Ada seorang teman yang bertanya, dengan sebuah pertanyaan yang menggugat kebiasaan dan kenyataan di sekeliling kita dengan bersembunyi di balik kata manusiawi. "Bila kita menyukai kupu-kupu, kenapa kita harus jijik dengan ulat..?"
Kita seringkali menyadari bahwa dunia selalu berubah. Ini bisa dilihat dengan adanya pernyataan yang mengatakan, yang tak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Akan tetapi secara alam bawah sadar, kita sebenarnya menyukai kemapanan dan sering menolak perubahan.
Selain itu, manusia juga tahu bahwa segala sesuatu seringkali membutuhkan proses yang panjang sebelum mencapai bentuk akhirnya. Tapi alam bawah sadar kita juga seringkali menginginkan segala sesuatunya dapat tercapai secara instan. Kun fayakun, jadilah...
Seperti ulat yang menjijikan, rakus dan kadang membuat gatal membuatnya dimusuhi orang. Setelah perjuangan panjang dan kerja keras, dia akan menyepi, memikirkan hakekat hidup, mengisolasi diri dari dunia luar sebagai kepompong. Sampai suatu saat dia terlahir kembali sebagai kupu-kupu, dia dipuja banyak orang dengan keindahannya. Dia tidak merusak dedaunan tanaman lagi. Bahkan dia membantu penyerbukan bunga menjadi buah ketika bermain-main di antara putik dan serbuk sari.
Realita semacam ini seringkali kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ada orang yang mengungkapkan ide-ide atau pemikiran baru, seringkali dia dianggap merusak kemapanan dunia. Dimusuhi dan dianggap gila.
Seperti Galileo yang dipenjara atau Copernicus yang dihukum gantung ketika mengatakan bumi itu bulat dan bumi mengelilingi matahari. Bahkan kisah-kisah para nabi pun seringkali menceritakan bagaimana mereka dimusuhi kaumnya ketika mengajarkan faham yang dianggap baru. Perlu perjuangan panjang untuk bisa mengatakan kebenaran.
Kenyataan seperti itu masih terus terjadi sampai sekarang. Ketika kita mencoba membuka sebuah wacana yang dianggap nyleneh, kita seringkali dimusuhi orang. Dicaci maki, bahkan tak jarang dianggap atheis, kafir, murtad, dsb. Padahal dari awal sudah dikatakan itu hanyalah wacana yang perlu pembahasan lebih lanjut.
Kita seolah dilarang menduga-duga, mencoba-coba mengusik sesuatu yang dianggap sudah mapan. Sampai kita lupa bahwa semua penemuan ilmiah, awalnya berasal dari dugaan semata. Bagaimana kita bisa mengikuti perubahan dunia, bila dugaan itu tidak ditelisik lebih jauh dan malah dikecam.
Seperti ketika kita mencoba mengungkap apa yang ada dalam kitab suci, seringkali dimusuhi orang karena dianggap akan membelokkan akidah. Padahal seringkali dikatakan Ummul Kitab adalah sumber dari segala sumber pengetahuan.
Segala pengetahun yang ada di dunia harus ditafsirkan dari sana. Dan tafsir itu membutuhkan apa yang dinamakan ijtihad, menduga-duga, mencari sumber pendukung, meng crosscheck, sampai bisa dibuat sebuah kesimpulan. Haruskah kita salahkan pembuat kitab suci, kenapa hanya membuat garis besar saja yang harus kita tafsirkan dan tidak dibuat detail seperti undang-undang negara..?
Keinginan untuk serba instan dan menyukai kemapanan, sepertinya hanya itu kata kuncinya. Sehingga kita harus merasa puas dengan apa yang sudah kita terima saat ini dan tidak ingin berubah-ubah lagi.
Padahal bila kita belajar dari analogi ulat menjadi kupu-kupu, pemahaman semacam itu seharusnya tidak boleh ada. Kita tetap harus mampu untuk berjuang keras walau dimusuhi diawalnya, dilanjutkan perenungan dalam sampai akhirnya mendapat bentuk akhir yang indah.
Rata-rata kita ingin begitu lahir ceprot, langsung jadi kupu-kupu. Padahal bila harmonisasi alam diganggu, konsekuensinya juga akan ikut berubah. Seperti bila logika dibalik, kita lahir langsung menjadi kupu-kupu yang dipuja-puja, jangan salahkan bila dikemudian hari kita malah akan menjadi ulat yang dimusuhi. Karena dunia memang selalu berputar seperti roda. Dan banyak orang berkata selalu ada hikmah dibalik musibah. Kenapa kita masih juga mengingkari..?
Toh peribahasa juga mengatakan berakit-rakit ke hulu. Bukan berenang-renang dahulu...
Ilustrasi Rejuvenate #9
Karya Wahyu Geiyonk
Tujuh Bintang Art Space
Kita seringkali menyadari bahwa dunia selalu berubah. Ini bisa dilihat dengan adanya pernyataan yang mengatakan, yang tak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Akan tetapi secara alam bawah sadar, kita sebenarnya menyukai kemapanan dan sering menolak perubahan.
Selain itu, manusia juga tahu bahwa segala sesuatu seringkali membutuhkan proses yang panjang sebelum mencapai bentuk akhirnya. Tapi alam bawah sadar kita juga seringkali menginginkan segala sesuatunya dapat tercapai secara instan. Kun fayakun, jadilah...
Seperti ulat yang menjijikan, rakus dan kadang membuat gatal membuatnya dimusuhi orang. Setelah perjuangan panjang dan kerja keras, dia akan menyepi, memikirkan hakekat hidup, mengisolasi diri dari dunia luar sebagai kepompong. Sampai suatu saat dia terlahir kembali sebagai kupu-kupu, dia dipuja banyak orang dengan keindahannya. Dia tidak merusak dedaunan tanaman lagi. Bahkan dia membantu penyerbukan bunga menjadi buah ketika bermain-main di antara putik dan serbuk sari.
Realita semacam ini seringkali kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ada orang yang mengungkapkan ide-ide atau pemikiran baru, seringkali dia dianggap merusak kemapanan dunia. Dimusuhi dan dianggap gila.
Seperti Galileo yang dipenjara atau Copernicus yang dihukum gantung ketika mengatakan bumi itu bulat dan bumi mengelilingi matahari. Bahkan kisah-kisah para nabi pun seringkali menceritakan bagaimana mereka dimusuhi kaumnya ketika mengajarkan faham yang dianggap baru. Perlu perjuangan panjang untuk bisa mengatakan kebenaran.
Kenyataan seperti itu masih terus terjadi sampai sekarang. Ketika kita mencoba membuka sebuah wacana yang dianggap nyleneh, kita seringkali dimusuhi orang. Dicaci maki, bahkan tak jarang dianggap atheis, kafir, murtad, dsb. Padahal dari awal sudah dikatakan itu hanyalah wacana yang perlu pembahasan lebih lanjut.
Kita seolah dilarang menduga-duga, mencoba-coba mengusik sesuatu yang dianggap sudah mapan. Sampai kita lupa bahwa semua penemuan ilmiah, awalnya berasal dari dugaan semata. Bagaimana kita bisa mengikuti perubahan dunia, bila dugaan itu tidak ditelisik lebih jauh dan malah dikecam.
Seperti ketika kita mencoba mengungkap apa yang ada dalam kitab suci, seringkali dimusuhi orang karena dianggap akan membelokkan akidah. Padahal seringkali dikatakan Ummul Kitab adalah sumber dari segala sumber pengetahuan.
Segala pengetahun yang ada di dunia harus ditafsirkan dari sana. Dan tafsir itu membutuhkan apa yang dinamakan ijtihad, menduga-duga, mencari sumber pendukung, meng crosscheck, sampai bisa dibuat sebuah kesimpulan. Haruskah kita salahkan pembuat kitab suci, kenapa hanya membuat garis besar saja yang harus kita tafsirkan dan tidak dibuat detail seperti undang-undang negara..?
Keinginan untuk serba instan dan menyukai kemapanan, sepertinya hanya itu kata kuncinya. Sehingga kita harus merasa puas dengan apa yang sudah kita terima saat ini dan tidak ingin berubah-ubah lagi.
Padahal bila kita belajar dari analogi ulat menjadi kupu-kupu, pemahaman semacam itu seharusnya tidak boleh ada. Kita tetap harus mampu untuk berjuang keras walau dimusuhi diawalnya, dilanjutkan perenungan dalam sampai akhirnya mendapat bentuk akhir yang indah.
Rata-rata kita ingin begitu lahir ceprot, langsung jadi kupu-kupu. Padahal bila harmonisasi alam diganggu, konsekuensinya juga akan ikut berubah. Seperti bila logika dibalik, kita lahir langsung menjadi kupu-kupu yang dipuja-puja, jangan salahkan bila dikemudian hari kita malah akan menjadi ulat yang dimusuhi. Karena dunia memang selalu berputar seperti roda. Dan banyak orang berkata selalu ada hikmah dibalik musibah. Kenapa kita masih juga mengingkari..?
Toh peribahasa juga mengatakan berakit-rakit ke hulu. Bukan berenang-renang dahulu...
Ilustrasi Rejuvenate #9
Karya Wahyu Geiyonk
Tujuh Bintang Art Space
i like it
BalasHapus