujukan pada mereka. Kehadirannya mesin kapitalisme bergerak cepat seiring dengan perubahan masyarakat yang mengaku dirinya makin modern. Kapitalisasi mau tidak mau, suka tidak suka, harus kita terima sebagai resiko dari perubahan zaman.

Hasrat menggerakkan mesin kapitalisme bertujuan menghasilkan kesenangan dan kepuasaan dengan memanfaatkan tubuh perempuan sebagai salah satu objeknya.  Patut disayangkan memang kesadaran kritis perempuan terhadap kapitalisasi sensualitas tubuh perempuan tidak berkembang dengan baik. Terbitnya majalah Playboy dan majalah-majalah sejenis tidak hanya mengindikasikan ketidakmampuan masyarakat memahami eksploitasi tubuh perempuan, melainkan hanya memanfaatkan tubuh perempuan dalam rangka merengkuh keuntungan material.

Sayangnya sebagian perempuan malah merasa apa yang dilakukannya bukan semacam eksploitasi tubuh. Perempuan justru merasa mendapatkan keuntungan materi yang melimpah. Terjadilah simbiosis mutualisme antara pemilik modal dengan sensualitas tubuh perempuan.

Upaya pembebasan perempuan harus dimulai dari pembebasan tubuh untuk berekspresi secara konkret. Saat dimana tubuh tidak lagi menjadi sumber beban, sumber rasa malu dan sebagai pembatas ruang geraknya. Saat dimana perempuan bebas menentukan sendiri nilai-nilai yang dihayatinya dalam kebertubuhannya dan mengonkretkan dalam aktivitas yang dipilihnya secara bebas. Dalam proses ini tubuh menjadi unsur penting karena dalam dan melalui tubuhlah perempuan berproses menentukan dan membentuk dirinya.

Menurut Beauvoir (1976: 65) dalam bukunya The Ethics of Ambiguity, "menginginkan seseorang bermoral sama dengan menginginkan seseorang bebas”. Perempuan sebagai pengada bebas harus diberi kebebasan penuh sebagai subjek untuk memutuskan nilai-nilai yang diyakininya dalam penghayatan kebertubuhannya. Perempuan harus diberi ruang untuk bertindak bahwa aktifitas tubuhnya bukan reaksi dari aspek biologisnya saja. Sementara budaya patriarki menerapkan konsep subjek hanya pada manusia berjenis kelamin laki-laki saja, budaya patriarki tidak mengakui hubungan yang setara dan timbal balik antara laki-laki dan perempuan.

Tubuh perempuan tidak bisa dimiliki oleh siapapun sebagaimana anggapan umum yang cenderung menempatkannya sebagai objek yang ditaklukkan dalam hubungan seks. Tubuh yang digagahi dan yang dinikmati lelaki dan bukan tubuh yang mempunyai integritas sendiri. Tubuh perempuan bukan milik kita dan tidak lantas menjadi milik kita hanya karena kita menyetubuhinya.

Hanya saja ketidakkonsistenan perempuan dalam menyikapi hal ini seringkali menjadi ganjalan. Misalnya ketika sebagian perempuan tidak mau menerima ketika dikatakan menjual diri. Sementara dia menggunakan kelebihan keindahan tubuhnya untuk memikat laki-laki hanya untuk mendapatkan uangnya. Padahal sebagian laki-laki memiliki prinsip dengan punya uang, dia bisa meraih segalanya termasuk perempuan indah. Ketika perempuan masih berpikiran menjual kecantikannya untuk menggaet laki-laki kaya, maka secara otomatis dia makin menyuburkan budaya patriarki dalam masyarakat kita.

Perlawanan akan hal ini mungkin teramat sulit. Karena sebagian masyarakat kita dalam hal ini orang tua masih sering menganggap anak perempuan sebagai aset keluarga. Seperti dalam tradisi kita dikenal istilah tukon, peningset, seserahan dan sebagainya ketika seorang laki-laki akan melamar perempuan menjadi istrinya. Tukon itu sendiri bisa diartikan imbalan atau penukaran atau pembelian. Seolah-olah anak perempuan merupakan barang yang harus dibeli oleh laki-laki yang melamarnya.

bersambung kesini...

Ilustrasi Anatomy Lesson
Karya Bambang Darto
Tujuh Bintang Art SPace


4 comments:

  1. Begitu pula dengan kontes-kontes seperti miss univers, miss world & miss2 yang lain. Itu tidak lebih dari sekedar alat penggerak mesin2 kapitalis pabrik kosmetik, bikini dsb yang merupakan sponsor utama acara itu dengan menempatkan perempuan sebagai objeknya.

    BalasHapus
  2. Kayane bener, tapi kenyataannya perempuan pada ngotot tuh...

    BalasHapus
  3. ya itu dia, persis yang kaya di tulisan:
    "Sayangnya sebagian perempuan malah merasa apa yang dilakukannya bukan semacam eksploitasi tubuh. Perempuan justru merasa mendapatkan keuntungan materi yang melimpah".

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena