Akhir September...
"Win..." seorang teman menepuk pundakku saat aku sibuk packing carrier. "Lebih baik kamu serahkan tugas ini ke orang lain. Tugas ini tidak terlalu berat. Lia butuh support moral kamu. Ayolah... kita ke Margono sekarang."
Aku diam sejenak lalu menggeleng. "Aku sudah menengok dia kemarin. Aku harus tetap berangkat. Tim kita baru pulang pelatihan, masih lelah. Aku lebih dibutuhkan oleh mereka."
"Tapi Lia lebih penting, Win. Dia pacar kamu. Sedangkan korban yang akan kita cari bukan apa-apa kamu. Jangan egois begitu lah..."
Aku terdiam lagi. Terbayang di pelupuk mata bayangan Lia yang tergolek lemah di ruang ICU RS Margono Sukarjo. Kemarin aku disana menemaninya sepanjang sore. Kondisinya sudah mulai membaik, semangat hidupnya sangat tinggi. Aku yakin kesehatannya akan cepat pulih. Makanya aku langsung mengiyakan ketika aku harus membawa Tim kecilku ke Gunung Sindoro membantu pencarian pendaki yang hilang.
"Heeeh... malah ngelamun." temanku menghardik. "Dah kamu mendingan kesana. Barusan dia manggil-manggil kamu terus. Masa sih kamu tega ninggalin dia. Biar aku yang bawa pasukan ke Sindoro."
Aku berdiri mengangkat tas punggung dan berkata tegas, "Tugas dimulai. Buat barisan bersaf. Yang tidak siap, silakan keluar barisan."
Akupun pergi bersama Tim kecilku. Saat pulang Lia sudah sehat dan ceria seperti biasanya. Dia menyambutku dengan senyum lembutnya yang sempat terlupakan selama seminggu lebih.
"Sukses operasinya, Wins..?" dia mengangkat tangan mengajak tos.
"Berkat doamu, Yang..." jawabku sambil meneruskan membereskan peralatan tempur yang kotor berlumuran tanah. Hampir satu jam aku melakukan itu. Lia terus memperhatikanku sambil duduk di bawah pohon akasia. Aku baru berhenti ketika temanku melemparkan sepatu PDL ke arahku.
"Apa-apaan nih..?" aku bertanya.
Dia malah menyeringai. "Kamu manusia paling tidak berperasaan."
"Apaan sih..?" aku masih bingung. Temanku cuma menoleh ke arah Lia. Aku cuma nyengir sedikit. "Biarin lah, gapapa kok. Dia orangnya setia. Sampai besok pun pasti siap nungguin."
"Wiiin..." Aku diseret ke dalam sekretariat. "Amalia begitu setia ke kamu. Dia selalu selalu baik ke kamu. Tapi dia sakit butuh kamu ada di dekatnya, kamu malah pergi. Sekarang kamu pulang malah cuek begitu. Dia pasti mau ngomong sesuatu, Win...?"
"Ada apa sih..?" makin bengong aku. Temanku itu malah mengambil Buku Induk Anggota dan membuka halamannya lalu menyodorkan kepadaku. Ujung jarinya menunjuk sesuatu. Aku baca...
Masya Alloh, besok dia ultah. Langsung aku lari keluar sambil mendorong jidat temanku pakai ujung jari. "Tengkyu, friend..."
Benar apa yang dikatakan temanku. Lia menanyakan apakah aku melupakan sesuatu. Lalu aku tanya keinginannya.
"Kita ke gunung Slamet, Win..."
Aku termenung agak lama. Aku baru pulang pelatihan, lalu ke Sindoro, dan sore ini harus ke Slamet. Lia sendiri baru sembuh dari sakitnya. Aku tatap wajahnya dalam-dalam. Namun yang muncul justru rasa tak tega melukai hatinya. Terasa sekali selama ini aku jarang membalas semua perhatiannya yang begitu besar terhadapku. Haruskah aku mengecewakannya juga kali ini...?
Aku berangkat siang itu. Dan siapa yang menyangka bila pendakian itu adalah pendakian terakhirnya. Sekaligus hari terakhir kebersamaanku dengannya. Aku tak mampu membawanya turun gunung lebih cepat saat hipotermia menyerangnya.
Penyesalanku benar-benar tiada akhir...
Mengapa aku membawanya ke gunung padahal dia belum begitu kuat. Mengapa aku harus tetap berangkat padahal aku kelelahan sehingga tak mampu membawanya turun ke ketinggian aman.
Dan...
Penyesalanku yang terbesar adalah....
Mengapa selama ini aku tidak pernah menyadari bila dia begitu baik dan perhatian. Mengapa selama ini aku tak merasakan dia adalah segalanya.
Dan mengapa dia terasa lebih indah setelah semuanya pergi....?
Arsip Fiksi
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih