24 April 2008

Aku Adalah Aku

Sepanjang hidup, aku selalu berkeinginan untuk menjadi diri sendiri. Namun pada kenyataannya banyak orang yang memaksaku menjadi orang lain. Dan anehnya aku seringkali merelakan pelacuran itu terjadi walau lebih tepat aku sebut itu sebagai pemerkosaan atas harkat dan martabatku sebagai manusia bebas.

Hanya saja aku tetap manusia yang memiliki hati. Saat hatiku terpaut dan dibawa pergi, aku seolah tak mampu untuk berbuat apa-apa. Ketiadaan hati dalam hidup membuatku semakin bisa berpikir rasional untuk merebut pengisi dadaku itu.

Kenapa harus dengan melacurkan harga diri..? Karena hati pula jawabnya. Saat hati telah melekat erat di hati yang lain bagai benalu, tak mungkin dicabut begitu saja dengan sebuah pemberontakan tanpa ada luka. Hanya dengan membuat diri menjadi hina, parasit itu bisa dicampakkan inangnya dengan segera tanpa ada rasa pedih atau kehilangan.

Berat dan menyakitkan memang.
Tapi aku adalah laki-laki. Makhluk yang seringkali disebut tak punya hati. Apalah artinya sekeping hati buatku, bila itu tiada berharga di dunia keras ini. Yang aku butuhkan hanyalah sepasang tangan dan kaki di bawah kendali rasionalitas isi kepalaku.

Walaupun begitu, hati tetap bermakna. Disaat aku dipaksa tanpa beban ada hati yang tersakiti. Aku bisa berontak. Seperti hari-hariku belakangan ini.

Aku tetaplah manusia yang butuh improvisasi, butuh kreasi dan butuh penghargaan diri. Di kala aku harus menjadi seonggok besi berjalan yang musti siap sedia tanpa boleh menyela, aku tak bisa tetap diam.

Akhirnya pertengkaran dan pertengkaran yang ada. Aku tak peduli siapa yang aku berontak. Aku bukanlah kuda gigit besi. Aku tetap inginkan kebebasan untuk mencapai tujuan. Silakan tunjukkan sasaranku, aku akan berlari sekuat tenaga menurut caraku sendiri. Tak bisa aku didikte seperti kerbau dicocok hidungnya.

Dan agaknya, keputusanku makin membulat. Mungkin hanya sampai akhir bulan ini aku bertahan disini. Aku tetap pada pendirianku sejak dahulu. Di saat semuanya sudah tidak memungkinkan lagi, aku harus segera pergi. Hijrah, kalau menurut kata Sang Nabi. Aku tak akan peduli aku kehilangan semuanya yang pernah aku miliki disini. Toh itu semua bisa aku dapatkan lagi suatu saat. Walau tak ada kesempatan yang datang dua kali, tapi pasti akan ada yang namanya pengganti.

Untuk apa aku pertahankan sebuah keindahan bila aku lebih banyak tersiksa oleh yang lainnya disini. Waktu berjalan, air mengalir, matahari beredar, dunia berubah, kenapa aku harus diam. Bergerak, bergerak dan bergerak. Persetan dengan semuanya. Aku akan dapatkan yang lebih dari yang aku miliki sekarang. Yakin, yakin dan yakin.

Dunia tak selebar daun kelor kata orang. Kenapa aku harus menjadi katak dalam tempurung kalau sebenarnya aku mampu melompat. Yang pasti aku mau hidupku. Aku tetap ingin menjadi diriku sendiri. Terserah orang menganggap hidupku enak, aku tak akan pernah menganggap orang lain lebih bahagia dari aku. Karena buatku, kebahagiaan bukan melihat atau meniru orang lain. Tapi melihat dan berpikir untuk diri sendiri. Tanpa kendali orang lain.

Tapi jangan takut. Masih ada waktu beberapa hari untuk kita bersama berjabat tangan saling memafkan. Tapi jangan harap aku bertahan. Aku tak ingin terbelenggu. Aku takkan menangis. Tertawa lebar aku mengucap selamat tinggal Jakarta...

Semoga segala keindahan dan kebahagiaan yang kau janjikan abadi untukmu sendiri. Aku takkan merasa iri. Akupun tak mau bermimpi. Aku tetap akan pergi walau belum ada tujuan pasti. Cilacap, Jokja, Bandung, Surabaya atau Belanda..?

Kemanapun aku melangkah, aku akan tetap bisa hidup. Selama aku masih tetap menjadi diri sendiri.

... be my self

angsakecil menjelang pelarian...

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena