09 Agustus 2010

Euforia Ramadhan

Hidup di tengah masyarakat yang berbudaya kagetan memang membuat kita harus lebih sering menghela nafas panjang. Terutama melihat perubahan-perubahan yang teramat cepat di kehidupan sehari-hari. Belum sempat kita banyak melangkah mengikuti euforia yang berjalan, tren di masyarakat sudah berubah lagi. Apa yang kemarin terjadi akan segera menjadi angin lalu yang tak berbekas sama sekali. Dan semua itu selalu terjadi berulang-ulangs secara rutin.

Seperti menjelang ramadhan ini, aku melihat banyak banget yang mendadak religius. Baik itu manusianya maupun media masa. Semuanya terjebak dalam budaya basa basi yang menurutku benar-benar basi. Bukan aku menyalahkan orang berbuat baik. Tapi aku sering kecewa ketika melihat semuanya tak pernah sampai hati dan sekedar mengikuti tren.

Yang aku tahu, ramadhan adalah bulan penggemblengan. Ini kan sama dengan kita sekolah. Apa yang kita lakukan selama sekolah memang penting. Tapi menurutku, yang jauh lebih penting adalah hasil setelah lulus sekolah. Apa artinya bila kita sibuk merubah diri menjadi sok agamis, tapi setelah ramadhan lewat kita kembali ke kejahatan lama.

Masih mending untuk yang lulus. Banyak juga teman-teman kita yang cuma heboh di awalnya. Tadarus, taraweh dan segala macamnya begitu rajin kita lakukan. Tapi begitu masuk pertengahan bulan, mulai luntur satu persatu semangatnya. Mereka mulai berganti haluan, terjebak dalam euforia lebaran. Pontang-panting mempersiapkan mudik sampai menganggap wajar cuti puasa dengan alasan musafir bisa dapat dispensasi.

Setahuku lebaran atau ba'da itu berarti setelah. Idul fitri merupakan hari kemenangan setelah kita lulus selama ramadhan. Lalu kenapa kita begitu sibuk mempersiapkan kemenangan, sementara kita sudah kalah sebelum ujian usai. Selama arus mudik, lihatlah di sepanjang jalan. Betapa banyak pemudik yang sibuk makan tanpa rasa dosa. Ada lagi yang pernah aku lihat di daerah di ujung Jawa Barat ketika aku masih tugas disana. Begitu menjelang akhir ramadhan dan kita masih puasa, mereka suka mempertanyakan, "kok masih puasa, mas..?"

Media pun sama. Semua berubah sok agamis walau cuma sekedar kulit dengan tema tetap saja tak berubah. Begitu lewat masa lebaran, semuanya yang lenyap tanpa bekas. Kalo sudah begini, apa hikmah ramadhan bagi kita..? Apakah ramadhan hanya sekedar tren mengikuti euforia sesaat tanpa manfaat..?

Memang ada yang mengatakan, mencoba sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali. Tapi yang aku tahu, keledai juga tak pernah mau lewat di lubang yang sama. Kalo tak ingin kalah dengan keledai, berarti tiap tahun berganti kita harus meningkat dong. Padahal yang aku lihat, jarang sekali perubahan yang terjadi. Setiap tahun kita mulai lagi dari nol, satu, dua lalu berhenti. Tahun berikutnya bukan melanjutkan tiga lalu empat, tapi kembali dari nol lagi. Jadi ada yang harus diubah dari pepatah itu. Sedikit dengan sepenuh hati lebih baik daripada banyak tapi tak menyentuh isi.

Analoginya seperti yang aku lihat di berbagai blog teman yang suka puisi. Begitu banyak teman selalu menyanjung yang namanya bulan. Jarang yang aku lihat mau memuji matahari. Tapi kenyataannya teman-teman perempuan lebih suka datang ke matahari. Apalagi menjelang lebaran seperti ini. Banyak diskon gede-gedean, katanya. Teman cowok pun sama. Suka memuji bulan dengan puisinya. Tapi ketika di alam nyata istrinya datang bulan, dia malah bilang bikin sakit kepala. Hehehe...

Maafkan aku, teman.
Bila aku belum bisa berubah religius walau cuma kulitnya.
Aku masih belajar membelajari diri. Ku mulai dari hati...

5 comments:

  1. met puasa om...sama ini juga lagi belajar untuk kearah yang lebih baik...

    BalasHapus
  2. semoga setelah puasa semua orang tetap religy hehehe
    musiman disini mah :p

    BalasHapus
  3. iya ya Sob... semoga aja abiz ramadhan tetep begitu biarpun aku sendiri agak ragu hhe...

    Semangat n met aktivitas Sob...

    BalasHapus
  4. itulah keampuhan bulan ramadhan Mas.....paling tidak dalam satu tahun ada satu bulan untuk menata ulang, memperbaiki diri dan tingkah laku dan spiritual kita......coba bayangkan kalo tak ada bulan ramadhan.....mungkin selama hidup kita akan lupa untuk men-"defragmentasi" diri kita.....

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena