16 Agustus 2010

Pengen Ternak Belut

Perjalanan ke Solo kemarin, selain melatih anak menikmati panasnya dunia, juga untuk survai grosiran baju di pasar Klewer. Ini tindak lanjut dari planning menganggurkan diri kemarin. Awalnya sih aku pengen buka angkringan jualan nasi belut di lapangan Kotagede. Dengan pertimbangan yang jual nasi belut di jogja belum banyak, trus aku sedang berminat belajar ternak belut yang pasar ekspornya masih luas. Sebelum bisa produksi banyak dan mencapai pasar ekspor aku harus belajar dari kecil dulu. Makanya perlu bikin angkringan untuk menyalurkan hasil produksi awal dan sekedar buat penyambung hidup sehari-hari.

Pertimbangan lain, belut dimasak lombok ijo memang favoritku sejak kecil. Jadi kalo ga habis terjual, sudah ada petugas penghabisan yang selalu siaga. Sayangnya ketika aku konsultasi dengan istriku, dia mengeluh belum bisa masak seenak mbah Uti di kampung. Makanya harus pending dulu neh bikin angkringannya. Soalnya kalo aku yang masak sendiri, dijamin laris. Yang laris tapi tukang jualan sandal jepit sebelah. Pada beli sandal buat ngelemparin aku maksudnya.

Aku sedikit tertarik ke belut, selain emang hobi dari kecil, di internet banyak sekali artikel tentang permintaan ekspor yang baru sebagian kecil terpenuhi. Ketika pulang kampung aku sempatkan crosscheck ke petani belut yang banyak terdapat di daerah Kroya. Dan memang benar gosip tentang permintaan ekspor tersebut. Mereka sudah pernah mempersiapkan ekspor ke Australia, Jepang dan Taiwan. Namun terbentur kendala di produksi.

Harga belut ekspor perkilo bisa mencapai 50 ribu di tingkat petani. Bandingkan dengan pasar lokal yang hanya 15 atau 20 ribu perak per kilo. Hanya saja untuk bisa masuk pasar ekspor, berat per belutnya minimal 100 gram dan belutnya harus sehat. Beberapa petani belut yang aku ajak ngobrol mengatakan, dulu untuk mencapai berat 1 ons per ekor hanya butuh waktu 3 - 4 bulan saja. Tapi entah kenapa belut sekarang susah banget membesar. Kadang sampai 7 - 8 bulan baru bisa segitu. Itu pun tidak semua.

Kendala lain adalah, dari sekian banyak bibit yang dimasukan ke kolam pembesaran, yang mati dalam waktu sebulan bisa mencapai 50%. Yang bisa bertahan hidup pun banyak yang turunan kuntet dan susah membesar. Makanya untuk mengejar target ekspor sekian ton per bulan terlalu berat untuk mereka penuhi.

Dari obrolan itu juga, aku baru tahu kalo bibit belut menggunakan belut sawah hasil tangkapan, bukannya bibit hasil budidaya. Katanya bibit mereka dapatkan dari daerah Kawunganten, daerah istriku tuh. Makanya pas pulang kampung, aku sempatin jalan-jalan ke sawah untuk cari info penangkapan belut. Dan ternyata, sudah tidak ada lagi orang menangkap belut menggunakan bubu. Mereka lebih suka menangkap belut menggunakan aliran listrik. Pantas saja banyak yang mati bila dijadikan bibit. Jadi kepikiran, budidaya dan jualan bibit juga prospeknya bagus neh. Cuma sayangnya cari bahan bacaan tentang produksi bibit ternyata ga semudah cari info tentang budidaya pembesaran.

Akhirnya rencana ini aku jadikan proyek jangka panjang. Cari bahan bacaan dan informasi teori prakteknya dulu. Juga mengakrabkan diri dulu dengan belut sawah. Sementara itu belum terlaksana, aku coba bermain di pakaian dulu deh.

Ada yang punya info budidaya bibit belut..?


14 comments:

  1. temen bojoku budidaya beginian, hanya saja terakhir ke sana malah kebanyakan ngomongin nostalgila, dan aku cuma jadi mbek ajah...

    aku pernah nulis dikit di sini sih..
    http://galantv6.multiply.com/journal/item/201/Belut

    BalasHapus
  2. :r~
    aku pernah makan belut.. rasanya emang maknyus,,,,,,,
    gurih gurih gimana gitu..........

    BalasHapus
  3. Wah, mudah2an berhasil jadi juragan belut nih. Jangankan eksprot, lha wong warung tenda pecel belut di dekat saya saja buka nya nggak bisa tiap hari, Ya itu tadi ndak ada pemasok tetap... atau kalaupun ada harga tiba2 jadi tinggi...

    BalasHapus
  4. btw, jogja ne ndi to bro, kok mau 'nongkrong' di lapangan karang?

    BalasHapus
  5. wach, mulai wiraswasta nich....??

    perlu rencana matang, ato mental nekat, pak dhe...??

    BalasHapus
  6. wah aku belum pernah, gimana ya rasanya makan belut :)

    BalasHapus
  7. ke solo kok gak mampir ke kostku mas? kosku deket kok di jurug, dekat kandang kuda...

    BalasHapus
  8. Pakde Gardu, aku di perum winong, nduwure sendok indah...

    BalasHapus
  9. ro.. dari dulu aku modale selalu nekat doang. ga pinter soale

    BalasHapus
  10. aku pindah ke rumah baru ya kang.. :) yang lama aku tutup..

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena