28 April 2008

Hidupku Di Atas Pesawat

Orang jawa bilang hidup sekedar "mampir ngombe", tapi buatku hidup lebih mirip naik pesawat. Aku harus berusaha sekuat tenaga untuk bayar tiket, aku bisa pilih pesawat yang akan kugunakan. Tapi setelah lepas landas, aku tak mungkin bisa meyakini akan sampai tujuan atau tidak.

Siapa yang bisa memastikan pilot tidak serangan jantung mendadak atau pesawat disandera pembajak. Siapa yang menjamin tidak ada teroris menembak jatuh pesawat atau teknisi lupa mengencangkan baut roda.

Apa yang bisa aku lakukan, saat ditengah penerbangan, tiba-tiba pilot mengumumkan bahwa 1 dari 4 mesin pesawat mengalami kerusakan dan pesawat akan mengalami keterlambatan sampai di bandara selama 15 menit.

Tak lama kemudian pengumuman ke-2 menyampaikan bahwa mesin ke-2 juga mengalami kerusakan pesawat akan terlambat 30 menit. Lalu pengumuman ketiga terdengar. Kali ini mesin ke-3 juga mengalami kerusakan. Sekali lagi pilot mengharapkan penumpang tetap tenang karena pesawat akan mengalami keterlambatan sampai di bandara selama 1 jam.

Tak mungkin aku berbuat apa-apa selain tawakal dan menerima kenyataan. Tapi aku tetap manusia. Salahkah bila aku mengumpat..?

"Pesawat sialan..!! Kalau mesin keempat mati juga, bisa semalaman aku di atas sini."

Arsip Fiksi
Read More

27 April 2008

Kembalikan Rasa

Ada seorang teman yang entah curhat entah berunjukrasa sebenarnya. Dia mengeluh di YM tentang kehidupannya yang serba sulit. Dan diakhir cerita dia berteriak, "beruntunglah bila aku dilahirkan menjadi kamu..."

Sore tadi aku tak begitu mempedulikan itu. Baru menjelang tengah malam ini pikiranku terusik. Tak hanya satu orang yang mengatakan seperti itu. Kalau saja Yang Kuasa mengijinkan, biarkan aku berburuk sangka kepada mereka. Telah terjebak dalam dengki dan iri hati tanpa mau menyelami siapa yang mereka demonstrasi.

Gaul di internet, aku punya teman di seluruh dunia. Dengan ngeblog, aku bebas mengeluarkan isi otak tanpa beban. Berkecimpung di dunia fashion, aku dikelilingi perempuan-perempuan indah model busana. Selalu tertawa, membuat orang menganggap aku tak punya air mata. Sedikit berbagi, dianggapnya punya BRI.

Huuuh...
Kenapa orang seringkali melihat simbol tanpa tahu nilainya. Bukankah kita dilarang berunjukrasa hanya karena kesempatan yang tidak sama. Ingatlah, kita punya banyak pilihan, walaupun tingkat kenyamanannya berbeda.

Enak tidaknya sebuah rasa hanya tergatung pada hati kita melahapnya. Sate dan pizza takkan nikmat saat dikejar debt collector. Sepotong jagung dibagi dua lezat terasa bila saling suap dengan kekasih.

Kita pernah melihat Dian Satro membacakan puisi. Tak usah lah kita berdebat cara dia membaca atau salah pengucapannya. Nikmati saja wajah cantiknya, asal kita tak lupa bahwa sajak lahir bukan untuk berurusan dengan wajah mulus, walaupun keduanya sama-sama indah. Belajarlah untuk memisahkan, yang kita bicarakan keindahan perempuan atau tentang sastra.

Dengan bisa memilah, kita akan bisa menjalani hidup dengan tenang dalam kesusahan yang paling berat pun. Ada masanya kita merasakan lezatnya dunia. Ada kalanya kita nikmati kesakitan hati. Asalkan hati kita yang bicara, semuanya tak lagi jadi beban.

Tak perlu kita rindukan yang bukan milik kita. Pandangan mata hanya fatamorgana. Tetaplah berdiri di lajur hati. Kita rasakan semua yang ada, dengan atau pun tanpa cela. Tanpa harus berburuk sangka.

Kembalikan rasa pada tempatnya.
Tempat yang indah tentu pastinya...
Read More

Percaya Tahayul

Tembe thangkring nangarep komputer kepengin asoy, wis ana sms mlebu. Wah.. mesti yayang kiyeh, aku mikir mandhan bungah.

Walah, kampret. Malah anu sing nagih. Mandhan cemod-cemod bathuke. Lha kur nyekel duit seketewu, telung dina nggarap program kasir ra dadi-dadi nganti ra kober embret liane. Kur mandhan ayem kaya nemu bolongan, bareng kelingan carike wis pirang wulan njukut komputer urung debayar. Awal taun wong desa tolih akeh duite ndean. Tes nampa ADD sih…

Genah mata ngantuk pirang-pirang dina ora turu, dadi aku ngajak kanca kon ngojeg. Wis pokoke nek kasil tek wei lah go tuku bensin. Nek kur arep go mbledhug motore ya mestine cukup.

Lah bareng wis meh tekan nggone carike, koh papagan karo sing nggotong bandhosan nggawa wong mati. Lah, aku ya malah kaya wong setres, nangdi-ndi bandhosan ya go nggawa wong mati. Nggawa wong urip ya jenenge angkot yah..? Angkot tolih anu sing lagi nemen…? Kuwe angot… Lah jan malah padu dhewek sih…

Kembali ke laptop…
Lha bareng weruh kuwe, kancaku malah ngajak bali. Tek omprang sisan, adoh-adoh arep nagih koh malah njaluk bali.

“Kecing temen sih kowe, awan-awan koh..?”
“Udu kaya kuwe, ko..” Kancaku semaur.”Nek arep nagih papagan wong mati kuwe wis mesti ora kasil…”
“Kowe maning ora mikir,” Aku semaur mandhan mrongos. “Ora kasil tolih nek nagih meng wong mati…”
“Ealah kowe lah ora ngandhelan nek dekandhani..”
“Ora urusan meng babagan kaya kuwe. Amerika wis tekan wulan koh wong jawa esih wedi wong mati. Kapan majune negarane dhewek…”

Mandan suwe kuwe olih eyel-eyelan. Nganti sidane kancaku gelem terus tapi ana syarate.
“Nek ora ngandhel yuh totohan…”
“Ayuh lah..” Tek waneni, kadhung mangkel sih…
“Ya, satusan ya…”
“Satus peraaak… Tanggung..”
“Satus perak sih go tuku udhek upil, satus sewu..” Kancaku malah nyenthak.

Semprul, mbatinku. Satus sewu kang ndi. Diomong ket isuk kur nyekel duit seket ewu thok.

“Wani ora..?” Kancaku ra sabar.
“Wani lah, tapi utang ya…”
“Siiih utang..? Wis wanine pira. Seket ya..?”

Mandhan suwe aku golih mikir. Tapi daripada mbalek, ajeg-ajeg aku kudu nggenteni bensin, sidane tek iyani. Jaman kaya kiye koh tesih percaya tahayul. Pokoke ora, ora ana hubungane nagih karo wong mati.

Bareng wis dil sidane mlaku maning. Lhah mbasan tekan ngarep umaeh carike, koh ana bendera putih trus akeh krosi nang latar. Aku mandheg takon hansip sing jaga.

"Pak, nuwun sewu. Pak carik badhe njago lurah napa?"
"Hish," hansipe malah mandan mendelik. "Wong putrane pak carik seda, wingi sonten kecelakaan. Mlebet mawon mas mbok bade takjiyah.."

Anake carike sing kecelakaan, aku sing ndadak dengkule lemes.

Arsip Fiksi
Read More

Aku Ingin Belajar Agama

"Kenapa kamu tega mengkhianati aku dan melupakan anakmu..?" tanyaku tenang walau hati teramat sakit.

"Maaf kalau aku salah, yah.." jawabnya lirih.

"Semua orang bisa salah, tapi aku tetap ingin tahu alasan kamu."
"Ayah tahu kan keinginanku dari dulu..?"
"Keinginan yang mana lagi.? Sepertinya hampir semua yang aku mampu sudah aku belikan."

"Aku tak mempersoalkan materi, yah." jawabnya sambil menatapku. "Aku ingin punya suami yang benar-benar jadi pemimpin lahir batin. Bisa jadi imam buat keluarga. Aku juga rindu setiap sore melepas ayah dan anak pergi ke masjid. Aku ingin setiap waktu kita bisa ibadah bersama. Cuma itu keinginanku."

"Jadi itu yang membuat kamu berpaling..? Kamu benar mencintainya..?"
"Iya, yah. Aku jatuh cinta karena akhlaknya yang baik dan bisa mengajarkan aku banyak sekali soal agama..."

Setelah itu aku terdiam tak mampu bicara sepatah kata lagi. Namun dalam hati aku bertanya, "mampukan aku belajar agama secepatnya..? Biar pintar seperti selingkuhan istriku."

Hmmmm....
Aku pun ingin selingkuh dengan istri orang.
Rumput tetangga memang lebih indah untuk dinikmati...


gambar tidak ada hubungannya dengan jurnal
buat pemandangan doang...


Read More

Dasar Kampret

Isuk-isuk wong lia wis mulai pada tangi, aku malah nembe arep mapan turu. Jane ya ora pantes disebut mapan, wong turu ngliker nang krosi warnet ora kemulan ora bantalan, tapi nganggo AC. Jan jane elit luh, ora ketang nunut.

Nembe be arep ngliyep, wis ana sing gedhor-gedhor warnet. Bule sing tukang tunggu warnete ndilalah mbelere setengah modar. Tek jorna nganti sue, ora mandheg le nuthuki lawang. Kepaksa menyat mbukakna lawang.

"Mangga pak, badhe ceting napa nggunteni gambar saru?" aku ethok-ethok ramah padahal atine nggrundhel.

"Mboten mas, namung badhe tangled napa mriki anu warnet?"

"Oooh, nggih pak leres. Mangga mlebet.." Tetep ramah ora ketang atine mbedhedheg. Tulisan warnet njeblag kaya lapangan pingpong koh nganti ora keton.

"Oooo.." Wong kue malah manggut-manggut. "Nggih pun mas, matur nuwun"

Ealah... kae wong malah mbalek arep lunga maning. Penasaran, tek takoni. "Kepripun sih, pak? Mbok bapake bade internetan"

"Mboten mas, kulo bade teng daleme mas destro, terose wingking warnet."

"Oooo...", gentenan aku sing manthuk-manthuk karo enek.

Tapi... lha kae wong koh malah lunga, ora menggone destro. Ya, tek oyok. Tek takoni maning. Lha koh goleh semaur, " Mangke awanan mawon lha, mas. Masa isuk-isuk mruput wis mertamu, ya ora sopan.."

"Ora sopan... gundhulmu ruag... Dasar kampret!" Aku mbatin karo mandan ngrasakna wareg.

Sidane ora ngantuk, thongkrong maning nangarep komputer... Gratisan ikih..

Arsip Fiksi
Read More

Yang Kembali

“Win, kembalilah untukku,” ucapan itu meluncur perlahan dari bibir mungil itu.

Aku hanya mendesah pelan. Kutarik nafas dalam-dalam seraya meluruskan punggung di potongan kayu lapuk. Ucapan itu… Ya, kata-kata itu pernah kudengar dua tahun lalu. Di tempat yang sama, dari bibir yang sama, tapi hati yang kurasakan berbeda.

“Win, kembalilah untuk mereka,” sambungnya.

Aku menggeleng. “Tidak, Fie.”

“Mereka butuh kamu, Win..”

“Tapi aku butuh, hatiku,” lugas aku menjawab sambil menatap wajah yang tertunduk di hadapanku. Ku telusuri setiap pori-pori di wajah resah itu. Ada gundah, ada sesal, kecewa dan semuanya itu berbalut rindu.

Agak lama gadis itu terdiam dalam genangan air mata yang tertahan. Sejurus dia mengangkat muka, “kamu egois…”

“Aku..?” tanyaku setengah berteriak. Kuremas ranting kering dalam genggaman dan bangkit berdiri. “Setahun lebih aku memendamnya. Dan kamu tahu itu kan, Fie..? Selama itu aku mampu bertahan demi tujuan yang kamu katakan mulia. Dan tak tahunya aku hanya menggenggam alasan kosong. Kamu yang egois.!!!”

Kali ini butiran-butiran bening itu mulai meluncur turun dari kedua lubuk mungilnya. Tapi aku tak peduli. Kakiku melangkah meninggalkan halaman bertaman kecil itu. Di ambang tangga aku berhenti dan memutar tubuh ke arahnya. “Kembalilah segera. Sebentar lagi gelap. Atau kamu akan pulang ke kota jalan kaki? Maaf, gubukku terlalu kecil untuk berteduh berdua dengan perempuan egois seperti kamu.”

“Terima kasih atas kunjungannya,” sambungku sambil berjalan menaiki tangga kayu ke rumah panggung mungil di puncak bukit kecil. Sejenak aku sempatkan memeriksa minyak lampu teplok di atas meja. Lalu ku hempaskan pantat tipisku ke bangku kayu.

Aku terus terdiam hanyut dalam bayangan-bayanganku sendiri. Tak peduli Sofie masih duduk di kayu roboh depan padepokanku atau sudah beranjak pergi. Yang pasti, terasa sekali hatiku masih sakit walau sudah sekian lama kubawa pergi menyepi ke puncak bukit ini.

Dulu aku dan Sofie bergabung dengan kelompok pendaki yang bernama GSP. Organisasi yang begitu terkenal dengan satuan SARnya dan selalu menjadi ujung tombak disetiap kegiatan kemanusiaan. Dari sekian banyak anggotanya, ada atuan khusus yang teramat militan terdiri dari dua regu inti dan satu regu cadangan. Dan aku adalah salah satu ketua regunya.

Dalam perjalanan hidup berkelompok itu aku jatuh cinta pada gadis manis bernama Sofie yang sejak siang tadi menyambangi tempat persembunyianku. Aku ungkapkan perasaan itu dalam suatu kesempatan, dan dia pun mengerti akan perasaanku..

Namun semangat korsa gadis itu lebih besar daripada perasaannya. Sofie menjawab tegas, “aku mengerti perasaanmu dan juga perasaanku. Tapi ada yang lebih penting dari semua itu, Win. Kesatuan kita, tak boleh terpecah dan harus tetap utuh.”

Walau teramat berat, aku bisa menerima kenyataan itu. Ternyata Riko, pejabat tertinggi di GSP pun memiliki rasa yang sama denganku. Dia sudah lebih dulu menyampaikan itu kepada Sofie. Sebelum Sofie memberikan jawabannya, akupun datang menyampaikan cinta.

Kulihat mata polos itu begitu jujur ketika berkata bahwa dia menunda jawaban untuk Riko hanya karena hatinya condong kepadaku. Namun ketika aku menyapanya, kenapa pikirannya berubah cepat. Dia tak ingin aku dan Riko yang selama ini begitu solid di setiap penugasan jadi terpecah hanya gara-gara sepotong hati.

Aku sedih, namun aku juga tak ingin terkalahkan kesetiaanku pada kesatuan oleh seorang gadis kecil itu. Aku terima semuanya dengan lapang dada. Sampai suatu saat, dalam acara gladian di lereng gunung Slamet Sofie terpisah dari rombongan. Dia tersesat entah kemana.

Seluruh pasukan yang ada dibantu dari kelompok lain ikut mencari. Dan dia ditemukan dua hari berikutnya di lereng tebing terjal. Dia terkilir dan bertahan di akar-akar pepohonan di tepi jurang menganga sampai Riko menyelamatkannya.

Hanya itulah awal mulanya walau aku menyebut sebagai akhirnya. Penyelamatan itu menuntut penyelesaian sampai ke dalam hati. Tak kuasa aku melihat kehancuran harapanku di depan mata. Aku memilih mundur dari GSP dan menyepi di puncak bukit ini.

Siapa menyangka kepergianku malah membuat GSP terpecah. Secara organisasi Riko memang memegang kendali penuh terhadap anggota. Tapi dalam hal kedekatan hati dan kebersamaan di lapangan, aku lah panutan mereka. Setelah hampir empat bulan kelompok itu acak-acakan, Sofie datang kepadaku dengan segala sesal dan maafnya. Dia memintaku kembali dan menyatukan mereka seperti semula. Tapi aku tetap pada pendirianku.

---------

Itu kejadian dua tahun yang lalu. Dan senja ini, Sofie datang lagi ke gubuk mungilku. Dia juga memintaku kembali. Tapi permintaannya kali ini adalah untuk dia, bukan untuk mereka. Sedikit gugup bercampur gagap aku mendengarnya.

“Eh, kita masuk yu,” ajakku mencoba memecahkan suasana. “Sini, ranselnya aku yang bawa.”

Aku angkat tas punggung itu dan membukakan pintu. Sofie gontai melangkah mengikuti lalu duduk di kursi kayu. Tampak sekali dia kelelahan berjalan kaki dua kilo lebih menuju tempatku ini.

“Sebentar ya, aku ambilkan minum,” ucapku ketika melihat botol air di gantungan samping ranselnya tampak kosong.

Sofie mendahului bangkit dan memegang tanganku. “Eh, jangan, Win. Biar aku saja.”

“Jangan dong, kan aku tuan rumahnya.”

“Engga papa, aku saja. Sekalian aku bikinin kopi ya?” tukasnya bersikeras. “Masih suka kopi pahit dengan gula jawa, kan? Eh, punya persediaan engga? Aku bawa kok di ransel”

Hmmm… dia masih saja ingat kesukaanku dulu. Sofie memang bagian logistik di GSP. Dia perhatian sekali ke semua orang. Sampai hal-hal terkecilpun sering dia siapkan ketika ada penugasan. Setiap orang harus dikasih perhatian, biar tetap semangat, begitu katanya dulu. Terasa sekali kebenaran kata-kata itu. Dan perhatian itu pula lah yang dulu mampu membuat hatiku tercuri. Tak pernah bisa hilang sampai kini.

Aku pun tetap terdiam memperhatikan kegesitan yang masih saja ada di sosok indah itu. Tak hanya membuat kopi, gelas-gelas dan perabotan kotor di dapur kecilku pun segera tertata rapi. Heeei, kenapa aku terus saja tenggelam dalam diam..?

---------

Bagaimanapun juga aku tak bisa membohongi diri. Seringkali aku melamun dan membayangkan Sofie ada di setiap waktu sepiku. Rumah kayu mungil ini begitu kotor dan berantakan tak pernah aku urus dengan baik. Dan hatikupun terasa beku tanpa kelembutan seorang perempuan. Hari-hari hanya diisi celoteh-celoteh riang anak-anak kecil di kebun sayuran sekeliling tempatku.

Ketika kabut gunung mulai turun menjelang mentari kembali ke peraduan, kesunyian ini terasa sekali menyergap sampai ujung-ujung hatiku. Dan sore ini, kesunyian itu tiba-tiba menghilang entah kemana. Sampai tak sadar aku tersenyum sendiri terhanyut kenyataan mimpi itu. Aaah, andai saja dia selalu ada disini..?

Hei, tapi tadi dia berkata kembalilah untukku..? Kenapa tidak aku tanyakan maksudnya? Benarkah dia datang membangunkan aku agar tidak terus menerus bermimpi dan berkata kalau harapan itu nyata memang ada. Benarkah..?

---------

Kabut malam sudah lenyap diterpa angin gunung. Bulan setengah purnama mengantung indah di atas cakrawala. Nyanyian jangkrik dan tongeret hutan bersahutan menangisi desau angin yang mulai menusuk tulang. Biasanya aku mencari kehangatan di depan perapian sambil menunggu kantuk menjemput lelahku.

Tapi malam ini, aku duduk di halaman rumah beralaskan kayu lapuk pohon tumbang bersama Sofie. Ditemani dua gelas kopi panas dan beberapa tongkol jagung di atas api unggun. Aku jadi terbawa suasana, terkenang malam berlalu setiap perkemahan dahulu. Bercerita, bercanda, bernyanyi dan tertawa. Aku sungguh tak menyangka semua itu bisa kembali saat ini.

Sampai akhirnya aku tak kuasa menahan ganjalan hati tentang ucapan Sofie sore tadi. Sambil mengangkat tongkol jagung dari api aku bertanya, “Fie, bener kamu ngajak aku pulang ke kota?”

Yang ditanya malah menggeleng pelan. Waduh, wajah cerianya kok berubah sedikit muram. Perasaan aku tidak bicara yang aneh..?

“Lho, trus maksud kamu tadi siang apa?” tanyaku lagi.

“Aku tidak mengajak kamu kesana kok, Win,” jawabnya setelah menarik nafas panjang.

“Maksud kamu bagaimana? Aku malah bingung nih.”

“Berat banget, Win,” ucapnya lirih. “Aku tak tahu harus memulainya darimana.”

Perasaanku mendadak tak enak, apalagi setelah melihat kabut tebal hadir di roman mukanya. Agak lama aku saling tatap dalam diam. Di mataku, tatap itu seolah mengungkapkan hati yang begitu lemah dan butuh sandaran. Tanpa sadar kuusap helai rambutnya. Dan entah bagaimana awalnya, Sofie kudapatkan terisak dalam pelukanku.

“Bicaralah, Fie. Jangan bikin aku merasa asing. Sofie yang aku kenal bukanlah perempuan lemah,” aku coba membujuknya. “Sebenarnya ada apa? Siapa tahu aku bisa bantu..”

“Aku merasa berdosa kepadamu. Dan aku juga bingung harus bicara darimana..” bisiknya disela tangis.

“Ayolah, kamu pasti bisa. Aku cuma ingin tahu, kenapa kamu ingin aku kembali.”

“Tapi aku takut kamu tidak bisa menerima kalau aku katakan.”

Aku mencoba tersenyum, “Aku sudah berpikir panjuang sejak tadi, Fie. Aku kesepian disini. Aku ingin kembali ke alam ramai. Rasanya sudah cukup lama aku lari dari kenyataan. Dan nyatanya, tidak ada yang aku dapatkan dalam pelarianku ini. Kita kembali besok siang, ok?”

“Tidak, win…” jawabnya agak keras kali ini. “Aku hanya ingin kamu melupakan luka yang aku buat dulu. Dan jangan usir aku lagi dari sini, Win..”

“Lho, maksudmu..?” keningku sedikit berkerut. “Kamu mau tetap disini? Bagaimana dengan Riko?”

“Riko sudah meninggalkan aku, Win…”

Sejenak aku tertegun. Tapi tetap kuusahakan tersenyum,” Ok, ok. Jangan bahas itu kalau memang membuat kamu sakit. Kamu juga harus tahu, sejujurnya sudah sejak lama aku merindukan itu. Cuma aku tak berani berbuat apa-apa selain diam, karena aku tahu itu keinginan yang jahat. Tenanglah, Fie… Tidak ada kata terlambat kok. Kita bisa mulai lagi dari awal.”

“Iya, aku yakin kamu belum berubah, Win. Tapi…. Aku takut.”

“Hei, sudah dong,” kuusap air mata di pipinya dengan ujung jari. “Senyumlah, Fie. Kalau memang itu harapanmu, jangan sedih dong. Aku sudah memelukmu dan takkan melepaskanmu lagi. Tidak ada yang perlu kamu takutkan lagi. Ayo dong, tersenyumlah untukku.”

“Tapi, Win. Aku takut. Riko…”

Waduh, tangisnya mulai lagi. Ternyata memahami perasaan perempuan lebih sulit dari yang aku kira. Kupeluk dia lebih erat dan kucium hitam rambutnya.

“Kenapa, Fie..? Riko sudah pergi dari kamu kan? Lupakanlah. Apa dia masih menyimpan dendam?”

Sofie mengangkat kepala menatapku dalam linangan penuh harap. “Tapi kamu janji kan, mau menyayangi dan melindungiku kalau aku…”

Kupotong ucapannya dengan menaruh telunjuk di bibir mungilnya. “Aku sudah bilang tadi, Fie. Takkan kulepaskan kamu dari pelukanku. Jangankan Riko yang hanya pintar berteori itu. Macam gunung turun malam ini pun akan aku hadapi. Percayalah..!”

“Benar, Win..?”

“Ya,” jawabku sambil mengangguk mantap. “Katakan dendam Riko, Fie.”

“Pengecut itu tidak dendam, Win,” jawabnya lirih. “Tapi, dia pergi… setelah aku serahkan segalanya…“

Tangisnya meledak lagi


Arsip Fiksi

Read More

Jadilah Anak Kecil

"Dasar, seperti anak kecil.!!!"

Hai, kenapa banyak orang dewasa suka mengumpat seperti itu. Padahal dia seringkali kehabisan ide ketika mengerjakan tugasnya sebagai orang dewasa.

Mungkin dia tak pernah baca buku, sehingga tak tahu bahwa Thomas Edison pernah berkata, "penemuan terbesar di dunia adalah pikiran seorang anak"

Psikolog Jean Piaget berpendapat, "jika ingin kreatif, jadilah anak kecil yang belum dirusak oleh pikiran orang dewasa."

J. Robert Oppenheimer, "Ada anak-anak yang sedang bermain di jalanan yang bisa mencerahkan sebagian persoalan-persoalan puncak saya dalam fisika karena mereka memiliki cara-cara tanggap dengan panca indra yang telah lama sekali saya buang."

Orang dewasa otaknya telah tercemari dan terbelenggu berbagai macam persoalan dunia. Dalam setiap geraknya dia akan terlalu banyak berpikir memperkirakan hasilnya daripada mencari cara baru untuk mencapai sasaran. Dia juga seringkali terikat oleh pengalaman masa lalunya sehingga berbagai gagasan yang dituangkan selalu terpola dari situ kesitu lagi. Cenderung monoton.

Orang dewasa ketika menyebrang jalan akan berbuat yang sama dari waktu ke waktu. Berhenti sejenak di trotoar, tengok kanan kiri baru melangkah setelah yakin tidak ada kendaraan lewat.

Akan berbeda dengan anak kecil yang tak pernah punya pengalaman sebelumnya tentang menyebrang jalan. Dia akan berbuat dengan bermacam tingkah tanpa ada beban. Berhenti dulu, tengak tengok dulu atau langsung nyelonong sambil berlari atau bergulingan di jalan bisa saja dia lakukan. Pokoknya tanpa beban akan berakibat apa.

Aku yakin itu yang penting dalam mencari ide. Tanpa beban dan lepas dari segala belenggu pengalaman atau pemikiran yang tak perlu. Mungkinkah itu..? Sangat memungkinkan. Caranya..?

Andai otak kita sebuah gelas dan sudah penuh dengan ampas kopi, dapatkah kita tambahkan air satu gelas lagi tanpa tumpah? Aku yakin tak mungkin. Satu-satunya jalan adalah mengosongkan gelas itu, baru dituangkan air yang baru. Ide-ide yang baru.

Biarkan semuanya bebas mengalir tanpa beban. Lupakan segala aturan. Jadikan otak tidak logis. Berubahlah menjadi dungu. Bebaskan, lepaskan, dan dapatkan...
Enjoy aja...

Jadilah anak kecil...

Arsip Nggedeblog

Read More

26 April 2008

Teori Prawan Randha

Dina jemuah ndeleng tangga pada semringah, aku dhewek malah sirah cekot-cekot kurang turu. Weruh srengenge kaya weruh pegawe BRI marani pas mangsan order lagi sepi. 

Nglemprak nang eper golet sing isis malah dibrisiki tanggane nyetel pisidi. Sing disetel jeritan hatine Sopsan mawi.
"jangan terong akeh lugute...
...prawan randha ya padha bae"


Hoolah...
Pada bae kepriwe. Nek pada wadone lha ndean iya. Tapi nek ndeleng lakune urip ket mbiyen nganti siki kayane ya ora kaya kuwe.


Jaman esih nguli nang Telkom nek weruh sing mloes terus dilenceri. Genah anu tampange dedel duwel, bocaeh diapeli malah mrenguti, jere raiku maregi. Biyunge kadang lewih njeleih. Tapi nek wis dijak ngobrol takon ngodhe ngendi, trus bisa mbalek kanan grak.

Anake moh be dijejeki men ngancani. Seminggu ora ngeton wis ditakoni werna-werna. Nembe grok be wis disandhingi wedhang. Apa maning nek nyangking jeruk sankis sekilo apa martabak sapisial. Lah wiiiiis... pokoke dunia serasa milik calon mertua.

Mbasan siki, wis nggantheng dadi wong sing bisa pasang tampang ngencoti. Soale bocah wadon seneng weruh sing kaya kuwe, dadi nembe ketemu wis langsung pengin nyaplok apa jajan bakso. Tapi wis tampang ngotaa wong genah nganggur. Arepa ana bocah wadon nguber-uber setengah mati, nek wis ketemu biyunge raine ndadak kaya jarit nembe ditilepi. Boro-boro nggawa buntelan isi pizza, wong dolan be niate arep karo nunut madhang.

Nah...
Crita liane kiye soal watekku sing penyayang anak kecil. Lewih-lewih maring bocah mbarep sing cilik dewek, isuk sore pengine ngelus-elus. Nek weruh bocah cilik apa maning sing ora duwe rama, jan langsung gemes kepengin neot pipine biyunge. Gara-gara ngetutna Kanjeng Nabi eman meng anak yatim, tau nganti bocaeh dipasrahna kon didadekna anak asal biyunge melu diopeni.


Dadi bener teorine Kang Ali, nek ngarah prawan kuwe kudu biyunge sing edeki. Kewalikane nek ngarah randha, kudu anake sing pereki.

Tapi...
Esih ana tapine kiyeh. Mbasan aku mblandhang nang Jakarta, dadi tanggane Lik Ihin. Aku duwe kanca lanang sing tek eman. Nggal dina isuk sore nongkrong nang kandhangku, udud kopi pokoke ora kapiran. Lha, nek wong kuwe lagi lunga kang umah, genti sing wadon bolak balik meng kamerku. Nyilih majalah, njaluk waraih komputer, njujugi panganan, dll dll... nganti nawani pijet mbok boyoke pegel.


Dadi kayane, kang Ali kudu nggawe teori anyar nek pas lagi mulang nang sekolahan. Ora cukup teori prawan randha thok. Dadi nek arep nyosor sing di luar katagori kuwe, kudu mereki sing lanang. 

Tapi ya sekedar teori thok, aja dilakoni (cara aluse ndean dilak*ni...)
Sing gawe urip ora merem.
Dosa...
Read More

Surat Biru

"Sun terima surat biru...
...tulisane sampeyan"

Boseeeet.... najeees abeees.... pokoke lah.

Wis genah pirang-pirang dina rambute mandan kriwil mendadak dangdut, krungu tembangan kaya kuwe kang spiker radione tanggane koh dadi kelingan. Nek ora salah kemis wingi aku olih kiriman liwat pos. Isine tah ora sepiraa, tapi maknaneee...

Mbuh karena uteke terkontaminasi lagu surat biru kuwe, mbuh karena sebab liyane. Sing genah bar nampa surat kuwe terus rasane ora enak mangan, ora enak udud. Turu ya dadi angel wong wetenge kosong. Akeh lemud maning...

Mulane kegawa ngimpi pengin aku dadi kompeni, kayane kepenak. Nek ana sing arep aweh kado apa hadiah bisa nawar disit. Ora usah kesel-kesel ndadak nulis surat biru, kirimi bae wesel. Apa tiru Slank, sing nggenthoak, "haaai kirim aku bunga, kasih..." Tapi bunga deposito bae.

Whoooo...
Menungsa nek lagi dadi kere lah, isine ngalamun thok.
Ya wis ngonohlah pada nulis tangan maning.
Aku tek ngalamun maning karo tembangan.

"atiku rasane kaku...
...mbatin kula ketagihan"

Read More

Sumur di Ladang

Kalaulah ada sumur diladang
bolehlah kita menumpang mandi....

Andai saja dunia hanya sebuah sumur di ladang, tetap saja tak setiap saat aku mandi. Bahkan aku tak cukup mampu untuk melihat jernih atau keruh airnya. Seringkali aku berpikir, jangan-jangan aku hanyalah kebetulan mampir, bukan karena ingin mandi.

Huuuh...
Mengapa aku malah mengeluhkan itu. Bukannya berpikir, gatal-gatal di badanku akan hilang atau bertambah parah bila mandi disitu.

Aku tak suka basa-basi. Makanya aku jenuh dengan dunia yang terlalu banyak prosesi. Berawal dari bapak dan ibuku berniat untuk berproduksi, sudah dimulai dengan resepsi. Sel telur ibuku mulai membelah diri diterjang sperma bapak, lalu empat bulan, tujuh bulan sampai aku melihat mentari. Mereka sibuk lagi mengadakan seremoni.

Aku ulang tahun, sunatan, jadian, pacaran, menikah, punya anak sampai aku mati suatu saat nanti. Selalu ada upacara tak berguna dengan berbagai istilahnya. Selamatan, syukuran, tahlilan, anak setan, dll dll... pokoknya makan-makan.

Shittt...
Ternyata kita cari duit sepanjang hidup hanya untuk membiayai cacing perut berpesta pora.

"Asuuuu...." tetanggaku berteriak.
"Kenapa, blay..?" aku ikut berteriak.
"HPku ilang..!!"

Hmmm...
Hidup ini indah, tapi kenapa banyak yang berkeluh kesah.
Tetanggaku berteriak HPnya ilang di jalan. Temanku menggeram istrinya ngajablay. Aku sendiri mendengus ketikanku ditelan listrik anjlok sebelum tekan tombol save. Sampai bayi merah di sebelahku sudah pintar mengaum cuma karena nenen ibunya bau rokok.
Hidup memang bejad..!!!

Kalaulah ada umur yang panjang
bolehlah kita mengumpat lagi...

Arsip Fiksi

Read More

Dikerjani Lawang

Isuk-isuk tangi turu medang kopi lawuh mendoan. Tongkrong ngarep komputer, ceting karo bunda. Hmmm… nylekamin pisan jan.. Wis ora kelingan utang pokoke lah.

Lah ndilalah, ana lombok kecokot, padahal aku kue paling anti maring sing jenenge pedes. Mending gelut pokoke lah daripada kon ngunthal sambel karo cirine. Ora let sue, mulai krasa bala kurawa cacing pada demo. Mules les lesss…

Nyaut anduk mlayu meng kamar mandi. Halah… ana menungsane. Tek tunggoni nganti ntek udud se ler koh ora metu-metu. Ora kuat nahan lara weteng, tek dhodhog lawange alon-alon. Amleng…

Tek thuthuk mandan seru, esih amleng. Sidane aku ngorong-ngorong. Heee lah.. ora ana sing semaur. Sidane nekat aku munggah meng dhuwur krosi tek intip. Merangsang ya ngonoh, daripada kepecirit nang kathok.

Asem… anu ora ana menungsane. Tapi lawange ngunci. Kae lho konci sing gagange bundher kan nek depejet kang jero terus ngunci. Iis tek takoni ora due kuncine. Duh.. weteng wis tambah ora genah je… Sidane aku mlumpat menduwur nganti kejedhod pyan. Wis ora mubah pokoke ngelmu kethek. Mlumpat kang krosi gecelan usuk, sikile nylagrang nglumpati tembok. Anjrut mengisor..

Preeeet… Jabang bayi !!! Kathok malah kecathel paku nang tembok sing biasa go nyanthelna anduk. Buset, penjorangan temenan kiye. Nembe ngalami seumur-umur nyanthelna cawet karo wong wonge.

Ora urusan, sing penting bisa thongkrong karo udud. Puaaah… nikmaaaaat… Ora nana maning lah pokoke…

Wis rampungan ngebom, tanganku gramakan meng bak. Semprul… Lah cidhuke ndi kiyeeeeh….. Tingak tinguk nang jero kamar mandi ora ana ember ora ana kaleng bodol. Lha arep metu kepriwe wong anduke esih tek glethakna nang jaba. Arep kathokan disit lha ya ngko belok lepot kopet thok.. Apa enggane kudu kaya nang kali, silite cemplungna bak.

Tapi anu dasar wong cerdas, sumpel bak sing go pranti nguras tek dudut. Cuuuurrr…. Alhamdulillah bisa cewok sidane. Bar kuwe adus, klamben, nongkrong maning ngarep komputer ora ketang dadi nlangsa kudu manyun cangkeme. Udud nang sak sing bedhah kecemplung WC sih mau.

Ngonoh lah tek ikhlasna, sepiteng be kepengin samsu…

Arsip Fiksi


Read More

Metrosexual Marketing Target

Kenapa pemasaran selalu dikaitkan emosi.?
Apakah target pasar hanya kaum wanita saja.?
Padahal data di Indonesia menyebutkan 80% pengguna internet adalah pria.?
Lalu bagaimana online marketing bisa mencapai sasaran...?
Ini adalah masukan dari teman via email terkait dengan postingan sebelumnya.

Mungkin perlu diingat, bahwa pria sekarang sudah mulai terbawa emosional. Sampai-sampai Mark Simpson pada tahun 1993 melontarkan istilah metroseksual. Memang ada pendapat miring tentang gejala budaya baru itu dan menganggap sebagai laki-laki yang cenderung banci. Tapi bila kita lihat perkembangan kultural sekarang, tampaknya anggapan itu tidaklah tepat. They are not gays, they are straight guys...

Kalau kita baca di The 18 Guiding Priciples of Marketing in Venus, konsumen emosional sekarang bukanlah WOMEN saja, tetapi WO-MEN. Woman-oriented man, pria yang kewanita-wanitaan. Penuh emosi dan ekspresi, namun tidak kehilangan maskulinitasnya atau beralih orientasi seks. Lihat saja pria yang keluar masuk salon, spa atau pusat perawatan tubuh lainnya, apakah mereka banci..? Tidak. Mereka kaum metroseksual yang bisa dikatakan dari golongan menengah ke atas yang sudah mulai memikirkan pentingnya perawatan tubuh dan penampilan agar mereka lebih pede saat melakukan transaksi atau bertemu relasi bisnisnya.

Pria-pria emosional itu seringkali masih malu-malu untuk melakukan semuanya secara terbuka. Dan mereka lebih bebas melakukan transaksi produk-produk semacam itu di dunia maya. Ini peluang bagus untuk internet marketer.

Namun perlu diingat, kelompok itu adalah golongan yang rewel dan menilai segala sesuatunya secara terperinci. Jadi untuk bisa meraih kesan dan memenangkan pertarungan memperebutkan WO-MAN itu, pemasar harus pay attention to detail. Jangan kecewakan pelanggan untuk hal yang paling kecil sekalipun atau produk kita dilupakan orang.

Pokoknya..
Most customer in this interactive world are WO-MEN..!!!

Arsip Angsakecil

Read More

Kenapa Blogspot

Ada teman yang bertanya, kenapa milih blogspot bukan yang lainnya..?

Memang aku lihat banyak sekali blog-blog gratisan yang bisa aku pergunakan. Masing-masing punya banyak kelebihan sekaligus kekurangan. Dan aku melihat blogspot lebih cocok buat aku belajar.

Blogspot tampilannya sederhana, tidak serumit Multiply, Friendster, Yuwie atau yang lainnya. Memang disana aku bisa pajang foto, musik dan video. Tapi untuk tahap belajar aku ingin memfokuskan pada masalah menulis. Aku tak bisa narsis karena tampangku jelek. Aku juga tidak bisa upload mp3 atau video karena koneksiku terlalu lambat.

Blogspot juga mengijinkan pemakaian java script dan edit html lebih bebas dibanding yang lain. Di Multiply aku cuma bisa mengedit sedikit-sedikit lewat CSS dan pemakaian java script harus lewat konverter. Mungkin tidak begitu sulit untuk orang lain, tapi buatku itu terlalu rumit. Namanya juga masih belajar.

Wordpress juga sederhana, tapi menurutku agak susah juga. Untuk belajar script dibatasi lalu untuk gambar aku harus upload dulu di hosting lainnya. Waaah... nantilah yang rumit-rumit. Aku mau yang gampang dulu.

Trus ada temen yang selalu mengompori soal cari uang di internet lewat adsense. Sempat terpikir juga walaupun aku belum berminat. Buat nanti saja lah kalau sudah oke. Tapi tidak ada salahnya aku belajar tentang publikasi di search engine dan adsense. Aku pikir blogspot itu milik google, jadi sepertinya akan lebih mudah diindex oleh google. Dan kalau sudah memenuhi syarat untuk ikut adsense, sepertinya lebih mudah buat diapprove.

Pokoknya aku pakai blogspot bukan apa-apa. Cuma aku suka kesederhanaan dan kemudahannya untuk seorang newbie.

Semoga aku bisa cepat pintar...

Arsip Nggedeblog

Read More

25 April 2008

Satrio I

S A T U

“Assalamu’alaikum…”

“Walaikumsalam..” jawabku sambil melompat menuju pintu. Kulihat ayah mengulurkan kedua tangan dan langsung mengangkatku tinggi-tinggi seperti biasanya. Aku digendong ke dalam rumah dan diciuminya.

Dan pertanyaan wajib yang selalu ayah tanyakan setiap kali pulang kerja segera keluar, “Mamas ngapain di sekolahan?”

Kadang aku bosen dengan pertanyaan yang tak pernah berubah itu. Tapi kalau aku tidak segera menjawab, ayah pasti akan terus menanyakan itu sebelum bicara topik lainnya. Pasti itu…

“Ngajinya sudah Iqro 4, yah. Trus, sempoa Rio dapat bintang. Malah sama ustadzah tadi disuruh maju ngajarin temen-temen”

Senyum ayah melebar, lalu memegang telapak tanganku, mambaliknya untuk melihat punggungnya. “Hei, kok engga ada nomernya..?”

“Tadi ketahuan ustadzah Rio bobonya bohong-bohongan.”

Ayah memencet hidungku. Aku tertawa ngakak. Di sekolahku memang seperti itu. Setelah makan siang dan jamaah shalat dzuhur, murid-muridnya harus tidur siang. Yang tidur pertama, di punggung telapak tangan akan dikasih angka satu oleh ustadzah. Yang kedua ya angka dua. Begitu seterusnya.

Nanti pas jam pulang, satu persatu disuruh maju hafalan juz amma atau doa-doa harian sesuai urutan angka di punggung tangan itu. Kalau sudah betul doanya langsung pulang. Makanya yang tidurnya telat atau doanya masih salah-salah, pulangnya belakangan.

“Kenapa mamas engga bobo, sayang?”

Aku cuma nyengir.

“Eh, ditanya kok malah mringis?” desak ayah.

“Habisnya kesel sama ustadzah, yah. Masa pelajaran menggambar ga dikasih bintang..?”

“Pasti mamas menggambar tank sama pesawat lagi…”

Tebakan tepat. Tadi memang disuruh menggambar pemandangan. Tapi aku kan tidak suka. Aku lebih suka menggambar tank, pesawat atau bom seperti yang ada di game komputer aku. Belum pernah sekalipun aku menggambar yang lain. Sampai ustadzah pernah memanggil ayah menanyakan hobi menggambarku itu.

“Mamas nakal tuh, yah…” terdengar suara bunda dari ruang belakang sambil berjalan ke arah kami. Bunda bersalaman dan mencium tangan ayah. Ayah balas mencium kening bunda dan menggendongku ke teras belakang. Bunda menyusul setelah menggambil segalas air putih dingin buat ayah.

Teras belakang adalah tempat favorit kami di rumah mungil yang bertengger di atas selokan ini. Mungkin ini sama dengan ruang tengah atau ruang keluarga kalau di rumah orang lain.

Rumah kami memang hanya satu meter dari jalan raya dibuat panggung di atas selokan dan kata ayah kami menyewa di atas tanah PJKA. Rumah kecil untuk ukuran hidup di desa berukuran 6 x 6 meter dibagi dua. Ruang depan dibagi lagi menjadi dua secara permanen. Separo dipakai wartelnya mbah kakung yang separo menjadi ruang tamu yang masih disekat pakai tripleks untuk kamarku.

Ruang belakang juga dibagi dua disekat pakai lemari baju dan gorden untuk kamar ayah dan bunda, sisanya dipakai dapur dan kamar mandi. Di belakang rumah ada teras sepanjang dinding rumah dengan lebar satu meter. Sebelah kiri pintu belakang ditutup bilik bambu dan diberi atap untuk tempat kerja ayah kalau pas di rumah. Dan teras sebelah kanan menjadi tempat kumpul keluarga setiap sore.

Halaman belakang yang tidak begitu luas dipagari bambu dan pohon singkong yang tidak terlalu tinggi karena daunnya sering dipetik bunda untuk sayur. Diluar pagar membentang rel kereta api Bandung Jogjakarta dan di seberangnya ada hamparan sawah dengan latar belakang pegunungan rimbun hutan karet.

Kehidupan sederhana yang bahagia menurut otak kecilku. Setiap pagi kami memulai hari dengan berjamaah subuh. Bunda memasak, ayah mencuci, aku nonton tivi. Setelah mandi, ayah sarapan dan aku disuapin bunda. Berangkat sekolah kadang aku diantar ayah, kadang bunda, kadang ikut ustadzah dan tidak jarang dititipkan angkot.

Siang hari, aku disekolah dan ayah kerja. Bunda mungkin banyak kesibukan di rumah sampai aku pulang sekolah jam tiga sore. Saat aku pulang, biasanya teman-teman sudah menunggu di depan rumah mengajak bermain. Kalau bunda lagi kelihatan baik banget, aku dan teman-teman suka main di selokan atau main lumpur di sawah. Tapi kalau bunda keningnya sedikit berkerut, paling banter aku main komputer di rumah.

Ayah pulang kerja menjelang maghrib tapi kadang sampai aku tidur belum pulang. Aku paling suka kalau ayah pulang masih siang, berarti aku ada teman buat perang-perangan di Ghost Recon atau Counter Strike. Atau kalau lagi malas main game, ayah suka bisa mengajari aku menggambar pakai CorelDraw atau isengin foto bunda di Photoshop.

Sesudah jamaah shalat maghrib dan makan malam aku seringnya ngaji dan belajar sama bunda. Ayah suka sibuk sih di kantor keduanya di belakang rumah membetulkan komputer orang yang suka diantar ke rumah. Kadang-kadang ayah yang membantu aku belajar kalau ayah sedang tidak ada pekerjaan dan bunda sedang sibuk melihat sinetron.

Aku lebih suka belajar atau ngaji sama ayah. Katanya sih ayah itu pernah ikut pelatihan militer walaupun bukan tentara. Mungkin diajarin jadi hansip kali ya? Jadinya ayah jadi terbiasa bergerak atau bekerja cepat. Makanya kalau ngaji dengan ayah pasti cepat selesai. Lain kalau sama bunda. Baca “Ulaaa ika”, ula-nya kurang panjang saja harus mengulang lagi dari depan. Idhom, Qolqolah dan lain-lainnya harus benar-benar pas. Bundaku memang cerewet.

Hari sabtu dan minggu sekolahku libur. Aku sering meminta ayah untuk pulang siang biar kami bisa jalan-jalan ke Onno Swalayan, satu-satunya toko besar terdekat yang aku tahu. Aku suka mandi bola disana, ayah nongkrong di tempat buku dan bunda jadi setrikaan bolak-balik kesana kemari tapi tidak ada yang dibeli.

Kalau cuaca bagus kami bertiga main layangan. Ayah selalu main pertama bagian menerbangkan layang-layang. Kalau sudah tinggi aku rebutan memegang benang dengan bunda. Aku suka main sangkutan biarpun suka nangis kalau kalah dan layanganku putus. Bunda juga suka main sangkutan, tapi disangkutkan ke pohon.

Paling senang kalau liburan panjang. Aku bisa mainan pasir seharian di pantai atau pergi kolam renang. Ayah berenang dan aku naik ke punggungnya. Bunda tidak pernah mau nyebur, paling banter duduk-duduk di tempat jajanan. Kalau bunda bilang sih tidak boleh pamer aurat, tapi kalau kata ayah bunda renangnya gaya batu.

Pokoknya aku bahagia banget menjalani masa kecil di keluarga ini.

------------------------------------------

“Eh, kata bunda Mamas nakal ya..?” tiba-tiba ayah menanyakan itu ketika aku menonton tivi setelah ngaji dan belajar.

“Siapa bilang, yah? Bunda bohong tuh,” jawabku pelan takut bunda dengar.

“Anak soleh tidak boleh bohong,” ayah mendesak lembut.

Belum sempat aku menjawab, malah bunda muncul dari belakang seusai mencuci piring. Melihat gelagat kurang menguntungkan, aku keluar rumah mencari perlindungan ke mbah kakung. Eh mbak kakung tidak ada di wartel.

Aku masih celingukan mencari-cari, ketika bunda menangkap tanganku. “Hei, mau kabur kemana ya…?”

“Enggak kok. Cuman nyariin motor ayah, kok tidak ada sih, bun?” Aku mencoba ngeles tapi tak bisa berbuat apa-apa waktu diseret ke dalam rumah. Sebelum ayah menginterogasi aku lebih jauh, aku nanya duluan. “Yah, ayah pulang pakai apa, kok motornya tidak ada?”

Kulihat ayah terdiam sejenak, lalu melirik ke bunda. Bunda juga diam, malah kelihatan menarik nafas panjang. Waduh, gawat nih. Jangan-jangan ayah marah nih. Pelan-pelan aku duduk di samping ayah sambil menundukkan kepala.

Ayah malah mengusap kepalaku, “Mamas bobo dulu ya, sudah malam. Besok kesiangan shalat subuhnya.”

“Lho, ayah kenapa?” pikirku heran. Tapi daripada soal aku baju sekolahku kotor habis berantem di sekolahan dibahas lagi, mendingan aku nurut masuk kamar. Cuma, namanya juga belum ngantuk, susah juga dipaksa merem.

Cukup lama aku pura-pura tidur sementara kedua orang tuaku asyik dalam diam menyimak acara tivi. Sampai akhirnya aku mendengar mereka bicara pelan-pelan tapi cukup untuk bisa aku dengar walau samar-samar.

“Jadi dijual motornya, yah?” bunda yang mendahului memecah kesunyian.

“Tidak, bun. Cuma aku gadaikan ke teman.”

“Apa cukup, yah?”

“Ya kurang sih. Tapi sayang lah kalau dijual. Untuk kekurangannya, biar nanti ayah coba cari pinjaman. Bunda yang sabar, ya…”

“Insya Alloh, yah. Toh untuk antar jemput mamas masih ada motor bunda.Ayah bisa pakai juga buat berangkat kerja”

Terdengar ayah menarik nafas dalam. “Iya. Tapi bagaimana dengan bunda?”

“Yah…” kedengarannya bunda berkata sambil tersenyum. “Bunda kan paling butuh buat ke pasar apa main ke rumah teman. Pakai saja lah, yah… Itung-itung buat ngurangin dosa kalo ngegosipnya libur. Engga apa-apa kok…”

“Bun…” lirih banget suara ayah hampir tak terdengar.

“Sudahlah, yah…”

Setelah itu tak terdengar lagi ada yang berkata-kata. Malah tivi dimatikan dan bunda masuk ke kamarku membetulkan selimut sembari mencium keningku. Terdengar suara pintu depan dikunci lalu ayah masuk ke kamarnya disusul bunda, sementara aku tetap saja belum bisa bobo. Huuuh… ngapain mereka..?

------------------------------------------

Esok harinya aku sekolah diantar dan dijemput oleh ayah pakai motor bunda. Sebelum pulang ayah mengajakku ke servis dan kursus komputer tempat ayah kerja. Aku duduk di sofa sambil menunggu ayah bongkar-bongkar lemari entah mencari apa.

“Yah, kok tokonya ditutup sih,” tanyaku ketika ayah duduk di sebelahku membuka-buka map berisi kertas-kertas banyak banget.

Ayah menoleh sebentar, “Ditutup dulu sebentar, mas. Mau diperbaiki dulu sistemnya.”

“Memang komputernya rusak semua ya, yah?”

“Engga. Kan komputer juga perlu istirahat.”

“Kok om Hadi sama tante Iin tidak kerja?” tanyaku lagi. Aku memang suka gitu kalo bertanya. Makanya bunda sama mbah uti suka bilang aku cerewet. Cuma ayah dan mbah kakung yang selalu menjawab terus kalau aku terus-terusan bertanya.

Kan sama, mas. Mereka juga butuh istirahat. Kasihan, cape kerja terus.”

“Kok ayah, engga istirahat. Ayah berangkat terus.”

Kan ayah banyak urusan, mas.”

“Kalau banyak urusan engga boleh istirahat ya, yah.? Boleh sampai malam? Rio boleh banyak urusan engga, yah?”

Ayah tersenyum sambil mengacak-acak rambutku, “semuanya perlu, mas. Cuma porsinya lain-lain. Seperti mamas jam delapan harus sudah bobo karena masih anak-anak. Kalau sudah dewasa boleh bobo jam sepuluh. Kita pulang sekarang, yuk.”

Ayah bangkit menumpuk kertas-kertas di meja. Tanganku digandeng keluar ruangan. Sambil berjalan aku ingat motor ayah.

“Motor juga seperti komputer ya, yah. Harus istirahat juga?”

“Ya sama, mas…”

“Kok engga ada sih, ditaruh dimana, yah?”

Ayah mengunci pintu toko dan mengangkatku ke atas motor.

“Dimana, yah?” desakku sambil mengenakan helm.

“Tempat istirahat motor ya di bengkel dong. Kalo komputer lah disini. Kan biar fresh”

Aku manggut-manggut. “Berarti kalau digadaikan itu disuruh istirahat di bengkel ya, yah. Nanti sampai rumah Rio juga mau digadaikan, ah. Cape banget tadi habis lari-lari pas pelajaran olah raga. Kan biar fresh”

Bersambung...

Arsip Fiksi
Read More

Keindahan Yang Pergi

Akhir September...

"Win..." seorang teman menepuk pundakku saat aku sibuk packing carrier. "Lebih baik kamu serahkan tugas ini ke orang lain. Tugas ini tidak terlalu berat. Lia butuh support moral kamu. Ayolah... kita ke Margono sekarang."

Aku diam sejenak lalu menggeleng. "Aku sudah menengok dia kemarin. Aku harus tetap berangkat. Tim kita baru pulang pelatihan, masih lelah. Aku lebih dibutuhkan oleh mereka."

"Tapi Lia lebih penting, Win. Dia pacar kamu. Sedangkan korban yang akan kita cari bukan apa-apa kamu. Jangan egois begitu lah..."

Aku terdiam lagi. Terbayang di pelupuk mata bayangan Lia yang tergolek lemah di ruang ICU RS Margono Sukarjo. Kemarin aku disana menemaninya sepanjang sore. Kondisinya sudah mulai membaik, semangat hidupnya sangat tinggi. Aku yakin kesehatannya akan cepat pulih. Makanya aku langsung mengiyakan ketika aku harus membawa Tim kecilku ke Gunung Sindoro membantu pencarian pendaki yang hilang.

"Heeeh... malah ngelamun." temanku menghardik. "Dah kamu mendingan kesana. Barusan dia manggil-manggil kamu terus. Masa sih kamu tega ninggalin dia. Biar aku yang bawa pasukan ke Sindoro."

Aku berdiri mengangkat tas punggung dan berkata tegas, "Tugas dimulai. Buat barisan bersaf. Yang tidak siap, silakan keluar barisan."

Akupun pergi bersama Tim kecilku. Saat pulang Lia sudah sehat dan ceria seperti biasanya. Dia menyambutku dengan senyum lembutnya yang sempat terlupakan selama seminggu lebih.

"Sukses operasinya, Wins..?" dia mengangkat tangan mengajak tos.
"Berkat doamu, Yang..." jawabku sambil meneruskan membereskan peralatan tempur yang kotor berlumuran tanah. Hampir satu jam aku melakukan itu. Lia terus memperhatikanku sambil duduk di bawah pohon akasia. Aku baru berhenti ketika temanku melemparkan sepatu PDL ke arahku.

"Apa-apaan nih..?" aku bertanya.

Dia malah menyeringai. "Kamu manusia paling tidak berperasaan."

"Apaan sih..?" aku masih bingung. Temanku cuma menoleh ke arah Lia. Aku cuma nyengir sedikit. "Biarin lah, gapapa kok. Dia orangnya setia. Sampai besok pun pasti siap nungguin."

"Wiiin..." Aku diseret ke dalam sekretariat. "Amalia begitu setia ke kamu. Dia selalu selalu baik ke kamu. Tapi dia sakit butuh kamu ada di dekatnya, kamu malah pergi. Sekarang kamu pulang malah cuek begitu. Dia pasti mau ngomong sesuatu, Win...?"

"Ada apa sih..?" makin bengong aku. Temanku itu malah mengambil Buku Induk Anggota dan membuka halamannya lalu menyodorkan kepadaku. Ujung jarinya menunjuk sesuatu. Aku baca...

Masya Alloh, besok dia ultah. Langsung aku lari keluar sambil mendorong jidat temanku pakai ujung jari. "Tengkyu, friend..."

Benar apa yang dikatakan temanku. Lia menanyakan apakah aku melupakan sesuatu. Lalu aku tanya keinginannya.

"Kita ke gunung Slamet, Win..."

Aku termenung agak lama. Aku baru pulang pelatihan, lalu ke Sindoro, dan sore ini harus ke Slamet. Lia sendiri baru sembuh dari sakitnya. Aku tatap wajahnya dalam-dalam. Namun yang muncul justru rasa tak tega melukai hatinya. Terasa sekali selama ini aku jarang membalas semua perhatiannya yang begitu besar terhadapku. Haruskah aku mengecewakannya juga kali ini...?

Aku berangkat siang itu. Dan siapa yang menyangka bila pendakian itu adalah pendakian terakhirnya. Sekaligus hari terakhir kebersamaanku dengannya. Aku tak mampu membawanya turun gunung lebih cepat saat hipotermia menyerangnya.

Penyesalanku benar-benar tiada akhir...
Mengapa aku membawanya ke gunung padahal dia belum begitu kuat. Mengapa aku harus tetap berangkat padahal aku kelelahan sehingga tak mampu membawanya turun ke ketinggian aman.

Dan...
Penyesalanku yang terbesar adalah....
Mengapa selama ini aku tidak pernah menyadari bila dia begitu baik dan perhatian. Mengapa selama ini aku tak merasakan dia adalah segalanya.

Dan mengapa dia terasa lebih indah setelah semuanya pergi....?

Arsip Fiksi


Read More

Seorang Teman

Adalah seorang teman. Sebut saja namanya Nunu. Usahanya gulung tikar karena kepolosannya dalam berbisnis dan tertipu sampai akhirnya hutang ratusan juta yang tersisa. Temanku itu berusaha sekuat tenaga menutup semua beban yang sebenarnya bukan tanggungan dia.Dia lari dari satu tempat ke tempat lainnya mengikuti jalan rejekinya hanya untuk bisa segera bangkit dari keterpurukan.

Istrinya, sebut saja Rara yang setia pun turut serta mencari nafkah untuk menopang kehidupannya sehari-hari dengan seorang anaknya. Diapun berharap sang suami bisa bergerak lebih cepat agar semuanya tertutup dan bisa memulai segala kehidupannya dari titik nol.

Setahun berlalu. Segalanya mulai berubah. Sang suami mulai letih dengan kucuran keringatnya yang hasilnya selalu habis entah buat siapa. Sang istri pun mulai jenuh dengan kesibukan yang sebenarnya bukan tanggungjawabnya. Sementara belaian sayang dari sang suami jarang sekali dia terima karena jarak memisahkan.

Pucuk dicinta ulam tiba.
Datang uluran tangan disertai senyum manis dan janji-janji indah dari seseorang pada Rara. Bagai orang kehausan di gurun gersang, godaan-godaan itu akhirnya mampu menggoyahkan hati Rara. Perlahan-lahan dia mulai belajar mengikis bayangan Nunu yang masih saja terus mengejar ketertinggalannya.
Sampai akhirnya suatu saat Nunu pulang dan mendapati istrinya telah pergi. Diraihnya Rio, anak semata wayang yang menatapnya sayu sembari bertanya "ibu dimana ayah?"

Nunu tidak mengeluh. Biarlah kehidupan berjalan berbeda, "hanya kau asaku dalam hidup, anakku..."

Waktu kembali berjalan. Nunu masih terus berlari mengejar masa depan. Sampai suatu pagi yang cerah, sudut matanya menangkap bayang-bayang Rara di seberang jendela.
Nunu berlari ke depan pintu dengan tatapan haru, membuka hati dan kedua tangan lebar-lebar ingin menyambut sosok ibu dari anaknya.

Rara menepis uluran tangan Nunu lalu memeluk Rio sambil berkata, "Aku ambil anakku..."
"Kenapa?" Nunu sedikit tercekik.
"Aku yang melahirkan dan membesarkan, kau hanya tahu mencari uang tanpa mau tahu lelahnya seorang ibu."
"Aku ayahnya... kau tega meninggalkan anakmu hanya untuk mengejar kesenanganmu... Aku juga memeras keringat untuk anakku..."

"Carilah uang yang banyak untuk anakmu, tapi biarkan aku yang mengasuhnya. Kasih sayang seorang ibu lebih dibutuhkan oleh seorang anak daripada perhatian ayah.."

Rara pun berlalu membawa Rio.Tinggalah Nunu terpekur kehilangan asa. "Haruskan aku setia menantimu kembali..?"

“Tidak perlu, kak.”

Ada suara lembut menyapu kegundahan Nunu. Mata sembabnya berputar perlahan menerpa sosok lembut di depannya.

“Tina..” bisik Nunu perlahan.

Perempuan yang selama ini mengasuh Rio bila Nunu pergi mencari rejeki itu duduk di bangku kayu tak jauh dari Nunu. Seulas senyum teduh menyejukan mengembang di bibir mungil itu.

“Saya tahu yang kakak rasakan” ucapnya. “Saya juga merasa kehilangan Rio.”

“Sudahlah, Tina, bagaimanapun dia ibunya.” Nunu memaksakan tersenyum membuang raut pedih di wajahnya.

“Tapi kan tidak begitu seharusnya, kak. Rio juga lebih bahagia bersama ayahnya.”

Nunu hanya menghela nafas panjang menatap kosong ke ujung jalan. Dan sepasang bola mata indah terus memperhatikan lelaki di hadapannya mencoba memberinya kekuatan pada hati yang terluka itu.

“Kakak tidak boleh sedih, ya. Bangkitlah, kak. Buktikan kakak mampu menunjukan kebersihan hati kakak, paling tidak kepada Yang Di Atas Sana. Percayalah, suatu saat Rio akan kembali kepada kakak.”

“Tapi, saya tak mungkin bisa menghapus Rio dari hidup saya.”
“Kak, beban kakak sekarang ini teramat berat. Jangankan mengendongnya, untuk berdiri saja kakak sudah tidak mampu. Letakkanlah beban itu, kak”

“Tidak mungkin, Tina. Rio adalah sumber harapanku.” Desah Nunu sambil menunduk dalam.

“Kakak..” Tina berucap perlahan. “Hanya sementara, kak. Dengan melepas beban itu, kakak bisa bangkit dan berlari menuju kehidupan baru. Setelah kakak merasa kuat, kembalilah. Ambil beban itu dan bawalah serta.”

Nunu terdiam agak lama. Tapi kemudian mengangguk lalu bangkit berdiri. “Baiklah, Tina. Saya akan berusaha untuk itu. Tolong bantu saya, ya..”

“Saya pulang dulu ya, kak.” Tina mengangguk dan ikut berdiri lalu mengulurkan bungkusan tas plastik hitam kepada Nunu. “Ini kak, tadi saya beli makanan buat Rio. Kemarin Rio bilang ingin makan serabi. Buat kakak saja ya”

Tina berjalan menuju rumahnya di seberang jalan. Nunu terpaku menatap perempuan itu sampai lenyap di balik pintu. Ada yang berdesir halus dalam dadanya. “Kamu yang terbaik buat Rio, Tina…”

Tahun berganti. Nunu benar-benar bisa bangkit dari keterpurukannya. Dan semua itu tak lepas dari dorongan dan bantuan moral dari Tina. Sampai akhirnya, Nunu memutuskan untuk menikah dengan gadis pujaannya itu.

Saat itu senja mulai temaram. Langit berhiaskan awan lembayung sepanjang ufuk barat. Nunu duduk berdua bersama Tina membicarakan rencana mereka. Ketika tiba-tiba,

“Ayaaaah…..”

Keduanya tersentak dan sejenak terpaku.

“Rio kembali, kak.” Ucap Tina setengah berteriak.

“Benarkah..?” Nunu masih belum begitu sadar dengan yang didengarnya.

“Ayaaah…” suara itu terdengar kembali.

Nunu bangkit dari keterpanaannya, lalu melompat menuju pintu. “Kamu benar Tina, Rio kembali..”

“Ayah, Rio kangen ayah,”

Nunu memeluk jagoannya erat tanpa mampu bicara sepatah kata. Mata dan hatinya bersimbah air mata bahagia. Sementara Tina pun turut hanyut dalam kebahagiaan itu.

Ternyata ketegaran hati itu bisa menuai kebahagiaan. Buah hatinya kembali di saat keindahan lain sudah menanti.

“Sama siapa Rio pulang?” tanya Nunu setelah emosinya sedikit terkendalikan.

Sebelum sempat Rio menjawab, terdengar suara lemah di ambang pintu.

“Saya kembali, Yah… Maafkan kesalahan saya selama ini. Saya sadar, ternyata yang terbaik buat saya dan Rio hanya ayah.”

“Rara…” Suara Nunu tertahan di tenggorokan.

Rara yang masih berdiri di depan pintu melangkah masuk.

“Ayah masih menerima kami berdua kan, yah..? Demi kebahagiaan Rio, Yah. Demi Rio…”

“Demi Rio…” Aku pun turut mendesah pelan berselimut tanya.

Sidareja 06012008 01:30

Arsip Fiksi


Read More

Selamat Ulang Tahun Kekasih Gelapku

Dua hari menduda, terasa benar capenya mengurus rumah dan anak sendirian. Habis subuh, masak, nyuci, nyetrika baju sekolah lalu mengantar jagoan ke sekolah. Sesudah itu terus bengong. Mau keluar cari rejeki kok cuaca kurang mendukung, ditambah mata berat banget tadi malam habis ngerecovery data hardisk laptop temen yang rusak sampai hampir subuh. Akhirnya nongkrong di depan komputer ditemani secangkir kopi sambil membuka-buka blog yang lama tidak ditengok.

Istri pergi ke rumah temannya yang sedang punya gawe di luar kota. Sialnya ponsel istriku ketinggalan di rumah sehingga aku tidak tahu kapan dia pulang. Yang bikin lebih jengkel, istriku tidak nelpon dari wartel atau nebeng SMS pakai ponsel teman.

Belum begitu lama, ada SMS masuk…
“Ah…. OSIS iseng itu lagi…”pikirku

Memang sudah dua hari ini aku kebanjiran dari seseorang yang aku sendiri tidak kenal tapi mengaku dari SMA 1 kelas XI. Awalnya ingin kenalan dan katanya suka memperhatikan aku kalau pas ngobrak-abrik komputer di warnet. Semula aku cuek saja, tapi sepertinya tuh cewek pantang mundur banget.

Ada satu SMS yang sedikit menarik buat aku. “Pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang, aku dah sayang masa sih ga boleh kenal..?”

Buset dah…. Lalu aku jawab begini, “Ke sesama manusia kan harus sayang, masa harus berantem…”

Eh… dijawab sekali malah keterusan SMSnya, pakai mengajak jalan segala. Aku bilang “apa tidak pernah lihat jagoanku suka ikut nongkrong di warnet, aku sudah tua, nduk…

Malah dijawab “Mendingan yang dewasa, bisa ngemong (ngasuh)”

SMS-SMS lanjutannya kalo tidak salah bunyinya begini :
“Aku punya istri satu saja ga habis-habis, nduk… boro-boro pengen nambah”
“Aku belum pengen diperistri kok, masih sekolah”
“Jalan kamu tuh masih panjang…. Nikmatilah masa muda dengan positif”
“Kan laki-laki lebih suka sama daun muda? Bisa memberi efek yang positif.”
“Tapi aku punya prinsip, teman hidup cukup satu. Kebanyakan aplikasi terinstal bisa bikin otak hang…”
Walah… Diserang terus, aku malah mulai error nih. Tata bahasaku mulai ngacak kemana-mana. Jangan-jangan aku hang beneran nih. Apalagi setelah SMS jawabannya begini bunyinya.
“Sebelum hang, ya diupgrade dong ke versi 2.0…Tampilan lebih fresh dan kinerja lebih oke. Versi 1.0 kan suka banyak bugnya.”
“Tapi gimana ya. Aku punya aplikasi paling penting di dunia. Child 1.0 yang cuma kompatibel dengan Wife 1.0. Tidak bisa pakai Widow segala versi, apalagi Virgin yang rentan virus”
“Ga masalah, Virgin versi 2.0 kan bisa multiuser sharing asal statusnya hidden.”

Walah-walah… aku malah bingung sendiri. Setelah itu aku kembali cuek. Walau kadang kepikiran kata-kata teman, “Tidak apa-apa kok iseng sedikit buat hiburan…” Duuuh…

Lagi pusing memikirkan itu, anak sebelah rumah malah nyetel musik kenceng banget, lagunya Ungu.
Andai Kau Tahu…..
Demi Waktu…
Para Pencarimu…
Dari Satu Hati…
Tercipta Untukku…
Kekasih Gelapku…

Belum tamat lagu terakhir.. 
Preeeet… Listrik mati. 
Puaaaaassss….. loe..!!!! Teriakku tanpa sadar, tapi dalam hati.

Lagi pusing, malah jadi bengong mendengarkan lagu cengeng. Kayak anak muda saja. Cuman…
Kayaknya asyik juga ya… Bagaimanapun rumput tetangga suka kelihatan lebih hijau daripada di halaman rumah sendiri. Tapi… apakah kekasih gelap tidak akan bikin hidup kita jadi ikutan gelap nantinya..?

Huuuh… aku mengeluh panjang. Godaan itu ditambah provokasi teman sedikit banyak membuat aku mulai berfantasi. Tokek di sudut rumah bernyanyi seolah tahu isi hatiku. Dan ajakan paduan suara itu aku ikuti dengan semangat
“Sikat..”
“Jangan..”
“Sikat..”
“Jangan..”

Saat aku cengar-cengir sendiri membayangkan sesuatu, ponselku berbunyi. Kali ini bukan SMS, tapi panggilan. Ya ampun… calon kekasih gelapku tahu keinginanku. Sambil nyengir kuda sigap kuambil ponsel itu. Yess… kutekan sekuat tenaga sambil menyiapkan senyum seindah mungkin.

Suara merdu terdengar diujung speaker mungil.
“Yah… selamat ulang tahun ya… Ibu sudah hampir sampai nih, bawa hadiah istimewa buat ayah… Tapi ibu beli HP baru kemarin sama nomornya. Pergi tidak bawa HP rasanya aneh sih. Ayah harus ganti lho… Soalnya yang buat beli HP kan anggaran dapur bulan ini”

Setelah itu aku tidak tahu harus berkata apa…



Read More

24 April 2008

Aku Adalah Aku

Sepanjang hidup, aku selalu berkeinginan untuk menjadi diri sendiri. Namun pada kenyataannya banyak orang yang memaksaku menjadi orang lain. Dan anehnya aku seringkali merelakan pelacuran itu terjadi walau lebih tepat aku sebut itu sebagai pemerkosaan atas harkat dan martabatku sebagai manusia bebas.

Hanya saja aku tetap manusia yang memiliki hati. Saat hatiku terpaut dan dibawa pergi, aku seolah tak mampu untuk berbuat apa-apa. Ketiadaan hati dalam hidup membuatku semakin bisa berpikir rasional untuk merebut pengisi dadaku itu.

Kenapa harus dengan melacurkan harga diri..? Karena hati pula jawabnya. Saat hati telah melekat erat di hati yang lain bagai benalu, tak mungkin dicabut begitu saja dengan sebuah pemberontakan tanpa ada luka. Hanya dengan membuat diri menjadi hina, parasit itu bisa dicampakkan inangnya dengan segera tanpa ada rasa pedih atau kehilangan.

Berat dan menyakitkan memang.
Tapi aku adalah laki-laki. Makhluk yang seringkali disebut tak punya hati. Apalah artinya sekeping hati buatku, bila itu tiada berharga di dunia keras ini. Yang aku butuhkan hanyalah sepasang tangan dan kaki di bawah kendali rasionalitas isi kepalaku.

Walaupun begitu, hati tetap bermakna. Disaat aku dipaksa tanpa beban ada hati yang tersakiti. Aku bisa berontak. Seperti hari-hariku belakangan ini.

Aku tetaplah manusia yang butuh improvisasi, butuh kreasi dan butuh penghargaan diri. Di kala aku harus menjadi seonggok besi berjalan yang musti siap sedia tanpa boleh menyela, aku tak bisa tetap diam.

Akhirnya pertengkaran dan pertengkaran yang ada. Aku tak peduli siapa yang aku berontak. Aku bukanlah kuda gigit besi. Aku tetap inginkan kebebasan untuk mencapai tujuan. Silakan tunjukkan sasaranku, aku akan berlari sekuat tenaga menurut caraku sendiri. Tak bisa aku didikte seperti kerbau dicocok hidungnya.

Dan agaknya, keputusanku makin membulat. Mungkin hanya sampai akhir bulan ini aku bertahan disini. Aku tetap pada pendirianku sejak dahulu. Di saat semuanya sudah tidak memungkinkan lagi, aku harus segera pergi. Hijrah, kalau menurut kata Sang Nabi. Aku tak akan peduli aku kehilangan semuanya yang pernah aku miliki disini. Toh itu semua bisa aku dapatkan lagi suatu saat. Walau tak ada kesempatan yang datang dua kali, tapi pasti akan ada yang namanya pengganti.

Untuk apa aku pertahankan sebuah keindahan bila aku lebih banyak tersiksa oleh yang lainnya disini. Waktu berjalan, air mengalir, matahari beredar, dunia berubah, kenapa aku harus diam. Bergerak, bergerak dan bergerak. Persetan dengan semuanya. Aku akan dapatkan yang lebih dari yang aku miliki sekarang. Yakin, yakin dan yakin.

Dunia tak selebar daun kelor kata orang. Kenapa aku harus menjadi katak dalam tempurung kalau sebenarnya aku mampu melompat. Yang pasti aku mau hidupku. Aku tetap ingin menjadi diriku sendiri. Terserah orang menganggap hidupku enak, aku tak akan pernah menganggap orang lain lebih bahagia dari aku. Karena buatku, kebahagiaan bukan melihat atau meniru orang lain. Tapi melihat dan berpikir untuk diri sendiri. Tanpa kendali orang lain.

Tapi jangan takut. Masih ada waktu beberapa hari untuk kita bersama berjabat tangan saling memafkan. Tapi jangan harap aku bertahan. Aku tak ingin terbelenggu. Aku takkan menangis. Tertawa lebar aku mengucap selamat tinggal Jakarta...

Semoga segala keindahan dan kebahagiaan yang kau janjikan abadi untukmu sendiri. Aku takkan merasa iri. Akupun tak mau bermimpi. Aku tetap akan pergi walau belum ada tujuan pasti. Cilacap, Jokja, Bandung, Surabaya atau Belanda..?

Kemanapun aku melangkah, aku akan tetap bisa hidup. Selama aku masih tetap menjadi diri sendiri.

... be my self

angsakecil menjelang pelarian...
Read More

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena