10 Agustus 2010

Menghormati Puasa

Pagi-pagi, ibu dari warung makan sebelah nongol di kantor. Dia mau minta sisa kain spanduk atau banner sisa pameran yang ga kepake. Katanya untuk nutup warung nasinya selama bulan puasa. Ketika aku tanya kenapa musti ditutup segala, jawabnya, "yo ngormati sing do puasa, pak..."

Mendengar kata menghormati, aku jadi ingat kebiasaan lama saat masih suka nge-SAR di hutan dulu. Aku sebenarnya tak pernah percaya dengan tahayul. Namun seringkali terjebak di dalamnya berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat. Seperti ketika mencari korban yang hilang di Telaga Sunyi Baturaden. 


Seharian ngubek-ubek kolam kecil tiada hasil sampai tetua kampung mengatakan harus potong ayam hitam dan putih. Hasilnya luar biasa. Setelah ingkung ayam itu dipersembahkan oleh tetua itu kepada dedemit penunggu, korban muncul begitu saja dibalik batu yang aku yakin sudah bolak balik lewat situ sebelumnya. Berkali-kali aku mengalami kejadian yang sama tak juga membuat aku mau mempercayai tahayul. Tapi demi kelancaran tugas, aku berusaha menghormati kepercayaan lokal dan menyerahkan prosesinya kepada masyarakat setempat.

Dalam kasus itu aku merasa nyaman dan tak merasa turut terjebak ke perbuatan musyrik yang katanya dilarang agama. Namun dalam kasus si ibu warung, aku jadi bingung dengan makna kata menghormati itu. Menutupi warung dengan kain mungkin maksudnya agar orang yang berpuasa tidak bisa melihat isi warung. Tapi apakah itu tidak membuat orang malah makin nyaman makan minum di siang hari, karena tak terlihat dari luar. Makanya sempat aku bilang ga usah ditutup kain kalo memang warungnya tetap buka. Percuma saja ditutup bila aroma masakan tetap masuk ke ruanganku. Itu kan sama saja basa basi yang tiada guna. Lagian menurutku ibadah lebih bernilai di mata Tuhan bila kita berada di tempat yang banyak godaan. Orang rajin ibadah saat di masjid kayaknya ga ada yang aneh. Tapi tetap puasa di lingkungan yang penuh makanan, itu luar biasa.

Basa-basi tanpa toleransi menghormati orang ibadah juga sering aku temukan di kasus lain. Seperti ketika masih jadi anak kos yang suka banget nyetel musik kenceng sepanjang waktu. Sering temanku mematikan musiknya saat mendengar suara adzan dengan alasan menghormati juga. Tapi ketika adzan selesai, musiknya langsung dibunyikan lagi. Padahal menurutku, yang lebih membutuhkan kekhusyukan tuh bukan saat adzan, tapi setelahnya. Entah kalo di daerah kos-kosanku dulu, orang shalatnya pas adzan berkumandang. Aku ga pernah ke masjid soalnya.

Kasus sebaliknya juga banyak terjadi, dimana orang ibadah tak lagi bertoleransi dengan lingkungan. Menganggap ibadah itu hal yang baik dan merasa perlu meluaskan syiar, larut malam pun kita tadarus menggunakan speaker masjid. Toh ibadah itu urusan manusia dengan Tuhan. Apakah Tuhannya sudah tuli sehingga harus maksa pakai pengeras suara. Kesannya kok malah jadi riya. Padahal kita hidup di lingkungan yang homogen dan tak semuanya berpikiran sama. Jangankan yang beda keyakinan, yang KTPnya muslim saja kadang merasa terganggu. Contohnya aku...

Mari kita belajar bertoleransi yang tak sekedar basa-basi. Kita belajar menghormati orang lain sambil kita instropeksi diri agar ibadah kita tetap sesuai porsi. Toh Tuhan tidaklah tuli dan lebih menilai umat dari isi hati. Bukan penampakan luar kita yang terkadang hanya fiksi.

Selamat menunaikan ibadah puasa...




1 comments:

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena