13 Februari 2010

Perempuan dan Kebertubuhan (bag. 3)

Lanjutan dari bagian 2

Tubuh tidak pernah netral, paling tidak ada 3 cara bertubuh jika dilihat dari jenis kelaminnya, menjadi laki-laki, perempuan, atau hemofrodit. Tubuh juga dikenai disiplin dalam menjalani kebertubuhannya, dengan adanya keharusan tertentu dalam menjalani cara bertubuh. Misalnya tubuh perempuan seharusnya lebih lemah gemulai atau lentur daripada laki-laki dan sebagainya. Jika tidak, maka akan dikatakan tidak normal. Tubuh juga dikenai hierarki pemaknaan, tubuh yang indah atau tidak indah, tubuh yang normal atau tidak normal, tubuh yang ideal maupun tidak ideal.



Ketika seorang anak perempuan mulai tumbuh, dia sudah dikenai disiplin bertubuh. Anak perempuan tidak boleh memanjat-manjat, membuka kaki lebar-lebar waktu duduk atau tidur terlentang dan banyak lagi yang seolah menjadi perilaku khusus laki-laki. Ketika beranjak dewasa dia akanamengalami menstruasi dan pembengkaan payudara yang menambah disiplin akan kesibukan perempuan. Dan ini membuktikan ubuh perempuan itu lebih rumit dan lebih spesifik, tidak seperti tubuh laki-laki yang relatif tetap dan terintegrasi.


Para ilmuwan sosial biasanya menekankan persamaan jender, bahwa perbedaan disebabkan oleh sosialisasi. Anak lelaki belajar menjadi maskulin dan anak perempuan belajar menjadi feminin. Meskipun berbagai atribut ini Seringkali berlainan dalam kebudayaan atau era yang berbeda-beda. Meskipun demikian cara kebertubuhan seseorang bukanlah korban pasif biologi atau masyarakat. Tubuh berhak memilih identitas diri dari banyak kemungkinan dan pilihan.

Dalam sejarah filsafat dijelaskan bahwa manusia selalu bergulat untuk mencari makna keberadaannya. Setiap manusia merupakan indavidu tunggal yang terpisah dari individu lainnya, manusia adalah pengada bebas yang belum jadi yang berproses menciptakan dirinya sendiri. Dengan kata lain “manusia eksistensi yang mendahului esensi” artinya manusia hadir di dunia ini sebelum berproses membentuk diri.

Sebagai pengada yang belum jadi, manusia bebas menentukan keberadaannya. Sebagai pengada bebas, secara spontan manusia menemui situasi yang tidak sempurna dan tidak pasti. Upaya manusia ini dalam realisasinya tidaklah mudah karena akan berhadapan dengan pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan dalam pemaknaan eksistensinya. Situasi yang tidak pasti ini selalu mengikuti manusia dalam proses pembentukan dirinya.

Tubuh manusia bukan sekedar tubuh biologis. Dengan kata lain sebagai situasi, tubuh merupakan proses dialogis antara penafsiran kultural dan nilai-nilai yang melekat pada tubuh. Ini menunjukkan bahwa cara seseorang membentuk dirinya sangat ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang mengikutinya. Manusia sadar akan dorongan yang mengalir dalam dirinya untuk terus menerus dalam proses pembentukan dirinya dan mempunyai otoritas penuh untuk memutuskan tindakan yang akan dilakukannya. Karena tubuh adalah individu yang memiliki tubuh itu sendiri. Tetapi disisi lain tubuh juga merupakan tempat penilaian bagi subjek lain. Tubuh terletak di jantung kehidupan dan interaksi sosial, dan juga menjadi jantung bagi identitas pribadi.

Jadi meskipun tubuh menjadi tubuhnya sendiri tetapi tubuh juga hadir di dunia ini untuk orang lain. Dan ketika tubuh itu ada pada perempuan, budaya patriarki menolak otorisasi kebertubuhan perempuan melalui fenomena seksualitas. Sehingga makna eksistensi perempuan hanya ditentukan berdasarkan fungsi biologisnya saja.

Dalam budaya patriarki perempuan diharuskan menjalani dan meyakini seluruh aspek kehidupannya melalui nilai kebertubuhan yang negatif. Identitas perempuan yang sebenarnya adalah sebagai jati diri yang bebas dan mandiri. Yang membentuk eksistensi dirinya secara otonom dan otentik. Otentik bukan berarti menolak nilai-nilai yang ada, melainkan berani bersikap.

Jika saja di dunia ini tidak ada “tubuh perempuan”, mungkin nasib kesenian kita tidak bisa seperti sekarang ini. Adalah sebuah kenyataan bahwa  citra tubuh dan sensualitas perempuan telah banyak memberikan ilham dalam penciptaan karya seni di berbagai cabang dan bentuk seni. Banyak karya agung berupa lukisan, patung, film, sastra dan musik menampilkan sosok tubuh. Perkataan lembut, alunan musik, tulisan atau bangunan (arsitektur) indah lahir karena tergoda oleh citra perempuan yang begitu luhur itu.

Sebagai contoh lukisan-lukisan pada abad pertengahan sebagian besar menggambarkan keanggunan perempuan-perempuan kaya/ningrat, patung-patung Venus/Aphrodite dari zaman prasejarah hingga klasik. Dari dunia film dapat dilihat film “Cut Nya’ Dien”, “Evita Peron” dan juga sinetron-sinetron televisi selalu didominasi dengan tema-tema perempuan, dari seni bangun/arsitektur bisa dilihat bangunan monumental Taj Mahal yang dibangun sebagai wujud kecintaan pada perempuan.

Dunia seni semestinya berterima kasih kepada perempuan karena telah banyak berhutang kepada citra dan tubuh perempuan. Seperti dikiaskan oleh Freud, bahwa citra dan tubuh perempuan itu semacam libido yang banyak menentukan bentuk, pikiran maupun tindakan seni. Meskipun harus diakui bahwa budaya patriarki telah mendominasi sejak berabad-abad silam. Namun perempuan tetap menjadi mitos dan legenda hidup yang menjadi imajinasi manusia sampai saat ini.

bersambung lagi kesini...

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena