31 Oktober 2011

Persahabatan

Tak terasa sudah sampai lagi ke penghujung Oktober. Dan di bulan ini, sudah dua teman lagi yang pergi dari site karena tak tahan dengan kondisi manajemen toko yang acakadut. Sedih juga setiap bulan harus kehilangan teman-teman becanda melepas segala kepenatan di tengah hutan seperti ini. Lebih sedih lagi kalo ingat mereka yang pergi adalah orang-orang yang selalu memintaku bertahan.

Sudah dua orang manajer HRD yang ngerjain aku agar tidak pergi. Pertama saat aku kabur bulan Maret lalu dan sudah santai di rumah hampir sebulan. Beliau nelpon memintaku kembali dengan berbagai penawaran baru. Tak sampai sebulan aku balik, malah dianya yang duluan cabut.

Sekitar pertengahan tahun ini aku ribut dengan bos dan langsung mengemasi ransel. Tahu aku mau kabur, pasukanku bersumpah setia bilang ikut keluar dari pekerjaan. Juragan HRD yang baru langsung sibuk merayu-rayu agar aku bertahan. Katanya sih dia butuh banget bantuanku di site. Dasar orang tak tegaan, aku pun menyabarkan hati dan batal pergi hanya demi kata persahabatan. Makanya aku empet banget ketika pertengahan bulan ini malah dia yang mengundurkan diri. Lebih enek lagi ketika aku komplen tentang kepergiannya, dia cuman bilang, "elo mau cabut sebenarnya ga begitu gua pikirin. Tapi jangan satu batalyon dibawa semua. Gua yang pusing cari gantinya tau..."

Persahabatan memang ibarat kencing di celana. Semua orang dapat melihatnya, tapi hanya kita sendiri yang dapat merasakan kehangatannya. Dan inilah yang seringkali menjadi dilema. Mudah saja aku berlenggang kangkung pergi dari sini. Tapi kesetiaan beberapa teman membuatku harus berpikir panjang. Apalagi beberapa orang yang aku bawa kesini, sebelumnya mereka dalam posisi kerja. Apakah etis aku tinggalkan mereka, padahal mereka pun bilang akan ikut keluar bila aku mengundurkan diri. Makanya aku jadi pilih-pilih banget kepada beberapa penawaran pekerjaan yang masuk. Yang aku pikirkan bukan cuma soal kerjaan dan gaji saja. Tapi juga kepastian untuk aku membawa serta beberapa teman setia walau mungkin bertahap.

Lagi pula pekerjaanku belum selesai. Aku tak terbiasa meninggalkan pekerjaan setengah jalan. Aku ingin sistem yang kubangun segera tuntas dan bisa implementasi. Sehingga saat aku pergi, minimal aku punya bahan cerita bahwa di perusahaan anu aku bikin anu. Ada kebanggaan tersendiri yang sulit diungkapkan saat aku dengar sesuatu yang aku buat masih dipakai setelah lama aku meninggalkannya.

Atas nama persahabatan dan ambisi itulah yang bisa bikin aku bersabar dengan kenyataan pekerjaanku banyak dihambat. Cuma kadang sebel juga ketika ada teman yang sudah lama cabut menghubungi lewat telpon atau chat. Sudah pasti mereka akan mempertanyakan kenapa aku masih bertahan. Kalo sudah begitu, paling banter aku cuma bilang, "target pekerjaanku kelar kan setahun..."

Menyebalkan dan bikin bete memang. Tapi itulah resiko hidup yang kadang tak bisa kita jalani sekehendak hati. Tak boleh aku menolak saat perputaran roda berada di bawah. Makanya segala kesusahan ini sering aku anggap sebuah pemerkosaan. Saat aku tak mampu melawan, kenapa pula tak mencoba untuk menikmatinya...

Selamat berpulang, teman
Semoga damai telah tega mendahului kita...
Read More

30 Oktober 2011

Tumbal

Suratan tangan di hari minggu tanggal tua. Orang lebih suka ngobrol di mess karena jarang yang ngeluyur ke kota. Namanya dompet lagi kempes-kempesnya, obrolannya lama kelamaan ngaco dan lebih banyak menghayal yang bukan-bukan. Namun ada satu cerita dari karyawan penduduk setempat yang lumayan menarik, yaitu tentang tumbal pesugihan.

Terlepas dari masalah agama atau tahayul, hal-hal klenik semacam itu kirain cuma ada di Jawa yang identik dengan Nyi Blorong atau Nyi Roro Kidul. Ternyata disini pun ada orang yang memuja setan demi kekayaan instan. Teman itu cerita tentang satu keluarga besar yang kaya raya. Dari delapan bersaudara itu yang hartanya berlimpah hanya satu orang. Ketujuh saudaranya hanya lontang-lantung dan semua kebutuhan hidupnya ditanggung oleh si sukses itu. Semua diberikan rumah dan mobil termasuk anak-anaknya.

Aku sempat menepis cerita, karena menurutku membantu saudara yang kurang beruntung itu sesuatu yang wajar. Tapi teman tadi tetap keukeuh dengan gosip yang beredar di masyarakat. Katanya, pada waktu masih sama-sama miskin, semua keluarganya itu sehat wal afiat. Begitu dia mulai kaya mendadak, satu persatu saudaranya mulai bertingkah seperti orang stres sampai sekarang. Katanya mereka memang dibuat setengah gila sebagai tumbal atau kompensasi atas kekayaan yang berlimpah itu.

Jadi ingat waktu aku beberapa tahun tinggal di pedalaman Jawa Barat. Mencari kekayaan dengan cara sesat semacam itu sudah menjadi rahasia umum dan bukan lagi dianggap aib. Tak heran bila sebuah kampung kecil yang terpencil kehidupannya lumayan mewah. Memang tidak semuanya begitu. Yang masih berada di jalan yang benar juga banyak. Kompensasi yang berlaku di pemujaan kampung itu adalah tidak punya keturunan. Makanya disana banyak orang kaya raya tapi tidak punya anak. Setelah orang itu meninggal, ya habislah semua harta kekayaannya itu.

Cerita yang lain aku temukan di daerah pesisir selatan masih di Jawa Barat juga. Ini agak aneh dan susah dimengerti tapi kisahnya memang begitu. Yang berlaku adalah kontrak umur. Misalkan dia teken kontrak selama 10 tahun, dalam jangka waktu segitu dia mendadak kaya raya. Setelah 10 tahun berlalu, dia akan meninggal dan seluruh hartanya juga habis dalam waktu singkat kena berbagai musibah. Mitosnya, sebenarnya dia itu belum mati. Tapi pindah ke alam ghaib jadi kacung di keraton dedemit yang dipujanya sampai batas waktu umur yang sebenarnya. Misalkan dia mati dimakan demit di umur 50 tahun, sedangkan takdirnya mati di umur 60, berarti selama 10 tahun dia berada di alam antah berantah.

Karena sudah umum, kasus-kasus semacam itu sudah tidak ada lagi tetangga yang mempergunjingkan. Toh mereka tidak merugikan orang lain sebagaimana halnya pemelihara tuyul atau babi ngepet. Malah tetangga sebelah kos-kosan pernah mengaku kalo diapun ikutan menggadaikan umur ke setan. Aku sempat tak percaya melihat kehidupannya yang biasa-biasa saja tak seperti orang lain yang wah.

Entah bagaimana awal mulanya, tetangga itu malah jadi curhat tentang prinsip hidupnya. Dia merasa orang bodoh dan miskin, tapi tak ingin anak-anaknya bernasib sama. Karena kondisi ekonominya yang tak memungkinkan, sedangkan dia merasa punya tanggung jawab atas masa depan anak, diapun nekat melakukan itu.

Alasannya kenapa hidupnya tidak dibikin mewah, katanya takut anak-anaknya jadi manja. Dia didik anak-anaknya dengan baik agar menjadi orang yang ulet dan mandiri. Bagaimanapun juga dia tau resikonya. Ketika kontraknya habis, semua kekayaannya akan kembali lenyap. Sebelum saat itu tiba, semuanya disekolahkan setinggi mungkin. Menurut pemikiran dia, hartanya memang akan hilang, tapi apa yang sudah masuk dalam otak anak-anaknya tak akan hilang. Sayang aku hanya setahun di sana dan tak tahu kelanjutan cerita setelah si bapak itu meninggal. Apakah hanya hartanya saja yang musnah atau anak-anaknya juga ikut berubah jadi bego.

Percaya atau tidak, itulah sebuah realita tentang kehidupan manusia yang kadang aneh-aneh di mata manusia lainnya. Aku tak mau menyangkutpautkan cerita ini dengan masalah religi karena pasti akan berbenturan. Mungkin memang banyak cerita lain tentang tumbal pesugihan semacam ini. Namun hanya kisah diatas yang aku lihat dan dengar dengan mata kepala sendiri di lingkunganku. Soal tumbal darah perawan, bayi, tuyul, ngepet dan semacamnya sampai sekarang aku belum pernah temukan apalagi nyobain. Amit-amit dah...

Tumbal pesugihan yang aku lakukan bukannya ngepet, tapi ngempet. Demi menafkahi anak istri, aku harus ngempet si otong karena cuma punya cuti 3 bulan sekali. Pesugihan semacam ini perlu mempersembahkan korban juga. Paling sering tuh korban perasaan. Sekian lama menanti cuti, pas pulang yang rumah palang merah.
Nasibmu sudah menjadi bubur cendol, tong...
Sabar...

#Gambar dari google



Read More

29 Oktober 2011

Latar Belakang

Kerja bersama banyak orang dari berbagai latar belakang memang menyenangkan. Apalagi bila orang-orang itu tidak pelit untuk berbagi isi kepala kepada teman yang lain. Aku yang kemampuannya pas-pasan jadi bisa belajar banyak dari mereka. Namun sebelum kita menyerap ilmu dari teman, ada baiknya kita ketahui latar belakang atau cara mereka memperoleh keahlian. Karena kalo diperhatikan dengan seksama, akan terlihat perbedaan dari cara mereka menyampaikan isi otaknya.

Paling bagus adalah orang lulusan sekolah tinggi dengan nilai baik dan punya pengalaman lapangan lumayan banyak. Tipe ini kerjanya cepat, tepat dan terarah. Kalo hanya  pinter dari sekolahan doang, biasanya cenderung njelimet dengan berbagai teori. Sebelum bertindak saat ada masalah, mereka suka sekali membuat banyak oret-oretan dengan berbagai rumus yang dikuasainya. Memang persiapan pekerjaan jadi lama, namun pekerjaan jadi lebih terarah. Hanya saja, mereka kadang lupa bahwa keadaan di lapangan seringkali berbeda dengan apa yang didapat di bangku kuliah.

Teman tipe ini juga bisa dilihat dari gaya bahasanya yang senang sekali mempergunakan istilah-istilah asing. Pengucapannya pun benar sesuai kaidah bahasa. Tapi buat yang bego kaya, aku kadang perlu waktu agak lama untuk mencernanya.

Jenis kedua adalah mereka yang belajar secara autodidak. Tidak makan bangku sekolahan tapi punya pengalaman kerja lapangan yang cukup banyak. Mereka jarang banget menggunakan perhitungan rumus dengan detail dan kadang hanya menggunakan perasaan atas kebiasaan sebelumnya. Mereka bisa menyelesaikan pekerjaan secara cepat. Namun kalo ditanya kenapa tindakan begini bisa berakibat begitu, kadang mereka tidak tahu dasarnya. Pokoknya kalo mesin ngadat, tendang saja kuat-kuat pasti akan jalan lagi. Kenapa ditendang jadi kembali berfungsi, emang gue pikirin.

Teman tipe ini kadang maksa pakai bahasa asing yang benar secara pengucapan, namun ketika menulis di papan banyak salahnya. Misalnya vendor ditulis fandor, fast moving ditulis vash mooving, dll dll

Jenis selanjutnya adalah tipeku. Orang yang ga makan sekolahan dan juga ga punya pengalaman. Apa yang aku tahu hanya modal baca dari google setiap butuh pencerahan. Akibatnya kalo mau kerja pasti lama karena harus buka-buka browser dan paling parah kalo tidak nemu internet. Kalopun internet dan laptop sudah di tangan, seringkali masih nyempatin ngeblog atau ceting dulu. Makanya pekerja golongan ini suka menuntut gaji gede karena kerjanya makan waktu lama. Juga selalu menuntut fasilitas laptop dan internet walau kerjaannya cuma macul galian kabel.

Dalam penggunaan bahasa asing kondisinya lebih katrok lagi. Karena hanya modal baca, kalo disuruh menulis perkata pasti tepat. Namun dalam hal pengucapan seringkali jadi berantakan. Contoh sederhana adalah ketika aku disuruh belanja server merk ecpi. Setengah mati aku mikirnya karena merasa belum pernah baca ada pabrik komputer bermerk itu. Sampai akhirnya aku nekat ke Mangga Dua dan tanya ke toko komputer. Baru saat itu aku mudeng, kalo ecpi itu adalah hp alias hewlett packard.

"Bilang dong dari tadi. Hape, bos. Hapeee..."
"Buset dah. Punya karyawan pada bego semua..."
"Emang kenapa bos..?"
"Kemaren gua bilang hape, temen elo malah beli henpon..."
Read More

Gosip

Aku tak suka dengan impotaimen atau acara gosip. Selebritis juga manusia yang kehidupannya pasang surut. Makanya suka bingung dengan teman-teman khususnya cewek yang suka ikutan heboh ketika mendengar sesuatu di kehidupan mereka. Ada yang dapat pacaran heboh. Ada yang kawin heboh. Ada yang cerai heboh juga.

Sejauh tidak mengusik ketenangan tidurku di pagi hari sih gapapa. Suka bikin bete kalo staf-staf cewek pagi-pagi dah ribut minta blokir internetnya dibuka dulu karena ada gosip baru. Kalo aku bilang ga boleh buka macem-macem yang bisa ganggu kerjaan, jawaban mereka tak pernah berubah, "kan belum masuk jam kerja, pak." Padahal maksudku bukan soal jam kerja apa engga, melainkan jam 7 atau jam 8 itu masih termasuk jam tidur buat aku.

Beberapa hari belakangan ini juga banyak yang meributkan gosip lagi. Karena keseringan, aku jadi penasaran juga dan ikutan ngintip. Kirain ada berita Esbeye berantem sama Juki Alay. Ternyata tentang Yuni Sara yang putus sama Rafi. Biarpun aku suka lagu-lagunya Yuni Sara, soal kehidupannya aku ga mau tahu. Mau aja teman-teman ikutan heboh padahal ga tahu masalah sebenarnya.

Ga ada yang tahu kan, kalo Yuni Sara tuh pake susuk..?
Makanya dia kelihatan cantik, awet muda dan bisa dapat ABG. Nah, kenapa terus putus sama si Rafi gara-garanya sepele. Setiap 40 hari sekali susuk itu harus diisi ulang atau Yuni kembali ke default factory setting. Biar cinta sudah melekat, kalo melihat artis rasa pembokat, kan mendingan minggat.

Eh sialan...
Aku malah jadi ikutan sesat menebar gosip. Dah ah, mau mandi dulu. Tapi buat yang penasaran dengan penampakannya, monggo diperhatikan dengan seksama.


Keterangan :
Kesamaan nama dan alamat dalam cerita di atas adalah fiktif belaka
Daripada mumet mikirin tanggal tua
Read More

28 Oktober 2011

Pahabibi

Acara satu jam bersama google sore ini, aku tertarik pada berita lama di detik tentang Habibie yang menggebrak meja saat dengar pendapat dengan komisi I DPR. Mendadak aku ingat sebuah artikel yang aku temukan di majalah Lionmag yang sempat aku embat waktu naik sulion air. Dalam tulisan yang menceritakan tentang pertemuan direktur sulion dengan para karyawan Boeing di Amrik sana, ada kutipan yang berbunyi sebagai berikut :

Yang mencengangkan ternyata banyak karyawan Boeing yang berkebangsaan Indonesia yang membuat pemandangan yang membanggakan. Ada sekitar 30 orang ex-IPTN dan sudah berada pada level senior engineer di Boeing.

Bangga..?
Sepintas iya. Tapi setelah dipikir lebih dalam, kebanggaan itu terasa semu dan malah menyakitkan. Apalagi bila ingat perjuangan Habibie yang ingin memajukan Indonesia di bidang iptek khususnya kedirgantaraan. Susah payah beliau mendidik anak-anak bangsa ini agar bisa mandiri dalam berteknologi, malah dibuang begitu saja hanya karena dianggap warisan orde baru.

Apa mungkin setiap orang bisa menjadi manusia sempurna 100%..? Pasti tidak. Karena manusia selalu memiliki kekurangan disamping kelebihannya. Demikian juga dengan orde. Sebobrok-bobroknya sebuah dinasti, pasti selalu ada sisi-sisi baiknya yang bisa dilanjutkan demi kemajuan dan kemandirian bangsa ini. Miris melihat teman-teman yang terbuang dari PTDI sampai akhirnya terpencar-pencar mencari hidup sendiri-sendiri.

Bila mereka lalu bisa berkarir di perusahaan sekelas Boeing, memang patut mendapat acungan jempol. Berarti otak produksi Indonesia sebenarnya sudah layak diperhitungkan. Namun ketika kebanggaan itu justru membuat kemandirian bangsa terpuruk, apa artinya dong..?

Pola pikir konsumerisme yang menjadi isi otak penguasa saat ini memang benar-benar parah. Apalagi di tengah serbuan produk China yang berharga miring, otak mereka ikut-ikutan miring. Untuk apa melatih anak-anak bangsa menjadi pintar yang membutuhkan banyak biaya, bila dengan membeli produk China katanya bisa menghemat sekian rupiah.

Hemat matamu...
Penghematan apaan bila kenyataannya tetap mengorbankan para pemilik tanah ini. N250 dihentikan proyeknya hanya karena CN235 ditukar beras. Apa bedanya dibeli dengan uang bila seterusnya uangnya buat beli beras juga. Asal nilai nominalnya pas, apa salahnya. Padahal CN235 sudah diuji kehandalannya dan digunakan oleh banyak negara. Bahkan Turki sampai memiliki 61 pesawat. Ketika Merpati menggunakan pesawat buatan China yang katanya belum lolos sertifikasi dan memakan korban, itukah yang didefinisikan sebagai penghematan...?

Kemandirian berteknologi sedikit demi sedikit dikikis. Tak apalah impor yang penting nyohor. Toh dari proyek impor mengimpor ini juga bisa dapat amplop lumayan tebal. Apa mungkin ini yang disebut program pengurangan kemiskinan..? Kalo rakyat kelas embek banyak yang mati karena naik pesawat murahan, berarti rakyat miskin kan jadi berkurang.

Di sisi kedaulatan negara. Bagaimana mungkin angkatan perang negara ini bisa disegani, bila terus menerus menggantungkan teknologinya dari barang impor. Kalo saja Asia Tenggara dilanda perang regional, negara lain mana mau menembak pesawat Indonesia. Buang-buang amunisi doang. Ga ditembak juga sudah jatuh sendiri.

Suer...
Aku jadi kangen Pak Habibie
Tapi bukan paha bibi ya...

Read More

Jangan Minder Dong...

Baru "rasan-rasan" sama HRD pengen tambah pasukan lokal buat bantu di lapangan, eh bocorannya mengalir cepat. Baru siang ngomong, sorenya dah 4 orang temen yang bilang mau titip adik, keponakan atau saudaranya. Bahkan yang 2 orang sudah membawa serta orang yang ingin dimasukinnya.

Aku memang belum berani menjanjikan apa-apa karena itu hak HRD. Kalopun aku harus wawancara tentang kemampuan teknis, itu setelah pihak HRD menguji kemampuan umumnya. Tapi bagaimanapun juga mereka adalah tamu yang harus diterima dengan baik. Sebagai basa-basi aku ajak ngobrol saja sedikit, sebelum menyarankan agar memasukan lamaran ke HRD.

Karena yang aku butuhkan hanya helper, status tanpa pengalaman tidak terlalu aku permasalahkan. Yang penting dia mau dan mampu belajar cepat saat sudah menjadi timku nanti. Namun kayaknya sudah menjadi hal yang umum bila orang berstatus fresh graduate lebih suka pasrah. Padahal aku lebih suka orang yang pede asalkan bisa kompak dalam kerja tim. Orang sejak awal kelihatan optimis biasanya lebih mudah untuk belajar cepat.

Ditanya ini itu sering tampak ragu-ragu walau jawabannya tepat. Ketika dikasih contoh kasus pun seringkali terasa berat mengeluarkan ide kreatifnya walau sebenarnya dia mampu. Padahal kunci dalam wawancara kerja adalah jawaban yang tenang dan pede. Tapi kalo bisa jangan sampai kepedean seperti aku, ditanya ini itu lantang menjawab bisa. Pas sudah mulai kerja, mulai deh celingukan terbego-bego. Pada waktu dikomplen atasan atas pekerjaan yang ga beres-beres, keluarlah jurus andalan kucing kencing kepepet tembok. "Dulu kan bapak cuma nanya bisa ngerjain apa engga. Ya saya jawab bisa. Kecuali nanyanya pinter apa engga, pasti saya jawab engga. Suer dah..."

Itulah sebabnya kenapa aku selalu memilih kerjaan yang berkaitan dengan internet walau sekolahku jurusan arus kuat. Karena dengan itu aku punya banyak akses ke google sebagai alat untuk mencari jawaban atas kebegoanku. Makanya kalo dibilang aku bisa jadi IT karena pinter, itu nol besar. Bagian IT justru ga terlalu pinter karena sebentar-sebentar harus buka google. Saat putus hubungan dengan internet, langsung deh seperti yang orang Jawa katakan "kaya kethek ditulup..."

Belajar dari pengalaman pribadi, aku pun berusaha memandang dari sisi yang sama saat menerima caon karyawan. Orang ga pinter tapi kreatif dan pede menurutku lebih menarik daripada yang ga bodoh tapi minderan. Wajarlah namanya juga manusia, kekurangan pasti selalu ada. Tapi tak boleh kekurangan itu malah dianggap sebagai bayang-bayang menakutkan. Sebisa mungkin kita harus bisa memanfaatkan segala potensi untuk meraih apa yang akan jadi tujuan kita.

Seperti seorang teman yang gagap, dengan pedenya dia melamar kerja jadi penjual buku. Awalnya dia diremehkan banyak orang. Namun ternyata omset penjualan perbulan dia bisa melebihi orang yang mampu bicara normal. Sampai akhirnya pihak penerbit memberikan penghargaan sebagai tenaga pemasaran terbaik. Saat penyerahan penghargaan, dia ditanya apa rahasia suksesnya sehingga selalu bisa melampaui target penjualan.

“Ss..ssederha..ha..na kok, ss..saya cc..ccum..cuman.. Ss..sa..saya..cc..cuman.. tt..ta..tanya ssaja ke cc..ccal.. cal..calon pembelinya, An..anda mmau bb..bbbeli.. bbu..bu..ku ini atau.. mma..mmau.. ss..sa..saaa..ya..ya.. ba..baca..iiin.. ??”

Ikuti saja petuah Sunda untuk tetap pedewegepe
Alias percaya diri walopun goreng patut
Jangan minder dan tetap semangat...
Read More

27 Oktober 2011

Tobe

Ada semacam anehdot yang berkembang diantara teman-teman kutu loncat alias tukang pindah-pindah kerja. Katanya kalo kantor pusat perusahaannya deket-deket Glodok, 90% manajemennya ala Glodok juga, alias manajemen toko. Dan semua itu terasa banget di kerjaanku saat ini. Perusahaannya sih lumayan besar, tapi pengelolaannya kocar-kacir ga karuan. Tak aneh bila tugasku membuat sistem informasi manajemen yang seharusnya 6 bulan kelar, bisa molor sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan karena memang SOP nya tak jelas.

Struktur perusahaan memang ada, namun tak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Banyak orang tak tercantum dalam struktur tapi punya kekuasaan yang teramat besar. Bila biasanya penguasa perusahaan itu dinamakan direktur, manager dan supervisor. Disini ada tambahan lagi, abang, adik dan keponakan bos. Yang disebut terakhir itu yang banyak mengacak-acak tatanan perusahaan sehingga karyawan dibikin bingung.

Aku sendiri sempat minggat 2 kali dari sini ya karena masalah dengan mereka. Aku paling tidak suka kerja dibentak-bentak orang, karena aku sendiri tak mau main bentak ke orang lain. Bila ada yang rese, paling banter aku cuma jawab, "ga perlu ribut, kasih tiket pulang saja, bos..."

Aku juga ga suka kalo ada orang yang dalam setiap ucapan selalu membawa-bawa orang lain. Cuma mau nyuruh saja musti nyebut nama big bos. Seperti saat kepulanganku kedua dulu, aku bete habis mendengar kata "saya keponakan bos." Karena kesabaran sudah sampai puncaknya, sebelum pulang kampung aku sempatin ngomong, "untung loe jadi keponakan bos. Kalo engga, ga bisa makan loe..."

Paling meyebalkan adalah kalo konflik keluarga sudah dibawa ke perusahaan. Tidak cuma di kantor, saat harusnya istirahat malam di mess pun masih harus mendengarkan celotehan penuh intrik akan anggota keluarga yang lain. Seperti malam ini yang seharusnya aku bobo tenang setelah 4 hari lembur siang malam di pelabuhan. Ada satu wisatawan yang terus menerus ngoceh tentang saudaranya yang lain di ruang tengah. Bertahan tak keluar kamar tetap saja kedengaran suara-suara dari luar.

Kalo sudah begini, yang bisa aku lakukan hanya menyabarkan diri sampai pekerjaanku tuntas dan segera hengkang dari sini. Kalo sampai aku kabur lagi, ini merupakan talak tiga yang kayaknya tak bisa aku balik lagi apapun penawaran baru dari perusahaan.

Sebuah dilema atas apa yang disebut profesionalisme. Di satu sisi aku sudah tak nyaman disini. Di sisi lain, aku tak ingin membiasakan diri meninggalkan pekerjaan yang belum tuntas. Makanya sebisa-bisa aku ajak teman-teman meninggalkan pekerjaannya masing-masing dan ngumpul di kamar bikin keributan sendiri.

Karena tema hiburan yang dipilih teman-teman malam ini adalah bang haji, aku persembahkan saja lagu terbarunya dalam bahasa Inggris yang berjudul TOBE. Mau dengar..? Are you ready...??

Tobe tobe than ooii...
Tobe tobe than...
Thank goal thank goal land ooii..
Thank goal thank goal land...

Sialan malah kebawa gemblung
Biarin lah daripada suntuk...



Read More

180M Hangus


Lagi browsing malah nemu berita yang menjengkelkan di detik. Seharusnya itu memang berita gembira, karena rencana pembangunan gedung baru DPR senilai 800M dibatalkan. Tapi karena ada kata 180M biaya awal hangus, rasanya kok pengen banget nonjok jenong si Juki Alay.

Aku kutipkan sebagian ya...

"Kalau sudah dibatalkan kok ditanyakan lagi, jadi tidak perlu jadi pertanyaan lagi harusnya. Ya hangus lah, tapi suatu saat nanti dokumen itu masih bisa digunakan. Kalau pada saatnya nanti akan dibangun, masih bisa dipakai jadi tidak hilang begitu saja,"tutur Marzuki.

Hal ini disampaikan Marzuki kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (25/10/2011). Menurutnya anggaran tersebut sudah dikeluarkan. Meskipun tak ada bangunan fisik yang sudah dibangun.

"Konsekuensi biaya dikeluarkan itu, itu konsekuensi pembatalan tidak bisa kita tuntut kan. Karena waktu itu semuanya sudah dalam proses, itu kan zaman waktu kita sebelumnya kan dan itu waktu awal dan itu sudah dikeluarkan," tuturnya.

Koplok engga sih sebenarnya..?
Kalo emang DPR isinya manusia-manusia pinter, sudah tahu konsekuensinya begitu kenapa pula maksa mau bikin gedung mahal. Lagian gedung DPR sekarang masih sangat representatip dan terlalu bagus kalo cuma mau dipake jadi tempat ngorok dapat bayaran gede. Apa ga mubazir kalo buang-buang uang untuk gedung baru sementara gedung lama masih bagus.


Bandingkan saja dengan bangunan sekolah di daerah pedalaman yang hampir roboh dan ga ada meja kursinya. 180M itu bisa buat bangun berapa sekolahan coba. Apa mentang-mentang mereka pinter, jadinya ga mau anak-anak bangsa ini menjadi pinter. Kalo lihat titelnya sih, mereka tak hanya orang-orang pinter berpendidikan tinggi. Banyak yang kelihatannya begitu agamis. Tapi tindak tanduknya, waduh...

Aku memang bukan orang teknik sipil yang tahu itung-itungan tentang biaya bangun gedung. Tapi 180M itu adalah 22,5% dari total anggaran 800M. Apa iya biaya bayar arsitek dan ngurus dokumen bisa lebih dari 10% total biaya pembangunan. Kalo bener begitu, berapa persen dari total anggaran yang benar-benar masuk ke pembangunan fisik bila rencana itu jadi..?

Kalo soal duit hangus ini memang dilindungi undang-undang. Harusnya mikir dong sebelum merencanakan sesuatu. Bagaimanapun juga itu duit rakyat. Atau ini memang modus baru untuk merampok rakyat dengan membuat perencanaan fiktif. Jadi apa engga ga usah dipikirin. Toh jadi ga jadi tetap dapat duit. Kali aja udah malu nyolong dengan modus bikin pansus ga jelas juntrungannya macam pansus Century.

Aku sebel dengan kapitalis. Aku benci dengan zionis. Tapi suer, aku lebih muak dengan perilaku anggota hewan yang terhormat itu. Makanya kalo aku boleh usul, pemilu depan dihapuskan saja dan tunjuk langsung si Juki Alay jadi presiden. Siapa tahu negara ini makin bobrok. Atau malah namanya dirubah menjadi 1nd0n3514 r4y4...
M0ny3t...

Read More

Panggilan

Akhirnya ada juga yang komplen tentang nama anak. Katanya nama anak-anakku bagus, tapi nama panggilannya parah. Di jurnal malah ada yang nyebut kayak nama anak tikus. Ncit, hehe...

Sejak awal masalah itu memang sudah aku perhitungkan kok. Namun aku tak pernah mau mempermasalahkan tentang nama panggilan yang kayaknya katrok. Yang penting nama aslinya bagus dan mengandung makna. Anggap saja nama panggilan adalah cover. Kan katanya dont judge the book by the cover, jangan hukum pohon pisang pake koper. Jadi gapapa bungkusnya jelek asal isinya bagus.

Di lingkunganku memang sudah biasa menggunakan nama panggilan asal bunyi. Aku sendiri dikasih nama bagus-bagus dari ortu, hanya sebagian orang yang tahu nama sebenarnya. Jaman kecil dipanggil jiplong karena suka tidur nungging. Masa STM dipanggil rawin yang sebenarnya nama orang gila hanya karena aku gemar jalan kaki kemana-mana. Teman-teman di sekolah pun sama kondisinya. Ada yang namanya Dimas dipanggil Kampil. Winarto jadi Dawet, Sunarto jadi Komprang, Rudi jadi Daplun dll dll. Biar begitu, tak pernah ada yang merasa terlecehkan. Malahan menurutku itu lebih baik daripada kebiasaan sebagian teman yang suka manggil nama orang dengan nama bapaknya.

Anak-anakku pun bernasib sama. Si Adi sejak kecil sudah ga bisa lepas dari komputer. Sampai-sampai kalo ada yang nanya nama, dia akan jawab Adidotkom. Makanya teman-temannya memanggil dia Didot. Citra dan Cipta sebenarnya suka aku panggil Neng dan Nang. Tapi saudara-saudara sepupunya memanggil dia mba Cit dan mas Cit. Kadang disebut Ncit dan Ncip. Ada juga yang manggil Citra sebagai Ucrit. Ada lagi salah satu sepupunya yang memanggilnya mba Iwil karena Citra memang rambutnya kriwil. Keponakanku juga ada yang dipanggil Bawor padahal namanya Zulfaeza. Adiknya Putri dipanggil Ciprut. Tinggal si Ayu dan Raya yang belum punya panggilan kesayangan dari saudara-saudaranya.

Aku malah suka kasihan dengan kasus sebaliknya. Merasa ga pede dengan pemberian orang tua dan maksa cari panggilan yang menurut dia keren. Seperti jaman sekolah ada yang selalu ngaku namanya Pay, padahal aslinya Paijo. Dikasih nama eksotik Jamilah, maunya dipanggil Mila. Ga ngerti juga kenapa sesuatu yang eksotis malah dianggap katrok. Apalah artinya sebuah nama. Yang penting mengandung makna yang bagus, dikasih cover katrok eh eksotis apa salahnya.

"Nama kamu siapa?"
"Megan, pak."
"Wah kayak artis. Megan Fox ya?"
"Bukan pak. Meganthropus Palaeojavanicus."

Read More

26 Oktober 2011

Bangun Siang

Sebuah pertanyaan bernada komplen yang sering aku terima, terutama kalo ada orang baru atau HRD baru masuk site adalah soal bangun siang. Aku dan sebagian orang di tim IT memang tak pernah mikirin jam kerja yang tercantum di perjanjian kerja. Memang tertulis disitu kalo jam kerjaku mulai pukul 9 sampai 17. Namun kenyataan di lapangan lebih sering meleset.

Bagian programmer sudah jelas lebih suka kerja malam saat semua orang sudah mulai terlelap. Mencoba kerja siang kayaknya susah buat konsentrasi. Aku sudah coba atur agar mereka tak perlu ngantor dan kerja di mess. Tapi tetap saja masih terganggu oleh suara orang-orang yang ada di sekitar situ. Kebiasaan orang sini memang tak bisa ngomong pelan. Kayaknya lagi pacaran saja pakai teriak-teriak, apalagi kalo lagi berantem.

Bagian lapangan pun seringkali susah kerja siang ketika ada gangguan infrastruktur. Internet atau listrik mati terlalu lama saat jam kantor bisa bikin hapeku tak mau diam bentar bentar bunyi. Jadinya setiap ada kerusakan, aku harus gerak cepat pakai tindakan gawat darurat asal hidup dulu. Setelah staf kantor bubar, baru mulai diperbaiki dengan rapi sesuai standar kerja. Itupun tak bisa kerja dengan santai karena aktifitas tambang memang 24 jam sehingga malam pun masih banyak orang kerja.

Memaksa harus sesuai jam kerja pun percuma. Karena sistem gajiku all in alias apapun makanannya gajinya ya tetap segitu-gitu saja. Diterima bulat-bulat tanpa ada perhitungan lembur atau insentif lain berkaitan dengan pekerjaan overtime. Memang untuk karyawan lokal, ada yang sistem gajinya reguler dalam artian dapat uang kehadiran dan lembur. Nah yang inilah yang aku set untuk kerja sesuai jam kantor. Seakan-akan mereka merupakan pekerja shift pagi dan yang all in jadi shift malam.

Yang agak kacaw adalah jam kerjaku. Semaleman abis melek nemenin programmer, pagi-pagi banget sudah dibangunin lagi karena ada gangguan berat di lapangan. Makanya aku datang 9 bulan lalu dengan berat badan 64 kilo, sekarang tersisa 52 kilo. Soal bobot disini sih ga ada yang komplen. Paling-paling kalo pas pulang cuti, ibue Citra yang suka komentar. "Kasihan, ga ada yang ngurusin ya...?"

Kalo ada yang ngurusin emang bikin gemuk ya..?
Bukannya kurus tuh karena ga ada yang nggemukin..?


Read More

Balikpapan

Sebuah penawaran datang dari Tenggarong Kalimantan Timur. Entah kenapa tiba-tiba ada yang terasa "maksreset" dalam hati. Bukan penawaran kerja atau Tenggarongnya yang membuat ada rasa tak jelas itu. Asal kerjaan dan penghasilan cocok, mudah saja aku hengkang kesana daripada disini misuh-misuh melulu. Yang bikin aku termenung agak lama justru aku ingat Balikpapan yang relatif tak begitu jauh dari Tenggarong.

Aku memang tak pernah terlalu lama di sana. Tapi ada sesuatu yang teramat berkesan dengan kota itu. Sekian lama keluyuran dari tempat satu ke tempat lainnya, hanya Jogja dan Balikpapan yang mampu mencuri perhatianku sebagai kota idaman. Balikpapan begitu bersih, tertib dan kondusif. Jauh banget dibandingkan kota lainnya apalagi Jakarta atau Surabaya yang panas. Bandung yang adem pun aku merasa kurang sreg dengan pola kehidupannya termasuk keindahan mojang Priangan yang begitu terkenal. Bukan aku tak menyukai keindahan gadis-gadisnya. Tapi karena terlalu banyak, jadinya malah mumet melihatnya.

Jogja begitu damai dengan biaya hidupnya yang teramat murah dibanding kota lain. Balikpapan pun begitu nyaman dengan kerapian kotanya. Biaya hidup memang agak mahal, namun di sana uang selalu ada asal mau kreatif. Kayaknya tak pernah ada krisis ekonomi di sana. Yang selalu krisis hanyalah energi dimana listrik sering banget padam. Tapi yang ini mungkin memang ciri khas daerah luar Jawa yang selalu dianaktirikan oleh penguasa Indonesia Raya. Sumber daya alam dikeruk habis-habisan tapi duitnya lebih banyak diboyong ke Jawa. Ribuan ton minyak dan batubara setiap hari ditambang, namun anehnya energi bisa kekurangan.

Biarpun termasuk kota besar, jalanan tidak terkesan semrawut. Pengguna jalan begitu sabar dan penuh toleransi terhadap pelintas lain. Kalo tidak dibilang lebay, aku mungkin bisa mengatakan terharu melihat kondisi lalu lintasnya. Tidak perlu perjuangan campur nekat untuk nyebrang jalan. Kendaraan yang lalu lalang selalu memberikan kesempatan bagi para penyebrang atau kendaraan yang mau keluar gang. Sesuatu yang sangat sulit ditemukan di kota besar. Di Jakarta boro-boro dikasih kesempatan, kalo cuma diklakson bertalu-talu campur teriakan bahasa binatang sudah bisa dikatakan untung.

Begitu banyak tempat nongkrong yang nyaman dari mall sampai ke taman kota. Tapi yang paling favorit buatku adalah di pantai dekat kilang pertamina. Sejuk rasanya duduk di sana sambil memandang laut di teluk Balikpapan ke arah Penajam. Kalo pas ga sempat nongkrong di jalan minyak, aku juga suka duduk-duduk di pantai dekat Balikpapan Trade Center.

Memang rada aneh bila aku jadi sedikit melow hanya karena mengingat sebuah kota yang jauh dari tanah kelahiran. Mungkin benar aku memang jatuh cinta ke kota Balikpapan. Atau mungkin itu hanya seloka bahwa aku harus balik ke papan panggonan alias pulang kampung biar bisa kumpul selalu dengan keluarga bahagiaku. Kangen juga dengan si Encit, Encip dan ibue.

Embuhlah...
Aku lagi ga ngerti perasaanku sendiri.
Ada yang punya kenangan indah tentang Balikpapan kah..?


Read More

25 Oktober 2011

Bolot

Kerja di tempat rada ekstrim, tapi sarana safety masih kedodoran ya begini rasanya. Nyerempet bahaya sudah pasti. Bikin bete namun kadang jadi ngakak dah langganan. Minta peralatan pengaman diri yang canggih entah kapan bisa terpenuhi. Orang bilang duit batubara itu tidak ada serinya. Tapi kenyataannya beli perangkat keselamatan saja susahnya minta ampun.

Salah satu masalah di site adalah tingkat kebisingan yang tinggi. Terutama saat kerja di dekat alat berat. Masih mending kalo kerjaan yang tak perlu banyak koordinasi. Kalo harus kerja tim yang terpisah-pisah, sedangkan komunikasi cuma mengandalkan HT standar, salah langkah sedikit fatal akibatnya. Seperti misalnya lagi urus perangkat dan jaringan yang berkaitan dengan kelistrikan arus kuat. Eh, jangan bingung ya. Kalo disini IT juga harus urus listrik. Rada katrok memang...

Karena bising, komunikasi lewat radio seringkali salah sambung. Untuk itu setiap pekerjaan selalu ada petugas pemantau yang ngepos di tempat yang aman dan senyap. Pihak-pihak di lapangan dalam berkomunikasi harus saling mengulang perintah dan baru dilaksanakan setelah ada perintah dari pengawas. Misalnya petugas genset sudah teriak, "listrik mau dimasukan, silakan menjauh dari perangkat."

Petugas lain yang bekerja sepanjang jaringan atau perangkat harus berteriak yang sama, "menjauh dari perangkat, listrik akan dimasukan."

Kalo pengawas sudah melihat kedua belah pihak tidak ada yang salah tangkap, dia akan teriak, "laksanakan" yang juga harus ditirukan oleh petugas lapangan.

Sepintas kelihatan mudah. Namun aplikasi di lapangan seringkali menjadi bertele-tele karena ada pihak yang tak jelas menangkap perintah dan harus diulang-ulang. Mendingan kalo bekerja dengan tim sendiri yang jelas-jelas sudah terbiasa dengan disiplin. Agak payah tuh kalo harus gabung dengan tim lain yang masih acak kadut. Disini SOP memang tidak jelas, sehingga pola kerja karyawan benar-benar tergantung pada didikan supervisornya. Rada kacaw tuh kalo pas di daerah Telang yang agamanya memang sangat kuat.

Seperti ketika pemantau sudah kasih perintah, "oke laksanakan..."
Eh, malah dijawab, "Insya Alloh..."
"Laksanakan woiii..."
"Iya pak, Insya Alloh..."
"Haduh kacaw. Istirahat dulu deh..."
"Alhamdulillah..."

Untuk yang di lapangan sih ga terlalu bermasalah karena memang sama-sama bolot. Yang jadi pemantau itu yang kadang terbego-bego mendengar percakapan mereka yang di lapangan. Paling sering terjadi saat mereka maksa ngobrol bebas di tengah kebisingan.

"Dah jam istirahat ya? Ke kantin yuk"
"Gak ah, aku mau ke kantin dulu"
"Ooh.. kirain kamu mau ke kantin"
"Nggak deh, aku aku lapar pengen ke kantin"
"Yaudah...padahal kalo kamu ke kantin kita bisa bareng"
"Tar aja abis makan. Aku ke kantin dulu ya.. "

Ampuni hambamu ini, ya Tuhan...



Read More

BOD BAD

Ketika BOD atau jajaran direksi dari pusat datang ke site, ada satu hal yang menyenangkan bagi karyawan yaitu soal ransum. Biarpun menu untuk karyawan tak pernah sama dengan menu big bos, tapi minimal selalu ada peningkatan gizi dibanding saat bos tidak di sini. Mungkin para pejabat di site pengen dianggap punya perhatian penuh terhadap ransum karyawan saat bos inspeksi ke dapur. Soalnya big bos memang tak pernah mau tinggal di hotel dan lebih suka tidur di guesthouse.

Itu yang sering aku bingung dengan yang namanya manusia saat dikasih amanat jabatan. Pejabat tertinggi saja bisa low profile dan begitu merakyat, yang sedikit di bawahnya nyebelinnya minta ampun. Tak perlu menekan bawahan secara berlebihan juga semua orang tahu kalo jabatannya manager. Untuk apa harus unjuk kekuasaan di segala kesempatan dan mungkin sampai mengasuransikan telunjuknya karena memang cuma itu yang digunakan untuk kerja.

Aku bisa melihat cukup banyak orang disini yang jadi pejabat cuma karena nasib saja. Kemampuan kerja dan mengelola bawahan bisa dibilang teramat kurang. Ciri-ciri orang seperti ini bisa dilihat saat mereka bicara atau memerintah, selalu membawa-bawa nama orang lain. Cuma mau orang mengerjakan sesuatu saja harus pakai embel-embel, "menurut perintah big bos..."

Tanda-tanda yang lain adalah, saat dapat teguran dari pusat dengan enteng dia melemparkan masalahnya ke bawahannya di depan forum. Padahal aku malah suka tersinggung kalo sampai ada orang lain memarahi anak buahku secara langsung. Apapun yang mereka perbuat, dibawah perintahku atau tidak, tetap aku yang tanggung jawab.

Aku punya cara sendiri untuk mengatur pasukan agar tetap kompak dalam tim. Biasanya aku pancing mereka dengan penghasilan karena aku tahu departemen-departemen yang pimpinannya ga mau tahu urusan kesejahteraan. Aku ngotot dulu ke HRD untuk urusan gaji mereka. Lalu aku sampaikan ke pasukan, kalo mereka tak bisa ikuti target kerjaanku, akan aku mutasikan ke departemen lain yang komendannya katrok. Memang ini cukup efektif untuk menekan anak buah tanpa harus sok ngebos. Tapi efek sampingnya aku suka pusing dengan karyawan bagian lain yang merengek-rengek minta masuk IT. "Dah setahun ga pernah naik gaji, pak... Tiap hari cuma dimarah-marahin mulu... dll dll..."

Efek samping lain dari gayaku ini, karirku memang jadi lebih lambat dibanding mereka yang gemar cari muka. Aku tak bisa kalo harus bermanis-manis saat BOD datang ke site. Saat minta sesuatu atau memperjuangkan pasukan, aku malah lebih sering dengan cara mutung minta dikirim tiket pulang kampung. Aku ga takut kehilangan pekerjaan. Nyatanya walau mutungan, aku ga juga dipecat. Lagian apa yang aku mutungin juga untuk kepentingan perusahaan. Tapi yagitu deh. Karena sistemnya disini memang masih acak kadut, apa yang aku perjuangkan kadang dijegal bagian lain terutama di masalah prasarana dan pengadaan.

Termasuk soal perbaikan menu di kantin mess. Saat aku sampaikan ke big boss, bagian urus rumah tangga memang iya-iya. Tapi begitu bos cabut, semua kembali ke kondisi semula. Makanya aku suka mikir, gimana caranya biar di site selalu ada BOD. Soalnya begitu BOD kembali ke Jakarta, yang ada di sini jadi BAD. Biarin Aja Deh...

Memang susah kerja dengan orang susah...


Read More

24 Oktober 2011

Maafkan Ayah

Sebelum Cipta lahir, kadang ada ketakutan akan Citra yang tak bisa menerima kehadiran adiknya. Jangan-jangan Citra akan menganggap adiknya sebagai pesaing yang merebut kasih sayang yang seharusnya masih menjadi miliknya sepenuhnya. Apalagi Citra tergolong anak bandel yang selalu ada-ada saja tingkah polahnya. Sebagai anak umur satu tahun, kayaknya kebutuhan akan perhatian orang tua masih teramat besar.

Tapi begitu Cipta lahir, segala kekawatiran itu langsung terkikis habis. Citra begitu mandiri dan bisa mengerti saat ibue kelihatan sibuk ngurus Cipta. Dia lebih banyak bermain sendiri dengan apa yang ada di sekitarnya. Dari sekedar bercengkrama dengan ayam atau kelinci sampai pencet-pencet letop muter potongan-potongan iklan kesayangan yang sudah didonlot.

Apalagi ketika aku ajak ke mbahnya yang di Cilongkrang, waktu aku ajak pulang dia malah menggeleng sambil bilang "moh..." Tak bisa aku mengajaknya pulang, gantian ibue yang menjemput dengan hasil sama. Kejadian seperti ini tak pernah terjadi sebelum adiknya lahir.

Entahlah...
Aku tak pernah tahu apakah dia memang tak ingin merepotkan ibue atau ada faktor lain yang menjadi penyebabnya. Dikatakan mengerti situasi, dia cuma seorang anak berusia setahun yang belum punya logika. Yang jelas kondisinya jadi terbalik dari apa yang dibayangkan sebelumnya. Anaknya kelihatan enjoy-enjoy saja, malah ortunya yang suka sedih kepikiran si kriwil. Apalagi setelah ibue balik ke Jogja yang tak bisa setiap waktu menemuinya setiap saat.

Begitu terharu dengan anak perempuanku itu sampai kadang aku suka merasa bersalah.
Semoga kamu tidak menyalahkan ibumu dan bisa memaafkan ayahmu
Bukan salah ibumu mengandung
Salah ayah...


Salam rindu dari tepian Barito, nak...

Mobile Post via XPeria

Read More

Kalanis

Seminggu terakhir ini aku menjadi warga dadakan di Kalanis, sebuah perkampungan kecil di tepi Sungai Napu yang merupakan anak sungai Barito. Sekian lama menjadi orang gunung, sempat kena jetlag juga ketika harus berubah jadi manusia sungai. Agak berat harus belajar membiasakan mandi, cuci, kakus dan minum dari sungai yang sama.

Pemukiman di kampung pedalaman ini memanjang mengikuti aliran sungai. Sebagian rumah dibangun di darat dalam bentuk panggung dan sebagian lagi dibuat terapung di pinggiran sungai. Aku juga ga ngerti dengan adat mereka yang membangun rumah terapung bila di tepi sungai sudah ada bangunan. Padahal di belakang rumah yang di darat itu, tidak ada bangunan lain dan hanya hutan atau semak belukar. Tidak ada penjelasan teknis yang aku temukan selain kebiasaan turun temurun yang tak bisa jauh dari sungai.

Rumah-rumah yang di atas air, semula aku kira didirikan dengan tiang kayu ke dasar sungai. Ternyata dibawah lantai rumah hanya ada gelondongan kayu-kayu besar yang diikat seperti rakit. Rumah diikat dengan tali besar ke tepi sungai agar tidak hanyut tapi masih memungkinkan untuk naik turun mengikuti pasang surutnya sungai. Tak aneh saat ada perahu besar atau tongkag lewat, rumah akan goyang-goyang seperti naik ayunan.

Karena tidak ada jalan darat sebagai urat nadi transportasi, otomatis semua kegiatan termasuk ekonomi tergantung pada sungai. Barang-barang kebutuhan sehari-hari disuplai oleh pedagang keliling berperahu. Untuk pedagang sayur keliling, cukup menggunakan sampan. Yang sekelas mini market, perahunya lumayan besar dan barangnya komplet dari sekedar sabun mandi sampai bahan bakar minyak. Perahu tukang gado-gado pun ada. Bagian depan ada etalase dan dapur kecil dan selebihnya dipasang meja kursi sebagaimana layaknya warung makan di darat.

Walau rumah-rumah kayu kusam itu terkesan seragam, namun strata sosial masih tetap ada dan bisa dilihat dari sarana transportasinya. Yang ekonominya agak kurang biasanya cuma punya sampan kayuh. Sedikit diatasnya masih pakai sampan tapi sudah dipasangin mesin kelotok. Strata selanjutnya adalah yang didepan rumahnya tertambat speedboat. Pokoknya tetap sama dengan masyarakat darat yang bisa dilihat tingkat ekonominya dari kendaraan yang dimiliki. Sepeda onthel, sepeda motor atau mobil.

Kalo di darat banyak anak-anak muda yang suka kebut-kebutan pakai sepeda motor, disini pun kondisinya tak jauh berbeda. Anak kecil paling umur 10 tahun sudah lincah bermanuver pakai perahu kelotok atau speedboat. Tak jelas berapa biaya pecicilan mereka, mengingat speedboat yang aku pakai saja butuh bensin satu liter untuk menempuh jarak satu kilometer. Padahal bensin disini harganya antara 7 atau 8 ribu perak per liternya.

Kalo di perkampungan darat khususnya di Jawa suka ada papan peringatan bertuliskan "ngebut benjut", disini yang berlaku malah sebaliknya. Bolak balik naik speedboat perlahan malah akan dikomplen penghuni rumah terapung karena ombaknya lebih besar daripada waktu ngebut. Kalo ada yang maksa bikin papan pengumuman semacam itu, mungkin akan ditulis "lambat sikaaat..."

Ada yang berminat wisata sungai di pedalaman..?

Read More

Mengintip Orang Mandi

Dalam pekerjaanku, ada tiga hal yang selalu membuat aku kehabisan waktu istirahat. Pertama adalah setelah cuti. Ditinggal 2 minggu saja, masalah  di kerjaan pasti menumpuk. Agak susah melatih pasukan agar bisa bekerja efektif, multitasking dan autorun. Menjadikan mereka trampil relatif mudah, tapi memadukan segala potensi ternyata susah juga. Ditinggal sebentar saja sudah lari sendiri-sendiri seperti anak ayam kehilangan induk.

Kedua adalah musim hujan. Ketika cuaca berubah basah, kas perusahaan akan cepat mengering dengan banyaknya perangkat yang rusak. Apalagi bila ada petir menemani, tingkat gangguan semakin tinggi.

Yang ketiga adalah big bos datang ke site. Dalam kondisi ini, karyawan yang biasanya santai pun mendadak berubah menjadi paling sibuk. Namun sayang kesibukan mereka seringkali malah menghambat orang lain. Sekian lama pekerjaan ditunda-tunda, begitu bos datang harus beres dalam waktu singkat. Akibatnya bagian urus infrastruktur yang paling keteteran harus pontang-panting kesana kemari.

Dan sudah nasibku bila seminggu belakangan ini, aku baru saja pulang cuti, hujan mulai turun dan big bos datang menyambangi. Terasa banget menyedihkannya jadi pekerja bergaji all in yang harus kerja all out secara insidental. Harus mengikuti meeting-meeting berkepanjangan dengan juragan, sementara kebutuhan sekian ratus karyawan di wilayah kerja sepanjang 40 kilometer harus tetap terlayani tanpa tambahan amunisi.

Agak sedikit terhibur adalah saat perbaikan di daerah pelabuhan. Walau masih di tengah hutan tapi dekat anak sungai Barito yang lumayan asik buat ngadem. Kalo pas suntuk bisa kabur dulu pake speedboat. Sinyal hape yang teramat susah disini jadi alasan tepat untuk menghindari panggilan sekretaris bos untuk datang ke ruang meeting. Radio dimatikan juga tak pernah dikomplen lebih jauh saat dikatakan masih dalam perbaikan.

Adem juga otak dibawa kebut-kebutan di sungai sambil sesekali berlambat-lambat saat masuk ke pemukiman terapung di beberapa bagian. Kehidupan masyarakat sungai pedalaman yang menggantungkan hidup dari air membuat mereka melakukan segala hal di depan rumah termasuk untuk mandi.

Memang ada mitos yang melarang mengintip orang mandi agar terhindar dari kutukan menjadi batu. Tapi kan ada dalil yang mengatakan bahwa selama itu merupakan pandangan pertama masih dalam kategori nikmat dan belum bisa dikatakan laknat. Apalagi definisi mengintip adalah melihat secara diam-diam dari tempat tersembunyi. Ini jelas-jelas kelihatan di depan mata, tak bisa dong dikatakan sebagai mengintip.

Biar begitu tetap saja aku sempat waswas dengan kutukan menjadi batu itu
Soalnya saat melewati sekelompok cewek-cewek yang lagi mandi
Sempat ada bagian tubuhku yang mendadak mengeras
Haduh, amit-amit dah...

Read More

17 Oktober 2011

Gunung Buaya Putih

Saat melintasi jalan Daendels sepanjang pantai selatan Jawa Tengah, ada jalur favorit yang lumayan asik buat memacu adrenalin. Sepotong jalan sepanjang kurang lebih 15 km antara pantai Ayah sampai pantai Karangbolong yang masuk wilayah Kabupaten Kebumen itu lumayan sempit, berkelak-kelok tajam, penuh tanjakan curam dan kanan kirinya tebing atau jurang. Bikin sport jantung memang, tapi pemandangannya disitu lumayan asik dan masih alami banget.

Rada aneh memang. Sepanjang pinggiran pantai yang landai mulai dari Cilacap sampai Jogja, ada segundukan pegunungan kapur yang memiliki banyak puncak. Persis punuk unta tapi jumlahnya banyak yang kalo dilihat dari kejauhan malah terlihat seperti punggung buaya. Makanya pegunungan kapur berpunuk banyak itu seringkali dihubungkan dengan legenda Prabu Dewata Cengkar yang tewas ditangan Ajisaka. Diceburkan ke laut selatan dan berubah menjadi buaya putih yang kemudian terdampar sehingga berubah menjadi barisan bukit bukit kecil.

Terlepas dari masalah pegunungan kapur tersebut, aku malah tertarik menguthak athik gathuk legenda Ajisaka vs Dewata Cengkar dari sisi yang lain. Secara umum, Ajisaka dikatakan sebagai penguasa pulau Majeti tempat tumbuhnya bunga Wijayakusuma yang terletak di sebelah selatan Nusakambangan. Dalam beberapa versi utamanya yang berbau Sunda, pulau Majeti seringkali disebut Majadi atau Majati. Aku sendiri cenderung mengkiaskannya sebagai Majati yang berasal dari kata Ma dan Jati. Ma itu ibu, Jati itu itu asli atau sejati. Maka Majati bisa diartikan sebagai ibu sejati atau ibu pertiwi.

Ajisaka sendiri berasal dari kata Aji (pusaka, berharga atau kepribadian) dan Saka (tiang yang kokoh). Jadi Ajisaka bisa diartikan sebagai tiang pusaka atau tiang kepribadian yang kokoh yang mengayomi ibu pertiwi. Ajisaka memiliki dua abdi yang bernama Dora dan Sembadha. Dora itu artinya bohong atau kebohongan dan Sembadha artinya teguh atau patuh. Ini menggambarkan kondisi nyata dimana penguasa selalu dikelilingi oleh dua hal yang saling bertolak belakang dan seringkali menjadi dilema dalam mengambil setiap keputusan.

Saat meninggalkan pulau Majeti, Ajisaka mengajak Dora dan menitipkan keris pusakanya kepada Sembadha. Mungkin filosofinya adalah, kemanapun penguasa pergi, boleh membawa serta segala kebohongannya namun percayakan pusaka kepada abdi yang patuh.

Beralih ke Dewata Cengkar. Berasal dari kata Dewata yang artinya dewa atau penguasa dan Cengkar yang artinya tandus. Terusir dari sebuah negeri di sebelah barat yang kemudian membuka hutan Medang menjadi negeri yang makmur sentausa. Medang Kamulan mulai masuk kedalam prahara setelah Dewata Cengkar jadi hobi makan daging manusia. Gara-garanya adalah jari telunjuk juru masak terpotong masuk kedalam masakan dan termakan oleh Dewata Cengkar.

Secara ngawur, juru masak bisa diartikan sebagai penguasa dapur yang selalu menyiapkan makanan bagi seluruh warga keraton. Makanan itu bisa dianalogikan sebagai kemakmuran dan telunjuk identik dengan kekuasaan. Jadi juru masak dalam hal ini bisa dianggap sebagai pemegang kesejahteraan rakyat yang kekuasaannya terpotong. Tanpa kekuatan memerintah dengan telunjuknya pemegang amanat kemakmuran, Dewata Cengkar jadi lupa diri dan berubah menjadi pemangsa rakyatnya sendiri.

Ketika rakyat Medang Kamulan hampir habis, datang Ajisaka menyerahkan diri untuk menjadi santapan Dewata Cengkar menggantikan seorang gadis terakhir di negeri itu. Ajisaka tak menggunakan kekuatan fisik dan hanya meminta imbalan berupa tanah selebar ikat kepalanya. Saat Ajisaka dan Dewata Cengkar mengukur tanah, ikat kepala itu terus menerus bertambah lebar sampai akhirnya Dewata Cengkar tercebur ke laut selatan dan berubah menjadi buaya putih.

Ikat kepala dalam hal ini bisa diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang memang disimpannya dalam kepala. Dengan pengetahuan yang terus menerus melebar, kekuasaan Dewata Cengkar bisa ditamatkan sampai dia berubah menjadi buaya putih yang mungkin itu memang wujud aslinya. Buaya sendiri selama ini diidentikan sebagai kelicikan sampai-sampai ada istilah air mata buaya atau buaya darat. Walau berpenampakan putih atau sok suci, dia tetaplah buaya yang menyimpan kejahatan.

Aku tak tahu pemaknaan apa yang tepat untuk Dewata Cengkar ini. Seorang penguasa negeri tandus di sebelah barat yang licik namun berpura-pura baik. Bisa membangun hutan Medang menjadi negeri makmur, untuk kemudian dimangsanya sendiri satu persatu sampai habis. Beruntunglah kejahatan itu bisa ditumpas dengan damai oleh Ajisaka pemegang pusaka ibu Pertiwi.

Aku sendiri juga ga tahu apa makna dibalik cerita selanjutnya, dimana Ajisaka menyuruh Dora mengambil keris pusakanya yang dititipkan ke Sembadha. Padahal sebelum pergi, Sembadha sudah dipesan untuk tidak memberikan keris itu kepada siapapun selain kepada Ajisaka sendiri. Apalagi di akhir kisah disebutkan bahwa Dora dan Sembadha sama-sama mati saat menjalankan tugasnya masing-masing berdasarkan perintah plinplan Ajisaka. Apakah ini berarti sampai akhir hayat nanti, kejahatan dan kebaikan akan selalu sama kuat berebut pengaruh dan kekuasaan dalam diri manusia..?

Mbuhlah...
Cerita jalan-jalan malah jadi bahas hal serius
Ada yang punya analogi lain tentang kisah ini..?


Keterangan :
Kisah diatas diambil dari salah satu versi dari berbagai versi yang banyak berkembang dalam cerita rakyat Jawa dan Sunda. Mohon maaf dan harap dimaklumi bila ada perbedaan dengan yang diketahui teman-teman. Maaf juga kalo pembabaran analoginya aneh bin atang karena memang tanpa dasar alias ngawur belaka...

Read More

Obat Migrain..?

Akhirnya kebersamaan kali ini sudah sampai lagi di ujungnya. Hari ini aku harus meninggalkan keluarga kembali ke hutan untuk mencari nafkah. Walau lagu "kau datang dan pergi" seperti ini sudah menjadi rutinitas. Namun keberangkatanku yang ini terasa beda dan lebih berat dari biasanya.

Biasanya ibue aku tinggalkan bersama Citra yang sudah bisa disambi dan bisa bermain sendiri. Sekarang Citra tidak ikut ke Jogja, ketinggalan di rumah mbahnya Cilacap. Tapi berdua dengan Cipta ternyata berbeda dengan Citra dulu. Cipta walau lebih pendiam, tapi nenennya kuat. Masih aku temenin saja, ibue sudah kekurangan waktu istirahat karena tugas menyusui tidak bisa diambil alih orang lain. Setelah aku berangkat, pasti tambah repot ga ada yang ngegantiin nyuci nyetrika popok.

Apalagi sejak kemarin ibue mengeluh kena migrain. Sampe sedih melihat ibue menyusui sambil nangis nahan sakit. Diajak ke dokter, katanya kasihan Cipta yang pasti akan ikut ngenyot obat-obatan yang dikonsumsi. Seaman apapun namanya obat kimia, katanya tetap punya indikasi tambahan yang kadang tidak diduga. Alternatifnya mencoba pijit ke dukun bayi. Bisa jadi migrainnya itu karena pengaruh salah urat akibat sepanjang waktu harus tidur miring waktu menyusui. Dipijit dan diceklukin katanya sudah rada lumayan. Eh, diceklukin bahasa Indonesianya apa sih...? Itu loh, yang rambutnya ditarik sampai bunyi jekluk.

Tapi tadi malam migrainnya kumat lagi sampe nlangsa lihat anak dan ibu balapan mewek. Karena ibue ngeyel takut obat-obatan kimia, aku coba cari-cari di google tentang obat migrain untuk ibu menyusui. Cross check dari beberapa artikel, memang mau ga mau harus ke dokter. Memang bisa dengan mengkonsumsi jahe, tapi lebih banyak dianjurkan sebagai pencegahan.

Agak bisa dimengerti kenapa migrain lebih banyak menyerang cewek daripada cowok. Beberapa artikel mengatakan penyebab utamanya adalah kekurangan serotonim. Serotonim kalo gak salah adalah hormon yang bisa membuat orang merasa damai, tenang dan melebarkan pembuluh darah otak. Kekurangan serotonim selain membuat orang jadi tegang, juga menyempitkan pembuluh darah yang pada akhirnya membuat suplai darah ke otak menjadi berkurang dengan hasil akhir migrain itu tadi.

Kalo bicara tentang serotonim, ada kaitan yang lumayan erat dengan kehidupan seksual. Katanya saat seseorang mengalami orgasme, produksi serotonim akan meningkat. Sehingga setelah itu orang cenderung menjadi tenang bahkan enak tidur. Tak aneh kalo laki-laki jarang kena migrain, karena produksi serotonimnya rata-rata tinggi akibat orgasme yang biasanya lebih rutin dialami apapun caranya. Beda kasus dengan perempuan yang aktivitas seksualnya harus terpotong acara haidh dan nifas pasca melahirkan. Untuk yang lagi dalam kondisi normal saja, banyak yang mengeluh tidak mencapai orgasme. Mungkin ini juga jawabannya, kenapa kalo aku mulai stress di kerjaan, sakit kepala dan otot leher terasa kaku. Bisa langsung plong setelah melakukan ritual naik-naik ke puncak gunung.

Dah ah, mulai melenceng kesana kemari...
Adakah yang punya pengalaman obat migrain tradisional
Khususnya yang aman dan nyaman untuk ibu yang menyusui..?


Diketik sambil bengong di Bandara Adi Sucipto
Yang ditutup selama 3 jam gara-gara si komo eh esbeye mau lewat

Read More

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena