19 Agustus 2010

Teknisi vs Marketing

Saat ke Solo kemarin, beberapa orang sampai komplen melihat Citra ikut berpanas-panas ria. Apalagi ketika tahu dia baru berumur dua bulan. Sampai ada yang minta Citra dititipin dulu sementara aku jalan-jalan. Serba salah memang. Mau ditinggal di rumah, ga ada orang lain. Aku pergi sendiri juga susah, karena aku butuh ibunya.

Ini berkaitan dengan rencana jualan baju pasca menganggurkan diri. Walau aku pernah jualan baju muslim waktu masih di Kebayoran Lama dulu, aku tuh buta banget soal mode. Taunya jualan jualan dan jualan. Makanya aku butuh bantuan istri untuk memilih model-model yang sekiranya banyak yang suka. Soal kegaptekanku di bidang mode, tidak cuma satu dua orang yang komplen. Mereka suka bingung bagaimana caraku jualan kalo barang yang dijual saja aku tidak tahu.

Ini mungkin bawaan bayi atau dendam lamaku sebagai orang yang dibesarkan di bidang teknik. Terlalu lama menggeluti barang mati membuat neuron otak bagian pengolahan seniku tak bisa lari kencang. Otak seniku kayaknya cuma cukup untuk mengelola hasrat berkesenian tiap pagi di kamar mandi saja.

Kenapa aku sebut dendam lama..?
Karena selama bertahun-tahun aku gonta-ganti kerja selalu saja jatuh di bagian teknik. Bagian kerja yang selalu menjadi bulan-bulanan konsumen gara-gara perbuatan orang marketing dan customer service. Seperti ketika masih di jaringan kabel Telkom. Orang marketing tuh ga pernah mau tahu jaringan memungkinkan atau tidak, yang penting cari konsumen sebanyak-banyaknya asal target penjualan mereka ketutup. Soal orang lapangan pecicilan omset sana sini agar telepon bisa terpasang ga pernah mereka pikirin.

Customer service pun selalu berbuat sama. Tak peduli daftar gangguan di tanganku masih menumpuk, asal ada orang laporan selalu dijawab, mohon ditunggu sebentar teknisinya menuju tekape. Makanya ketika aku datang beberapa jam atau esok harinya, sambutan pertama adalah muka masam konsumen yang merasa dibohongi dengan kata segera.

Aku pernah mempermasalahkan ini ketika ada meeting dengan pimpinan. Dan jawabannya teramat menyebalkan. Marketing dan teknik adalah dua bagian terpisah. Orang marketing ga boleh tahu soal teknis, agar tidak merasa bersalah barang jelek harus dikatakan bagus. Yang penting bisa ngegaet konsumen itu sudah cukup. Tindak lanjutnya itu tugas orang teknik yang tak boleh tahu urusan market. Pokoknya semua order yang diperintahkan harus berhasil secara maksimal.

Customer service yang sebenarnya juga sering jadi korban orang marketing, nyatanya tak punya perasaan juga. Tahu dikerjain orang ga enak, ini bukannya insyaf tapi malah ikutan ngerjain orang teknik juga. Masih mending jadi CS cuma terima komplen lewat telepon di ruangan yang adem ber-AC. Yang setiap habis terima komplen cuma nyatet trus lupa sambil mencibir ke telepon "emang gua pikirin". Orang teknik selalu terima komplen di lapangan yang panas dalam kondisi lelah. Menyebalkan...

Makanya ketika aku banting supir ke dunia fashion yang aku ga mudeng sama sekali, aku ga mikir macam-macam. Posisiku di marketing, jadi pentingnya aku jualan. Gimana caranya aku promo di website dan katalog pokoknya semenarik mungkin. Masalah ternyata barangnya ga sesuai gambarnya karena emang korban sotoshop, itu urusan Customer Service dan orang produksi. Tim marketing aku rombak demi mengejar target penjualan. Kuhalalkan segala cara demi meningkatkan grafik penjualan tiap bulan bisa diatas 10%. Aku naik pangkat dan bisa menari di atas luka orang produksi yang keteteran memenuhi permintaan. Ketika lost order meningkat, orang customer service mulai kecipratan getah.

Ketika aku kemudian pindah haluan ke bidang lukisan, isi otakku masih saja sama. Dua tahun berkecimpung di bidang itu tak membuat otakku terbuka tentang nilai seni sebuah lukisan. Tetap saja aku menilainya secara awam dan selalu bingung bila melihat kenyataan bahwa makin membingungkan sebuah lukisan, semakin mahal harganya. Tak jarang aku terdiam agak lama di depan lukisan yang akan dipacking. Gambar mirip karya anak TK kok harganya sampe ratusan juta...

Cuma terus terang, di bidang lukisan aku benar-benar KO dan ga bisa selincah ketika jualan baju atau alat rumah tangga. Pangsa pasar lukisan terlalu sempit dan sifatnya teramat subyektif. Apa yang menurut seseorang bagus, menurut orang lain belum tentu. Karena tiap kolektor punya fanatisme sendiri-sendiri.

Makanya aku jadi pengen belok ke barang murah yang dibutuhkan banyak orang. Aku pikir orang beli lukisan sekali, belum tentu beli lagi sampai beberapa bulan kedepan. Walau hasilnya kecil, sepertinya mendingan jualan silet. Sekali pakai orang langsung buang dan besok beli lagi yang baru.

Kira-kira begitu...

9 comments:

  1. pertamax nih mas rawins.. hehehe..
    kaya sayalah, jualan buku. ;) jangan ding, nanti saingan malah.. hahahha..

    BalasHapus
  2. gutlak ama juwalan bajunya ya?

    BalasHapus
  3. ouhhh...
    gitu ya mas..
    kirain dalam semua perusahaan tuh semuanya pada kompak...hhehe

    BalasHapus
  4. dunk...
    ga perlu besaing. berteman kan bisa..

    BalasHapus
  5. emang kompak dari luarnya jis. didalemnya selalu ribut..

    BalasHapus
  6. paling cepet ya jualan banyu....minum dibuang maning. tiap menit wong nggoleti. silet ya sewulan sepisan beh angger gelem cukur.

    BalasHapus
  7. dodol beras bae mas... nggo goletan toli

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena