01 Agustus 2010

Mental Kere & Elpiji 3 kg

Aku sampe mules kalo liat berita tentang tabung gas 3 kg dan saling tuding pihak-pihak yang terkait. Bukan masalah apa-apa. Tapi karena melihat kebiasaan di negeri ini yang senengnya saling hujat sesaat setelah itu tak pernah ada tindak lanjutnya. Apalagi kalo udah ada kasus baru, langsung deh ewes-ewes bablas angine...

Aku pikir semuanya salah kok. Program pemerintah ini aku pikir sudah benar agar beban subsidi tidak terlalu membebani APBN. Namun sayang kurang sosialisasi tentang prosedur keamanan penggunaan elpiji. Juklaknya di level atas mungkin sudah ada, tapi pelaksanaan di lapangan seringkali jauh dari standar yang sudah ditetapkan.

Pertamina juga salah karena kurang pengawasan dalam pemeliharan tabung. Bagaimanapun juga tabung gas selalu balik ke SPBE secara rutin untuk isi ulang. Apa susahnya sih kalo dicek dulu kelayakannya masih sesuai standar keamanan apa tidak. Yang paling sederhana adalah karet seal katup. Seharusnya setiap isi ulang karet diganti untuk mencegah kebocoran. Tapi nyatanya aku sering menemukan karet dah lecek masih terpasang di tabung yang baru aku beli. Makanya setiap kali menukar tabung, karet lama selalu aku lepas. Maksudnya agar diganti karet baru ketika diisi ulang. Juga sebagai cadangan kalo-kalo aku dapatnya karet dah busuk di tabung baru.

Tapi aku tak ingin terlalu banyak menghujat pemerintah dan pertamina dalam hal ini. Kasihan, sudah kebanyakan yang mengecam. Aku coba lihat dari lain sisi saja deh...

Aku rasa yang paling berdosa dalam hal ini adalah pengoplos ilegal. Demi mendapatkan selisih harga gas di tabung 3 dan 12 kg, mereka tak mau peduli keselamatan orang lain. Bagaimana katup tidak rusak bila melihat teknis pemindahan isi tabung yang main paksa itu. Secara teknis, katup tabung sudah diset agar gas keluar secara aman. Standarnya, bila katup dibiarkan terbuka, maka untuk menghabiskan 1 kg gas diperlukan waktu 1 jam. Padahal dalam proses pengoplosan, untuk menguras 3 kg gas hanya diperlukan waktu 3-5 menit. Berarti katup disodomi secara paksa agar proses berjalan cepat. Wajar bila katupnya menjadi rusak.

Aku bisa berpikir begitu, karena melihat kenyataan bahwa tabung 12 kg jarang sekali kena masalah. Bila memang sulit untuk mengawasi pengoplos liar semacam ini, alternatif terakhir adalah menyamakan harga gas tabung 3 dan 12 kg. Masalah subsidi kan bisa dicari cara lain yang lebih efektif. Masa kumpulan orang cerdas di senayan ga ada satupun yang bisa menemukan jalan. Kalo memang mereka sama begonya, kenapa ga dibubarkan saja daripada buang-buang duit buat ngegaji mereka.

Masyarakat juga salah. Terlalu banyak masyarakat kita yang bermental kere. Tolong bedakan antara istilah orang miskin dan yang bermental miskin. Soalnya banyak juga orang yang hidupnya  pas-pasan tapi secara mental mereka tak bisa disebut miskin. Contohnya di kampungku. Ada suami istri yang sama-sama menjadi guru. Tapi kehidupan sehari-hari sama sekali tak menunjukan bila mereka hidup secara berlebihan dibanding rekan-rekan mereka yang berprofesi sama. Tinggal pun cumadi rumah kecil numpang di tanah PJKA. Kenapa aku tak bilang mereka bermental kere. Karena sejak aku kecil aku melihat mereka selalu menyekolahkan anak-anak tak mampu. Sampai-sampai mereka tak pernah kepikiran membangun rumah bagus atau beli kendaraan yang lebih layak.

Kembali ke soal gas dan mental kere masyarakat kita...
Kalo memang sebagian masyarakat kita tidak bermental kere, seharusnya mereka bisa mikir dong. Namanya barang setiap hari dipakai selalu ada kadaluarsanya. Slang dan regulator baguspun, setahun kadang sudah minta ganti. Apalagi barang gratis yang pasti anggarannya terbatas plus masih suka disunat oleh yang berwenang.

Dikasih seperangkat kompor gas secara gratis seharusnya mereka sudah bersyukur. Masa ketika ada slang rusak masih harus digratisin juga. Jangan suka bilang harga slangnya mahal. Yang harganya 50 ribu saja menurutku sudah bagus kok. Masa setahun keluar uang 50 ribu tidak mau.

Ini kontradiksi dengan kenyataan bahwa bahwa sebagian besar masyarakat miskin kita adalah perokok. Anggap saja sehari anggaran rokok 5 ribu perak. Sebulan sudah 150 ribu. Setahun berapa..? Bandingkan dengan harga slang elpiji. Bandingkan pula manfaat dan mudharat antara rokok dan elpiji..? Masih mau bilang tidak mampu beli keselamatan keluarga yang seharga 50 ribu untuk setahun..?

Aku rasa, masalah meledaknya kompor elpiji bukan pada tabungnya. Setiap kali melihat tayangan di tipi, rasanya belum pernah aku melihat tabung gas yang berkeping-keping. Kebanyakan tabung masih utuh. Jadi bisa diasumsikan bahwa kerusakan lebih banyak di bagian slang, regulator dan karet katup. Dan kalo kerusakan disitu, pada tabung 12 kg pun sering aku temukan. Jadi masyarakat sendiri sebenarnya bisa mengantisipasi bencana itu sejak dini. Jangan cuma mau enaknya saja dan ketika terjadi masalah langsung main tuding ke orang lain.

Mental kere ini sepertinya sudah membudaya di sebagian masyarakat kita. Mereka lebih suka disuapin daripada dirangsang agar bisa cari makan sendiri. Pemerintah seringkali memberikan umpan agar mereka mau mancing sendiri. tapi nyatanya malah umpan itu yang dimakan dan malas mancing. Contoh nyatanya ketika ada program IDT. Kelompok masyarakat diberi beberapa ekor kambing yang setelah beranak, induknya harus digulirkan kepada tetangga agar semua orang bisa punya kambing. Tapi apa lacur..? Perguliran itu seringkali mandeg. Dan lebih parahnya ketika Soeharto tumbang, mereka merasa benar untuk menjarah kambing-kambing IDT untuk diri sendiri dengan alasan itu produk orde baru.

Okelah teman...
Mari kita sudahi saling menyalahkan seperti sekarang. Tanamkan saja ke diri masing-masing untuk instropeksi dan memperbaiki apa yang keliru dalam diri kita. Melemparkan masalah ke orang lain hanya akan menambah masalah berlarut-larut. Nanti bila ada pejabat yang merasa terdesak, paling banter akan memunculkan kasus baru agar cerita soal tabung gas 3 kg segera lenyap dari media. Dan semua kasus itu tak pernah lagi ditindaklanjuti.

Belajar bermental kaya kayaknya ga ada salahnya, walau hidup pas-pasan. Hapus saja subsidi gas agar kecurangan bisa diminimalisir. Toh selisih harganya tidak terlalu besar dibanding akibatnya. Nyatanya selama ini aku aman-aman saja menggunakan tabung 12 kg non subsidi.

Lagipula, siapa bilang tabung 12 kg itu lebih boros devisa. Nyatanya istriku dah berbulan-bulan ga pernah nyuruh aku beli gas. Berarti irit kan..? Lebih suka beli makanan di warung sih..
Hihihi...


9 comments:

  1. :) artikel yang bagus dan bijaksana........

    A++ buat mas rawins. ;)

    BalasHapus
  2. daripada pusing mikirin gas elpiji 3 kg mendingan mari kita nyari yg 75ribu kg aja biar bisa untuk 8 turunan


    http://kaumbiasa.com/elpiji-8-turunan.php

    BalasHapus
  3. keren bang artikelnya. . .thx ya

    BalasHapus
  4. SETUJU!
    Masyarakat kita ini sepertinya terlalu merendahkan diri.
    Kalo emang mampu, ya gak perlu lah dibilang miskin...

    BalasHapus
  5. yah...mungkin begitulah mental yang sudah mengakar pada anak bangsa ini. DImana2 kalau terjadi bencana dan semacamnya, bukanx dibantuin, tapi malah mencari2 siapa yang salah....

    BalasHapus
  6. Dulu, jaman masih sekolah, mau cari yang namanya surat keterangan tidak mampu itu, nggak laku. Orang pada punya harga diri atau setidaknya mikir apa betul saya nggak mampu. lha sekarang, motor 3 masih bisa bilang nggak mampu dan minta sktm. Mental, Intinya mental!

    BalasHapus
  7. banyak orang rela keluarganya ga makan demi rokok.. rasa ketergantungannya udah mirip narkoba deh.. :(

    BalasHapus
  8. masyarakatnya terlalu sering dicepaki... dan kalo dah gitu mintanya yang bagus... duuuuuuh... jadi seperti nggak bisa menjaga diri sendiri yah >.<

    BalasHapus
  9. untung, mbok`Q nang ngomah biasa nganggo kayu bakar nggolek nang kebon, meski sedikit ndrawasi tapi ra gampank mledak...,,

    ;D

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena