Kembali tentang Gandhung, tukang becak yang fenomenal di kalangan seniman Jogja yang pernah aku ceritakan disini dan disini.
Sejak awal dia memang sering banget mampir ke galeri bersama becak kesayangannya. Setiap datang, dia tak pernah lupa mengajakku makan di warung sebelah. Habis makan pasti beli rokok dan nawarin pijit. Acara terakhir setelah pijit yang justru bikin pegel itu, dia akan menghampiri ibu warung dan bilang, "Bu, aku makane pake ini itu dsb yang bayar mas Eko yow..."
Bosen bolak balik diajak makan, selanjutnya aku lebih suka menolak. Begitu juga tawaran pijitnya. Dan akhirnya dia berubah haluan. Setiap kali datang dia hanya minta uang buat beli jamu pegel linu agar tetap perkasa ketika menggenjot becaknya.
Tapi beberapa bulan ini aku lihat dia tak pernah lagi membawa becak. Makanya aku pikir aku yang salah. Telah menjerumuskan dia dari profesi mbecaknya ke peminta-minta. Apalagi ketika mendengar beberapa seniman mengeluh tentang Gandhung yang keliling kampung seni untuk minta sumbangan bayar sekolah anaknya kemarin. Makin terasa dosaku.
Ingat pepatah lama yang mengatakan, bila menolong orang berilah pancing jangan ikan. Maka aku mencari cara agar dia bisa kembali mandiri. Setiap kali dia datang, tak pernah aku gubris apalagi kasih uang. Hanya setiap menjelang pameran dia aku kasih tugas menyebar undangan dan tempel poster. Sehingga aku tak lagi merasa sia-sia memberinya uang agak banyak.
Beberapa kali pameran tugasnya selalu lancar, aku pun mulai promo ke teman-teman galeri agar bisa membantu Gandhung mendapatkan uang dengan menjadikannya kurir. Lega rasanya aku bisa memberinya pancing walau becaknya kini telantar atau malah sudah dijual.
Tapi sore ini, beberapa seniman datang membantu display untuk pameran besok sempat mengeluh begini. "Gandhung jangan disuruh kirim undangan terus, mas"
"Lah emang kenapa..?"
"Kalo dulu datang ke rumah cuma beberapa bulan sekali, sekarang sebulan bisa bolak-balik"
"Kan cuma kirim undangan..?"
"Tapi kan minta jatahnya jadi keseringan..."
Ealah...
Salah maning...
Kirain dengan dikasih pancing dia jadi insyaf.
Malah jadi alasan buat sering-sering ke tempat seniman.
Harus gimana dong..?
berarti memang bukan pemberi pancingnya yang salah tapi yg diberi yang g insaf2 >.<
BalasHapusberkunjung dengan senyuman...
BalasHapushe he, ya itu tadi kang "salah tangkep" hi hi
BalasHapusTinggal sudut pandang kalao saya. Mau dilihat dari proses nya siapa. tapi ngapain kita ribut mikir proses dia? Ini kan proses kita ttg bagaimana cara merubah gandung. jadi caranya, bukan gandungnya.. kalau kita berhenti, ya sudah proses berhenti.
BalasHapusudah biarin aja..:)
BalasHapusniatane nulung...ya om....
BalasHapuswaduuuh...kok bisa...ya..
BalasHapuswalaaaaah
BalasHapusbingung wes binguuung
yak pie maneh yak nek ngunu kuwi?
hasyaaaah wes dikei pancingan kok ya...
susah juga sih ya kalo emang dasarnya orangnya emang udah ngerasa nyaman hanya dengan meminta gitu, >.<
hambuh weis, itulah yang ngebuat aku kadang milih2 kalo ngasih takut salah ngasih, hiyaaaa jadinya curhat..
mpun ah.
selamat hari Jumat, mas rawins
semoga hari ini menyenangkan :D
HAPPY WEEKEND!