Di saat bulan puasa begini, aku suka ingat dengan apa yang dinamakan blengong oleh orang-orang di kampungku. Yang aku maksud blengong disini bukanlah bebek pantura yang merupakan blasteran itik dengan entok. Blengong adalah sebutan untuk sirine yang ada di perkebunan karet dekat rumah. Mungkin karena suaranya "ngoooooong...." jadi orang-orang menyebutnya sebagai blengong.
Sirene itu setiap hari berbunyi dua kali. Pertama jam 4 pagi sebagai panggilan kepada seluruh karyawan perkebunan untuk segera berkumpul di pabrik. Para penyadap memang harus berangkat ke gunung sejak pagi buta untuk mengerat pohon karet dan memasang mangkok penampung. Sirene kedua berbunyi jam 11 siang sebagai tanda para penyadap untuk berkumpul di pos pengumpulan getah karet. Mereka menunggu mobil tanki pengumpul getah yang sering disebut latek berkeliling ke pos pos pengumpul yang disebut patrol.
Di luar fungsional pabrik, blengong ini ternyata berguna juga untuk masyarakat sekitar perkebunan. Suaranya yang cukup keras dan bisa terdengar sampai radius 10 kilometer. Sirene pertama sering diartikan sebagai subuh menjelang. Mengingat waktu itu di masjid belum ada yang namanya pengeras suara. Jadinya orang mau ke masjid selalu menunggu blengong berbunyi.
Sirine kedua yang sebenarnya tanda karyawan perkebunan untuk "laut" alias siap-siap pulang, juga diikuti oleh masyakarat sekitar. Jaman jam atau arloji masih merupakan barang mewah, orang jadi tergantung ke suara blengong itu. Tak cuma petani yang trus bersiap pulang dari sawah, kantor desa sampai sekolahan pun mengikuti jam kerja perkebunan.
Nah, bila bulan puasa tiba, fungsi blengong bertambah lagi. Setiap jam 2 pagi akan dibunyikan agar masyarakat bangun untuk sahur. Ketika blengong yang jam 4 pagi berbunyi, itu artinya sudah tak boleh sahur lagi. Waktu itu tak ada yang tahu imsyak jam berapa karena keterbatasan informasi, asalkan blengong sudah bunyi berarti waktu sahur sudah habis.
Trus nanti pada sore hari, blengong akan dibunyikan lagi sebagai tanda berbuka puasa. Aku kecil biasanya suka nongkrong di pinggir jalan bareng teman-teman. Tapi tak pernah ada yang bilang menunggu adzan maghrib. Semua akan bilang "nunggoni blengong". Pak kyai pun baru ke masjid untuk adzan maghrib setelah berbuka di rumah.
Begitu berartinya blengong pada jaman itu, sampai-sampai ketika blengong rusak, kehidupan masyarakat sekitar turut terganggu. Dan sayangnya sampai aku tua begini, tak pernah tahu seperti apa wujud dari alat yang bernama blengong itu. Masalahnya ada satu kebiasaan peninggalan Belanda yang telanjur kuat tertanam dalam benak masyarakat. Banyak tempat-tempat yang mungkin bersifat strategis atau berbahaya bila dimasuki orang awam akan dikatakan sebagai tempat angker. Tak perlu ada papan peringatan atau tanda larangan apapun disana. Asal dikatakan tempat angker, tak ada orang awam yang berani menyambangi.
Kalo dibilang seperti sirene tua yang banyak di Jogja, kayaknya aku ga pernah liat ada yang seperti itu di atap pabrik. Setiap pagi aku kan suka mencari bekicot di sekitar pabrik untuk pakan bebek peliharaan ortu. Seringkali aku celingukan mencari-cari dimana kira-kira blengong terpasang. Namun tetap saja aku tak berani menerobos perimeter yang ditandai secara lisan sebagai tempat angker.
Sayangnya ketika aku mulai besar dan pemahaman masyarakat mulai terbuka seiring merebaknya radio dan televisi, pabrik ditutup oleh pemerintah. Demi efisiensi, perkebunan-perkebunan yang berdekatan disatukan pabrik pengolahannya sehingga alat dan mesin-mesinnya banyak dibawa ke perkebunan tetangga termasuk blengong juga. Semenjak saat itu, suara blengong tak pernah lagi bergema sepanjang lembah Cilongkrang.
Walau sudah tak berarti lagi untuk kehidupan masyarakat jaman sekarang. Namun tetap saja aku suka merindukan lengkingannya sebagai pengisi masa kecilku dulu. Sepertinya sudah menjadi resiko hidup di Indonesia raya yang jarang peduli dengan cagar budaya. Jangankan sekedar blengong, seluruh bangunan di komplek pabrik peninggalan Belanda yang dulu sangat megah pun, satu persatu dirobohkan.
Dan akupun harus melenggang tanpa kenangan...
Sirene itu setiap hari berbunyi dua kali. Pertama jam 4 pagi sebagai panggilan kepada seluruh karyawan perkebunan untuk segera berkumpul di pabrik. Para penyadap memang harus berangkat ke gunung sejak pagi buta untuk mengerat pohon karet dan memasang mangkok penampung. Sirene kedua berbunyi jam 11 siang sebagai tanda para penyadap untuk berkumpul di pos pengumpulan getah karet. Mereka menunggu mobil tanki pengumpul getah yang sering disebut latek berkeliling ke pos pos pengumpul yang disebut patrol.
Di luar fungsional pabrik, blengong ini ternyata berguna juga untuk masyarakat sekitar perkebunan. Suaranya yang cukup keras dan bisa terdengar sampai radius 10 kilometer. Sirene pertama sering diartikan sebagai subuh menjelang. Mengingat waktu itu di masjid belum ada yang namanya pengeras suara. Jadinya orang mau ke masjid selalu menunggu blengong berbunyi.
Sirine kedua yang sebenarnya tanda karyawan perkebunan untuk "laut" alias siap-siap pulang, juga diikuti oleh masyakarat sekitar. Jaman jam atau arloji masih merupakan barang mewah, orang jadi tergantung ke suara blengong itu. Tak cuma petani yang trus bersiap pulang dari sawah, kantor desa sampai sekolahan pun mengikuti jam kerja perkebunan.
Nah, bila bulan puasa tiba, fungsi blengong bertambah lagi. Setiap jam 2 pagi akan dibunyikan agar masyarakat bangun untuk sahur. Ketika blengong yang jam 4 pagi berbunyi, itu artinya sudah tak boleh sahur lagi. Waktu itu tak ada yang tahu imsyak jam berapa karena keterbatasan informasi, asalkan blengong sudah bunyi berarti waktu sahur sudah habis.
Trus nanti pada sore hari, blengong akan dibunyikan lagi sebagai tanda berbuka puasa. Aku kecil biasanya suka nongkrong di pinggir jalan bareng teman-teman. Tapi tak pernah ada yang bilang menunggu adzan maghrib. Semua akan bilang "nunggoni blengong". Pak kyai pun baru ke masjid untuk adzan maghrib setelah berbuka di rumah.
Begitu berartinya blengong pada jaman itu, sampai-sampai ketika blengong rusak, kehidupan masyarakat sekitar turut terganggu. Dan sayangnya sampai aku tua begini, tak pernah tahu seperti apa wujud dari alat yang bernama blengong itu. Masalahnya ada satu kebiasaan peninggalan Belanda yang telanjur kuat tertanam dalam benak masyarakat. Banyak tempat-tempat yang mungkin bersifat strategis atau berbahaya bila dimasuki orang awam akan dikatakan sebagai tempat angker. Tak perlu ada papan peringatan atau tanda larangan apapun disana. Asal dikatakan tempat angker, tak ada orang awam yang berani menyambangi.
Kalo dibilang seperti sirene tua yang banyak di Jogja, kayaknya aku ga pernah liat ada yang seperti itu di atap pabrik. Setiap pagi aku kan suka mencari bekicot di sekitar pabrik untuk pakan bebek peliharaan ortu. Seringkali aku celingukan mencari-cari dimana kira-kira blengong terpasang. Namun tetap saja aku tak berani menerobos perimeter yang ditandai secara lisan sebagai tempat angker.
Sayangnya ketika aku mulai besar dan pemahaman masyarakat mulai terbuka seiring merebaknya radio dan televisi, pabrik ditutup oleh pemerintah. Demi efisiensi, perkebunan-perkebunan yang berdekatan disatukan pabrik pengolahannya sehingga alat dan mesin-mesinnya banyak dibawa ke perkebunan tetangga termasuk blengong juga. Semenjak saat itu, suara blengong tak pernah lagi bergema sepanjang lembah Cilongkrang.
Walau sudah tak berarti lagi untuk kehidupan masyarakat jaman sekarang. Namun tetap saja aku suka merindukan lengkingannya sebagai pengisi masa kecilku dulu. Sepertinya sudah menjadi resiko hidup di Indonesia raya yang jarang peduli dengan cagar budaya. Jangankan sekedar blengong, seluruh bangunan di komplek pabrik peninggalan Belanda yang dulu sangat megah pun, satu persatu dirobohkan.
Dan akupun harus melenggang tanpa kenangan...
sperti halnya orang dahulu..pake kentongan ya om..untuk memberi tanda...
BalasHapusdemi pembangunan..katanya....maka bangunan yang seharusnya bisa menjadi cagar budaya..malah dirobohkan...
BalasHapuswaduh mas, jadi itu foto blegong nya bukan yah? peninggalan belanda sangat mendarah daging ya mas di indonesi, sampai2 tuh yang namanya culture procente masih aja diterapi di jaman sekarang, dari pusat 100 kebawah 90 kebawah lagi 80 ke bawah lagi 75, sampai rakyat 65 hiks....
BalasHapusiya kang,,di jogja kagak ada,,, malah yg baru ,,,yg lama dah di ungsikan ke museam masing2,,hihi,,,, sebenarnya barang yg satu ini patut dilestarikan yah,,, ^^,,,,,
BalasHapusdimalang sekarang *udah 2 tahun terakhir ini* kalo pas waktu berbuka pake sirene juga... tapi cuman malang kota sie... kata bapak sirene itu peninggalan belanda ^^
BalasHapuskalo di Jogja sirine semacam itu namanya GAOG.. kebetulan rumah saya deket pabrik gula Madukismo.. tiap jam tertentu gaog ini pasti diperdengarkan.. fungsinya buat pertukaran shift pegawainya sih..
BalasHapusdi jakarta mah sahur kebangun ama orang tereak plus mukul2 pagar..
BalasHapushahahah jadi enak dong ga usah pake jam..xixixi
BalasHapuswah menarik juga sob
BalasHapusdi tempat kelahiranku ada juga sirine semacam itu dari pabrik gula
tapi sayangnya pas ramadhan gak ada tambahannya pas sahur dan buka
bisa diusulkan nih ...
aku jadi ikut penasaran seperti apa ya wujud blengongnya
BalasHapuskalo di tempat ane blengong itu malah dipake sebagai tanda waktu berbuka.. hehehe
BalasHapusjadi pengen pulang kampung nih..
salam kenal...terimakasih infonya..minta infonya bos blog baru ni.biar banyak teman tukeran links yuk..salam kenal dari Dongkrak antik
BalasHapusKayanya memang Kemajuan zaman dan teknologi tidak bisa dihindarkan...Mungkin Blngong tinggal kenangan ya uM...
BalasHapusWaduh klo ditempatku wes ra mungkin ketemu sama Blengong Sob... klo di tempat ibuku yo pasti masih hhe,........ wah unik ya Sob.. caranya haha...
BalasHapuspada masanya kaLo org yg enggak biasa tinggaL di daerah tsb bisa kagetan tuh Om kaLo dengan suara bLegong, mengingat radiusnya Lumayan jauh. BTS aja cuma mampu di radius 7 KM.
BalasHapusdi tempatku namanya hatong
BalasHapusNGOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOONG......................
BalasHapus