25 April 2008

Satrio I

S A T U

“Assalamu’alaikum…”

“Walaikumsalam..” jawabku sambil melompat menuju pintu. Kulihat ayah mengulurkan kedua tangan dan langsung mengangkatku tinggi-tinggi seperti biasanya. Aku digendong ke dalam rumah dan diciuminya.

Dan pertanyaan wajib yang selalu ayah tanyakan setiap kali pulang kerja segera keluar, “Mamas ngapain di sekolahan?”

Kadang aku bosen dengan pertanyaan yang tak pernah berubah itu. Tapi kalau aku tidak segera menjawab, ayah pasti akan terus menanyakan itu sebelum bicara topik lainnya. Pasti itu…

“Ngajinya sudah Iqro 4, yah. Trus, sempoa Rio dapat bintang. Malah sama ustadzah tadi disuruh maju ngajarin temen-temen”

Senyum ayah melebar, lalu memegang telapak tanganku, mambaliknya untuk melihat punggungnya. “Hei, kok engga ada nomernya..?”

“Tadi ketahuan ustadzah Rio bobonya bohong-bohongan.”

Ayah memencet hidungku. Aku tertawa ngakak. Di sekolahku memang seperti itu. Setelah makan siang dan jamaah shalat dzuhur, murid-muridnya harus tidur siang. Yang tidur pertama, di punggung telapak tangan akan dikasih angka satu oleh ustadzah. Yang kedua ya angka dua. Begitu seterusnya.

Nanti pas jam pulang, satu persatu disuruh maju hafalan juz amma atau doa-doa harian sesuai urutan angka di punggung tangan itu. Kalau sudah betul doanya langsung pulang. Makanya yang tidurnya telat atau doanya masih salah-salah, pulangnya belakangan.

“Kenapa mamas engga bobo, sayang?”

Aku cuma nyengir.

“Eh, ditanya kok malah mringis?” desak ayah.

“Habisnya kesel sama ustadzah, yah. Masa pelajaran menggambar ga dikasih bintang..?”

“Pasti mamas menggambar tank sama pesawat lagi…”

Tebakan tepat. Tadi memang disuruh menggambar pemandangan. Tapi aku kan tidak suka. Aku lebih suka menggambar tank, pesawat atau bom seperti yang ada di game komputer aku. Belum pernah sekalipun aku menggambar yang lain. Sampai ustadzah pernah memanggil ayah menanyakan hobi menggambarku itu.

“Mamas nakal tuh, yah…” terdengar suara bunda dari ruang belakang sambil berjalan ke arah kami. Bunda bersalaman dan mencium tangan ayah. Ayah balas mencium kening bunda dan menggendongku ke teras belakang. Bunda menyusul setelah menggambil segalas air putih dingin buat ayah.

Teras belakang adalah tempat favorit kami di rumah mungil yang bertengger di atas selokan ini. Mungkin ini sama dengan ruang tengah atau ruang keluarga kalau di rumah orang lain.

Rumah kami memang hanya satu meter dari jalan raya dibuat panggung di atas selokan dan kata ayah kami menyewa di atas tanah PJKA. Rumah kecil untuk ukuran hidup di desa berukuran 6 x 6 meter dibagi dua. Ruang depan dibagi lagi menjadi dua secara permanen. Separo dipakai wartelnya mbah kakung yang separo menjadi ruang tamu yang masih disekat pakai tripleks untuk kamarku.

Ruang belakang juga dibagi dua disekat pakai lemari baju dan gorden untuk kamar ayah dan bunda, sisanya dipakai dapur dan kamar mandi. Di belakang rumah ada teras sepanjang dinding rumah dengan lebar satu meter. Sebelah kiri pintu belakang ditutup bilik bambu dan diberi atap untuk tempat kerja ayah kalau pas di rumah. Dan teras sebelah kanan menjadi tempat kumpul keluarga setiap sore.

Halaman belakang yang tidak begitu luas dipagari bambu dan pohon singkong yang tidak terlalu tinggi karena daunnya sering dipetik bunda untuk sayur. Diluar pagar membentang rel kereta api Bandung Jogjakarta dan di seberangnya ada hamparan sawah dengan latar belakang pegunungan rimbun hutan karet.

Kehidupan sederhana yang bahagia menurut otak kecilku. Setiap pagi kami memulai hari dengan berjamaah subuh. Bunda memasak, ayah mencuci, aku nonton tivi. Setelah mandi, ayah sarapan dan aku disuapin bunda. Berangkat sekolah kadang aku diantar ayah, kadang bunda, kadang ikut ustadzah dan tidak jarang dititipkan angkot.

Siang hari, aku disekolah dan ayah kerja. Bunda mungkin banyak kesibukan di rumah sampai aku pulang sekolah jam tiga sore. Saat aku pulang, biasanya teman-teman sudah menunggu di depan rumah mengajak bermain. Kalau bunda lagi kelihatan baik banget, aku dan teman-teman suka main di selokan atau main lumpur di sawah. Tapi kalau bunda keningnya sedikit berkerut, paling banter aku main komputer di rumah.

Ayah pulang kerja menjelang maghrib tapi kadang sampai aku tidur belum pulang. Aku paling suka kalau ayah pulang masih siang, berarti aku ada teman buat perang-perangan di Ghost Recon atau Counter Strike. Atau kalau lagi malas main game, ayah suka bisa mengajari aku menggambar pakai CorelDraw atau isengin foto bunda di Photoshop.

Sesudah jamaah shalat maghrib dan makan malam aku seringnya ngaji dan belajar sama bunda. Ayah suka sibuk sih di kantor keduanya di belakang rumah membetulkan komputer orang yang suka diantar ke rumah. Kadang-kadang ayah yang membantu aku belajar kalau ayah sedang tidak ada pekerjaan dan bunda sedang sibuk melihat sinetron.

Aku lebih suka belajar atau ngaji sama ayah. Katanya sih ayah itu pernah ikut pelatihan militer walaupun bukan tentara. Mungkin diajarin jadi hansip kali ya? Jadinya ayah jadi terbiasa bergerak atau bekerja cepat. Makanya kalau ngaji dengan ayah pasti cepat selesai. Lain kalau sama bunda. Baca “Ulaaa ika”, ula-nya kurang panjang saja harus mengulang lagi dari depan. Idhom, Qolqolah dan lain-lainnya harus benar-benar pas. Bundaku memang cerewet.

Hari sabtu dan minggu sekolahku libur. Aku sering meminta ayah untuk pulang siang biar kami bisa jalan-jalan ke Onno Swalayan, satu-satunya toko besar terdekat yang aku tahu. Aku suka mandi bola disana, ayah nongkrong di tempat buku dan bunda jadi setrikaan bolak-balik kesana kemari tapi tidak ada yang dibeli.

Kalau cuaca bagus kami bertiga main layangan. Ayah selalu main pertama bagian menerbangkan layang-layang. Kalau sudah tinggi aku rebutan memegang benang dengan bunda. Aku suka main sangkutan biarpun suka nangis kalau kalah dan layanganku putus. Bunda juga suka main sangkutan, tapi disangkutkan ke pohon.

Paling senang kalau liburan panjang. Aku bisa mainan pasir seharian di pantai atau pergi kolam renang. Ayah berenang dan aku naik ke punggungnya. Bunda tidak pernah mau nyebur, paling banter duduk-duduk di tempat jajanan. Kalau bunda bilang sih tidak boleh pamer aurat, tapi kalau kata ayah bunda renangnya gaya batu.

Pokoknya aku bahagia banget menjalani masa kecil di keluarga ini.

------------------------------------------

“Eh, kata bunda Mamas nakal ya..?” tiba-tiba ayah menanyakan itu ketika aku menonton tivi setelah ngaji dan belajar.

“Siapa bilang, yah? Bunda bohong tuh,” jawabku pelan takut bunda dengar.

“Anak soleh tidak boleh bohong,” ayah mendesak lembut.

Belum sempat aku menjawab, malah bunda muncul dari belakang seusai mencuci piring. Melihat gelagat kurang menguntungkan, aku keluar rumah mencari perlindungan ke mbah kakung. Eh mbak kakung tidak ada di wartel.

Aku masih celingukan mencari-cari, ketika bunda menangkap tanganku. “Hei, mau kabur kemana ya…?”

“Enggak kok. Cuman nyariin motor ayah, kok tidak ada sih, bun?” Aku mencoba ngeles tapi tak bisa berbuat apa-apa waktu diseret ke dalam rumah. Sebelum ayah menginterogasi aku lebih jauh, aku nanya duluan. “Yah, ayah pulang pakai apa, kok motornya tidak ada?”

Kulihat ayah terdiam sejenak, lalu melirik ke bunda. Bunda juga diam, malah kelihatan menarik nafas panjang. Waduh, gawat nih. Jangan-jangan ayah marah nih. Pelan-pelan aku duduk di samping ayah sambil menundukkan kepala.

Ayah malah mengusap kepalaku, “Mamas bobo dulu ya, sudah malam. Besok kesiangan shalat subuhnya.”

“Lho, ayah kenapa?” pikirku heran. Tapi daripada soal aku baju sekolahku kotor habis berantem di sekolahan dibahas lagi, mendingan aku nurut masuk kamar. Cuma, namanya juga belum ngantuk, susah juga dipaksa merem.

Cukup lama aku pura-pura tidur sementara kedua orang tuaku asyik dalam diam menyimak acara tivi. Sampai akhirnya aku mendengar mereka bicara pelan-pelan tapi cukup untuk bisa aku dengar walau samar-samar.

“Jadi dijual motornya, yah?” bunda yang mendahului memecah kesunyian.

“Tidak, bun. Cuma aku gadaikan ke teman.”

“Apa cukup, yah?”

“Ya kurang sih. Tapi sayang lah kalau dijual. Untuk kekurangannya, biar nanti ayah coba cari pinjaman. Bunda yang sabar, ya…”

“Insya Alloh, yah. Toh untuk antar jemput mamas masih ada motor bunda.Ayah bisa pakai juga buat berangkat kerja”

Terdengar ayah menarik nafas dalam. “Iya. Tapi bagaimana dengan bunda?”

“Yah…” kedengarannya bunda berkata sambil tersenyum. “Bunda kan paling butuh buat ke pasar apa main ke rumah teman. Pakai saja lah, yah… Itung-itung buat ngurangin dosa kalo ngegosipnya libur. Engga apa-apa kok…”

“Bun…” lirih banget suara ayah hampir tak terdengar.

“Sudahlah, yah…”

Setelah itu tak terdengar lagi ada yang berkata-kata. Malah tivi dimatikan dan bunda masuk ke kamarku membetulkan selimut sembari mencium keningku. Terdengar suara pintu depan dikunci lalu ayah masuk ke kamarnya disusul bunda, sementara aku tetap saja belum bisa bobo. Huuuh… ngapain mereka..?

------------------------------------------

Esok harinya aku sekolah diantar dan dijemput oleh ayah pakai motor bunda. Sebelum pulang ayah mengajakku ke servis dan kursus komputer tempat ayah kerja. Aku duduk di sofa sambil menunggu ayah bongkar-bongkar lemari entah mencari apa.

“Yah, kok tokonya ditutup sih,” tanyaku ketika ayah duduk di sebelahku membuka-buka map berisi kertas-kertas banyak banget.

Ayah menoleh sebentar, “Ditutup dulu sebentar, mas. Mau diperbaiki dulu sistemnya.”

“Memang komputernya rusak semua ya, yah?”

“Engga. Kan komputer juga perlu istirahat.”

“Kok om Hadi sama tante Iin tidak kerja?” tanyaku lagi. Aku memang suka gitu kalo bertanya. Makanya bunda sama mbah uti suka bilang aku cerewet. Cuma ayah dan mbah kakung yang selalu menjawab terus kalau aku terus-terusan bertanya.

Kan sama, mas. Mereka juga butuh istirahat. Kasihan, cape kerja terus.”

“Kok ayah, engga istirahat. Ayah berangkat terus.”

Kan ayah banyak urusan, mas.”

“Kalau banyak urusan engga boleh istirahat ya, yah.? Boleh sampai malam? Rio boleh banyak urusan engga, yah?”

Ayah tersenyum sambil mengacak-acak rambutku, “semuanya perlu, mas. Cuma porsinya lain-lain. Seperti mamas jam delapan harus sudah bobo karena masih anak-anak. Kalau sudah dewasa boleh bobo jam sepuluh. Kita pulang sekarang, yuk.”

Ayah bangkit menumpuk kertas-kertas di meja. Tanganku digandeng keluar ruangan. Sambil berjalan aku ingat motor ayah.

“Motor juga seperti komputer ya, yah. Harus istirahat juga?”

“Ya sama, mas…”

“Kok engga ada sih, ditaruh dimana, yah?”

Ayah mengunci pintu toko dan mengangkatku ke atas motor.

“Dimana, yah?” desakku sambil mengenakan helm.

“Tempat istirahat motor ya di bengkel dong. Kalo komputer lah disini. Kan biar fresh”

Aku manggut-manggut. “Berarti kalau digadaikan itu disuruh istirahat di bengkel ya, yah. Nanti sampai rumah Rio juga mau digadaikan, ah. Cape banget tadi habis lari-lari pas pelajaran olah raga. Kan biar fresh”

Bersambung...

Arsip Fiksi

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena