Sebagai manusia yang dilahirkan di wilayah Banyumasan, aku begitu lekat dengan sifat bawaan bayi, blakasuta. Atau kalo orang lain menyebutnya blak-blakan. Sebagai budaya yang lahir dari golongan petani tentu sangat jauh berbeda dengan mereka yang terlahir dari daerah yang terpengaruh budaya keningratan, seperti Jogja misalnya.
Budaya kalangan bawah kadang sering disebut tidak memiliki anggah ungguh oleh mereka yang pola pikirnya terbawa budaya feodal. Padahal itu bukanlah sebuah kekasaran budaya, melainkan simbol kejujuran dan kesamaan derajat tanpa melihat pangkat dan jabatan. Orang Jogja akan mengatakan aku wis mangan tapi bapak sampun dahar. Orang Banyumas akan tetap bilang ramane madhang, luraeh madhang, bupatine madhang. Tapi sekarang aku urung madhang neh kalo ada yang mau traktir.
Terpengaruh oleh kultur kelas bawah semacam itu, membuatku bicara ceplas-ceplos dan sulit untuk berbasa basi apalagi bikin puisi. Apalagi aku sekolah dan kemudian bekerja di bidang teknik yang selalu berhubungan dengan benda mati. Pola pikir apa adanya makin bersifat teknis dan sulit mengungkapkan sesuatu dalam bentuk kiasan. Akibatnya banyak orang-orang yang baru kenal menganggap aku orangnya ketus dan saklek.
Sempat terasakan kesulitannya ketika aku menginjak masa belajar dewasa. Aku sering dikomplen tidak romantis. Karena bagiku terasa ribet banget bila harus membuat rayuan gombal terlebih dulu padahal cuma mau minta cium. Aku pun pernah putus pacaran hanya karena aku bilang pacarku jelek. Kenapa aku harus bilang cakep kalo memang aslinya jelek. Yang penting kan aku suka sifatnya yang baik dan aku ikhlas berpacar jelek fisiknya.
Akupun pernah belajar romantis dengan pemikiran menyenangkan orang lain ga ada salahnya. Ketika teman bilang coba kirim puisi cinta, akupun mencobanya walau itu teman yang bikin. Setiap kali aku coba bikin sendiri dan minta pendapat teman, selalu saja dikatakan tidak bagus. Tapi aku pikir, dengan memaksakan diri seperti itu aku malah jadi belajar tidak jujur dan tidak menjadi diriku sendiri.
Jangankan puisi cinta. Waktu SD disuruh bikin puisi di depan kelas oleh guru saja aku malah bengong. Karena dipaksa akhirnya yang keluar seperti ini...
Puisiku puisimu
Manis sekali
melompat kian kemari
Sepanjang hari
Aku ingin menemani
Sepulang sekolah
Bersamamu lagi
Menari-nari...
Budaya kalangan bawah kadang sering disebut tidak memiliki anggah ungguh oleh mereka yang pola pikirnya terbawa budaya feodal. Padahal itu bukanlah sebuah kekasaran budaya, melainkan simbol kejujuran dan kesamaan derajat tanpa melihat pangkat dan jabatan. Orang Jogja akan mengatakan aku wis mangan tapi bapak sampun dahar. Orang Banyumas akan tetap bilang ramane madhang, luraeh madhang, bupatine madhang. Tapi sekarang aku urung madhang neh kalo ada yang mau traktir.
Terpengaruh oleh kultur kelas bawah semacam itu, membuatku bicara ceplas-ceplos dan sulit untuk berbasa basi apalagi bikin puisi. Apalagi aku sekolah dan kemudian bekerja di bidang teknik yang selalu berhubungan dengan benda mati. Pola pikir apa adanya makin bersifat teknis dan sulit mengungkapkan sesuatu dalam bentuk kiasan. Akibatnya banyak orang-orang yang baru kenal menganggap aku orangnya ketus dan saklek.
Sempat terasakan kesulitannya ketika aku menginjak masa belajar dewasa. Aku sering dikomplen tidak romantis. Karena bagiku terasa ribet banget bila harus membuat rayuan gombal terlebih dulu padahal cuma mau minta cium. Aku pun pernah putus pacaran hanya karena aku bilang pacarku jelek. Kenapa aku harus bilang cakep kalo memang aslinya jelek. Yang penting kan aku suka sifatnya yang baik dan aku ikhlas berpacar jelek fisiknya.
Akupun pernah belajar romantis dengan pemikiran menyenangkan orang lain ga ada salahnya. Ketika teman bilang coba kirim puisi cinta, akupun mencobanya walau itu teman yang bikin. Setiap kali aku coba bikin sendiri dan minta pendapat teman, selalu saja dikatakan tidak bagus. Tapi aku pikir, dengan memaksakan diri seperti itu aku malah jadi belajar tidak jujur dan tidak menjadi diriku sendiri.
Jangankan puisi cinta. Waktu SD disuruh bikin puisi di depan kelas oleh guru saja aku malah bengong. Karena dipaksa akhirnya yang keluar seperti ini...
Puisiku puisimu
Manis sekali
melompat kian kemari
Sepanjang hari
Aku ingin menemani
Sepulang sekolah
Bersamamu lagi
Menari-nari...
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih