15 April 2008

Kesunyian Jiwa

Aku dilahirkan menjadi seorang laki-laki. Tapi mengapa aku tak pernah diberi kesempatan untuk menjadi seorang Maximus yang mencari kebenaran atas dendam kematian keluarganya. Menjemput maut di tengah Coloseum yang teramat megah dengan segala pembalikan atas penghinaan dan kekejian yang pernah diterimanya.

Mengapa aku hanya seorang pecundang yang harus bertekuk lutut dihadapan seseorang yang sakit jiwa. Untuk menyelamatkan sebuah harapan, kenapa bukan dengan cara bertarung sebagai pejantan tangguh. Sedu sedan dan bersimpuh untuk asa sia-sia adalah kepedihan yang paling menyakitkan untuk harga diri makluk yang bernama laki-laki.

Tapi di saat tak ada pilihan lain, apa yang bisa aku lakukan..? 

Walau penemu gravitasi mengatakan kebenaran adalah sumber kesunyian. Adakah manusia yang bisa bertahan dalam sepi hati sepanjang waktu. Kesunyian alam adalah sumber inspirasi. Namun kesunyian jiwa sungguh bukan tempatku...

Descartes pernah menyuruh kita untuk tidak bertengkar tentang infinitas. Tapi di saat ketidakberhingaan itu harus aku jalani haruskan aku berteriak sendiri di gurun tandus ini. Sifatku yang finite membuat sangat aneh bila aku menentukan apapun yang berkaitan dengan ketakberhingaan. Karena dengan itu aku harus berusaha membatasi dan memahami. 

Haruskah aku repot menjawab orang yang menanyakan apakah setengah dari garis tak berhingga dengan sendirinya juga tak terhingga..? 
Apakah bilangan tak berhingga itu ganjil atau genap..? 

Tampaknya tak ada orang yang mau pusing memikirkan hal-hal semacam itu, kecuali orang yang merasa akalnya takterhingga.

Namun kenyataannya...
Walau akalku terkurung dalam keterbatasan, aku kadang dapat memahami dan mengukur masalah infinity. Aku seringkali mencoba merumuskan dengan definisi-definisi dan simbol-simbol yang entah apa artinya. Bagaimanapun infinitesimal adalah bilangan hidup yang masih bernilai walaupun teramat kecil. Jauh lebih kecil dari bilangan terkecil manapun, namun tidak sama dengan nol.

Sekecil apapun harapan aku seringkali masih bisa merasakan walau sekejap. Aku tak mau mengaburkan arti kata indefinity dengan undetermined walau sekilas identik. Seberapa besar angka bisa dihitung, seberapa jauh materi bisa dibagi dan seberapa luas waktu bisa dibayangkan. Perluasan itu buatku tetaplah eternity yang juga tetap infinity.

Hmmm... 
Kenapa otak kesepianku malah terjebak dalam bahasa matematis yang tak pasti?
Aku sendiri juga tak tahu pasti, seperti tidak pastinya ilmu pasti. 

Yang jelas, sudah dua hari ini rasa sepi itu menyengat ujung-ujung hatiku mengingatkanku pada pecahan-pecahan harapan yang hampir sirna di ujung hidupku.

Seperti potongan-potongan frasa pikiran muram Newton memberikan perumpamaan. Temanku yang kecil. Kemiskinanku. Ia pucat. Tidak ada tempat bagiku untuk duduk. Di atas atap rumah. Di dasar neraka. Pekerjaan apa yang cocok baginya. Ia cocok jadi apa. Ia merasa putus asa. Aku akan akhiri semuanya. Aku tak bisa apa-apa kecuali tersedu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Yaaah...
Aku tak tahu bagaimana dunia memandang diriku. Tetapi aku sendiri memandang diriku sebagai seekor angsa kecil yang mengais tanah becek di tepi telaga hanya untuk mencari sepotong cacing tersisa, sementara danau kebenaran seluas lautan tetap tak terjamah olehku.

angsa kecil tercekam dalam sunyi...


2 comments:

  1. om, kkatta katannya biikin meerinding nih.

    BalasHapus
  2. Tulisan tulisan lama begitu keren mengapa sekarang kacau
    Wkwkwkkk

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena