03 Agustus 2010

Polisi vs Kepemimpinan Informal

Miris juga melihat kenyataan bila masyarakat kita semakin lama semakin anarkis, sementara negara dan penegak hukumnya makin tidak berdaya mengatasi semuanya. Bagaimana mungkin bisa semuanya terselesaikan secara tuntas bila secara internal, kelembagaan negara juga carut marut tak karuan. Terlalu banyak lembaga hukum dibuat, namun nyatanya tidak saling mendukung dan justru saling serang seperti cicak vs buaya kemarin.

Aku pikir sudah saatnya kita kembali ke masa lalu, dimana kepemimpinan informal bisa berfungsi baik dan tidak terpinggirkan. Yang aku maksud kepemimpinan informal adalah pemberdayaan sumber daya lokal yang ada di lingkungan setempat.

Aku ingat jaman di kampung dulu. Setiap ada masalah, biasanya akan dibawa ke tokoh masyarakat. Kasus rumah tangga suka diselesaikan didepan guru atau kyai. Pertengkaran warga cukup dibereskan oleh ketua RT. Yang berbau kriminal biasanya beres di level kepala desa. Kriminal yang agak berat suka ditangani oleh Polsus perkebunan, karena kampungku memang berada di komplek onderneming karet.

Jarang banget ada masalah yang sampai ke kantor polisi. Masyarakat dulu mendengar kata polisi saja sudah begitu ketakutan dan biasanya kapok untuk berbuat yang aneh-aneh lagi. Cuma yang kambuhan saja yang biasanya dirujuk ke aparat tingkat kecamatan. Itupun tak seluruhnya masuk ke polisi, karena dulu koramil pun  berperan penting dalam menciptakan stabilitas keamanan.

Sekarang, dengan dalih undang-undang, semua peran informal itu seolah diberangus. Apalagi setelah Polri menjadi lembaga yang berdiri sendiri dan tentara dimasukan ke barak. Polisi semakin arogan memiliki kewenangan yang hampir tanpa batas. Bila dulu mereka masih bisa ditakuti oleh CPM, kini sudah tak bisa lagi. Sayangnya kewenangan yang teramat luas itu tak dibarengi dengan penambahan jumlah personil yang memadai. Sehingga mereka mulai keteteran dengan banyaknya kasus yang masuk.

Rasio anggota polisi yang tak seimbang dengan jumlah penduduk, ditambah dengan pembagian personil yang tidak merata. Polsek yang menjadi ujung tombak polisi justru paling sedikit memiliki personil dan dana. Dana yang dialokasikan dari atas, terlalu panjang mata rantainya sebelum sampai ke polsek. Padahal tiap level berusaha menyunat dana operasional itu. Akibatnya ketika sampai di polsek, tinggal angkanya doang yang gede. Untuk beli bensin saja mereka harus cari sendiri.

Sudah kekurangan tenaga pun, masih banyak polisi yang kerjaannya cuman duduk-duduk. Masa sih untuk pertigaan sepi seperti di sebelah barat Wates saja, posnya harus dijagain 3 orang. Belum lagi yang malah jadi jaga malam di hotel atau tempat hiburan. Pantes saja trus otaknya jadi ngeres pengen ngisengin orang lewat, namanya juga orang kurang kerjaan.

Makanya mereka pun mulai pilih-pilih kasus. Celakanya godaan uang gampang makin banyak dan mulai menyeret mereka terlalu jauh. Makanya jangan heran bila premanisme, perjudian dan penjualan minuman keras tak pernah bisa dihilangkan. Karena mereka memang seolah "dipelihara" oleh polisi sebagai sumber dana. Salah besar bila kita mengatakan penjahat musuh polisi. Nyatanya preman-preman jalanan malah dekat dengan mereka. Tak percaya, silakan cek di jalanan.

Ketika polisi makin kebanjiran kasus sementara kemampuan mereka tak juga ditambah, kasus-kasus tak tertangani semakin banyak. Akibatnya masyarakat menilai polisi lamban dan buntutnya tak percaya lagi kepada mereka. Ketika saluran keadilan menjadi buntu, masyarakat pun mulai mencari keadilan di jalanan.

Apalagi ketika masyarakat melihat, polisi baru mau turun tangan setelah kasusnya rame di media. Masyarakat mulai belajar mencari perhatian agar diekspos. Tak peduli caranya yang aneh-aneh yang penting bisa muncul ke permukaan. Seolah mereka lupa bahwa negeri ini adalah negeri pelupa. Ketika mereka diekspos, semua pihak kelihatan turun tangan. Namun ketika cerita itu tertimpa berita baru, siapa yang akan peduli lagi dengan mereka. Atau mereka berpikir masalah tak tuntas gapapa yang penting ngetop. Siapa tahu ada produser sinetron yang tertarik dengan mereka. Budaya ingin tenar secara instan.

Tak perlu kita sering-sering ke kantor polisi. Lagian, kemalingan lapor polisi malah bikin kita kerampokan. Laporan motor ilang, motornya balik engga, yang bolak balik malah polisinya minta uang bensin. Kita melaporkan kejahatan, tahu-tahu besok kita yang dijadikan tersangka.

Percuma saja kita bersikeras menegakkan hukum selama elemen pendukungnya masih amburadul. Toh malah jadi komoditi untuk memperkaya diri oleh aparatnya. Mendingan kita berdayakan lagi kearifan lokal kita di masa lampau. Dimana kepemimpinan informal mampu menyelesaikan masalah secara kekeluargaan dan tak perlu anarkis di jalanan.

Begitu juga kalo tulisanku dianggap mencemarkan nama baik kepolisian. Selesaikan secara kekeluargaan ya, pak. Tapi uang damainya jangan banyak-banyak. Lagi musim paceklik neh...

13 comments:

  1. semua elemen harus berpadu satu....om...kalo dhewe-dhewe bubar....

    BalasHapus
  2. "Tak perlu kita sering-sering ke kantor polisi. Lagian, kemalingan lapor polisi malah bikin kita kerampokan. Laporan motor ilang, motornya balik engga, yang bolak balik malah polisinya minta uang bensin. Kita melaporkan kejahatan, tahu-tahu besok kita yang dijadikan tersangka"

    Saya setuju dan itu sudah terbukti 100%,negeri ini memang kacau hanya mereka yang terlena oleh mimpi dan angan2 yang bilang negeri ini aman sentosa.....

    BalasHapus
  3. kalo tulisanku dianggap mencemarkan nama baik kepolisian. Selesaikan secara kekeluargaan ya, pak. Tapi uang damainya jangan banyak-banyak. Lagi musim paceklik neh...

    ha ha ini juga contoh warga yang kurang baik, menawarkan uang damai...hi hi hi

    BalasHapus
  4. saya tidak mau berkomentar dengan hal yg berbau polisi, saya sudah terlalu kecewa dengan organisasi "sahabat" (red: musuh dalam selimut) masyarakat itu..
    mau tukeran link gak gan? balas komen di blog saya ya..

    BalasHapus
  5. komen dulu baru baca : liat fotone jadi inget istilahe pacul: Polwan Mlumah untuk mengganti polisi tidur.

    BalasHapus
  6. nambah komen setelah baca : Mas Peyek bakule angkringan pernah ngomong ke saya "Om, sekarang jadi orang kecil itu cuma dua hal yang penting : 1. Bisa cari makan dengan halal, 2. Tidak punya urusan dengan polisi kecuali ngurus sim dan stnk.".

    BalasHapus
  7. setelah baca komen mas Gardoe Djaga : Ngakak sampek njungkel2, hhehehehe... :)

    BalasHapus
  8. kakakakakaakkkk,... mas Gardoe bisa aja

    BalasHapus
  9. haha...memang beginilah cermin penegak hukum dinegeri kita dalam kesusahan orang lain terkadang masih tega untuk menambah penderitaan dan memetik madu² manisnya
    Sukses Slalu!

    BalasHapus
  10. Setuju mas...Kepemimpinan informal lbh arif dan bijaksana dlm menyelesaikan masalah dgn cr kekeluargaan sehingga tidak terjadi anarkiz di jalan

    BalasHapus
  11. saya pernah Lapor kehiLangan dompet beserta isinya, maksudnya sebagai refrensi untuk ngurus KTP, eh yang bikin surat kehiLangan minta uang rokok, padahaL yang Laporkan Lagi dapet musibah. apa enggak mikir yah.

    BalasHapus
  12. sedikit nambahin komennya gardoe djaga: sim+stnk+ surat keterangan kelakuan baik...

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena