Saya masih teringat teman saya di Belanda yang ngotot minta dikirim pete gara-gara saya posting gambar pete bakar di salah satu blog saya. Pete seharga 20 ribu itu oleh DHL dikenai ongkos kirim 1,4 juta. Weeeeh... untungnya kiriman ditolak dengan alasan harus masuk karantina. Kalau tidak, kebayang engga sih saat mereka makan pete seharga hampir 1,5 juta itu..?
Trus saya nemu tulisannya pak Nukman Luthfie tentang kesulitan memasarkan produk untuk kaum hawa secara online. Ini menarik karena tempat kerja saya juga memproduksi busana muslim yang didominasi produk busana muslimahnya dan sekarang sedang memulai pemasaran secara online melalui manetvision.com.
Menurut pak Nukman, hambatan utama dari pemasaran produk kaum hawa secara online adalah :
Pertama, statistik menunjukkan bahwa 80% pengungguna Internet adalah pria.
Di Amerika Serikat, prosentase pengguna internet perempuan sudah melampaui pria. Di Indonesia, sebaliknya. Pengguna perempuan hanya sekitar 20% total pengguna Internet. Tentu saja, dengan pangsa pasar yang relatif kecil ini, diperlukan usaha yang ekstra agar bisa berhasil menjual barang-barang yang dikhususkan untuk kaum Hawa. Cara-cara biasa tidak akan mempan.
Kedua, aksesoris perempuan bukan termasuk jenis barang yang mudah dibeli online.
Barang-barang yang laku dijual via Internet memiliki beberapa ciri khas: tidak perlu dicoba, tidak perlu disentuh, tidak perlu dibaui, dan tidak perlu disentuh. Cukup hanya dengan membaca keterangan dan melihat gambarnya pengguna internet dapat memutuskan untuk beli atau tidak. Barang-barang tersebut adalah:
1. Barang digital: lagu, ringtone, whitepaper, foto, hasil riset, dan sejenisnya.
2. Komputer, Handphone dan keluarganya
3. Buku dan barang-barang khusus berbasis hobi.
Aksesoris kaum hawa tidak masuk dalam daftar tersebut saat ini. Sepemahaman saya, perempuan cenderung mencoba barang berulang-ulang sebelum membeli. Dua hal di atas, tipisnya pangsa pasar serta jenis barangnya, mempersulit kesuksesan penjualan aksesoris perempuan.
Kendala yang lain, ya seperti kisah tentang pete itu. Dengan memasarkan secara online produk dapat dilihat di seluruh dunia. Ini tak menutup kemungkinan menarik minat pembeli dari luar negeri yang kadang terbentur dengan masalah ongkos kirim. Agaknya sedikit aneh bila produk senilai ratusan ribu harus dikenai biaya kurir sampai jutaan.
Salah satu pemecahannya antara lain dengan memilih segmen pasar yang bersifat menengah ke atas. Apalagi bila mengingat pengguna internet di Indonesia masih didominasi oleh golongan itu. Dan berita baik lainnya adalah kaum hawa golongan itu sudah mulai kekurangan waktu untuk belanja secara tradisional mengingat sejak pagi sampai sore hari lebih banyak berada di kantor dan duduk di depan komputer dengan internetnya.
Untuk itu produk harus diusahakan seunik mungkin dan selalu up to date. Soalnya pangsa pasar yang itu biasanya sangat kritis dengan masalah penampilan dan image individu. Penjajagan keinginan pasar sangat diperlukan, mengingat konsumen sekarang sudah tidak mau lagi digeneralisir dan menerima apa saja yang disodorkan produsen tanpa melihat profil pribadi dan melibatkan emosi mereka.
Strategi lainnya bisa diterapkan seperti telah berjalan di Manet Busana Muslim, dimana pemasaran online sepenuhnya didukung oleh jaringan pemasar offline. Penjualan online sistem grosir dapat membantu kendala timbulnya keengganan konsumen berbelanja karena beban ongkos kirim itu. Apalagi sebagian besar perusahaan jasa kurir menerapkan pembulatan ke atas berat barang perkilogram. 1,1 kg tetap dihitung 2 kg. Mungkin bisa saja dibuatkan batas pembelanjaan minimal, tapi apakah semua konsumen benar-benar perlu untuk belanja banyak?
Pembentukan jaringan-jaringan pemasar offline di daerah-daerah sangat membantu sistem online ini. Memang ini menekan nilai keuntungan dengan harus terbaginya margin laba dengan reseller. Tapi ini lebih baik daripada kita kehilangan banyak konsumen yang masih akrab dengan sistem tradisional.
Kendala lain yang lumayan berat adalah menjaga kualitas produk. Katalog atau barang yang dipajang di website selalu melalui proses retouch dengan software grafis yang seringkali benar-benar mampu menarik konsumen untuk membeli. Tapi setelah barang diterima, konsumen kecewa melihat kenyataan terlalu jauh perbedaannya denga tampilan di website. Ini sangat merugikan untuk kelangsungan hidup pemasaran kita. Mengingat efek domino yang bisa timbul akibat cerita tentang kekecewaan itu beredar dari milis ke milis dan dari blog ke blog.
Bagaimanapun juga konsumen tetap lebih percaya kepada teman dekat atau teman ngeblognya sebagai acuan referensi daripada iklan. Walaupun ini bisa berpengaruh positif terhadap penjualan bila kita benar-benar mampu menjaga kepercayaan konsumen. Cerita tentang kepuasan konsumen terhadap produk dan palayanan kita akan cepat menyebar ke seantero jagad maya.
Tapi jangan sampai merasa kalah sebelum berperang.
Berani mencoba dan selalu kreatif sepertinya kunci utamanya...
Arsip Angsakecil
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih