Saat melintasi jalan Daendels sepanjang pantai selatan Jawa Tengah, ada jalur favorit yang lumayan asik buat memacu adrenalin. Sepotong jalan sepanjang kurang lebih 15 km antara pantai Ayah sampai pantai Karangbolong yang masuk wilayah Kabupaten Kebumen itu lumayan sempit, berkelak-kelok tajam, penuh tanjakan curam dan kanan kirinya tebing atau jurang. Bikin sport jantung memang, tapi pemandangannya disitu lumayan asik dan masih alami banget.
Rada aneh memang. Sepanjang pinggiran pantai yang landai mulai dari Cilacap sampai Jogja, ada segundukan pegunungan kapur yang memiliki banyak puncak. Persis punuk unta tapi jumlahnya banyak yang kalo dilihat dari kejauhan malah terlihat seperti punggung buaya. Makanya pegunungan kapur berpunuk banyak itu seringkali dihubungkan dengan legenda Prabu Dewata Cengkar yang tewas ditangan Ajisaka. Diceburkan ke laut selatan dan berubah menjadi buaya putih yang kemudian terdampar sehingga berubah menjadi barisan bukit bukit kecil.
Terlepas dari masalah pegunungan kapur tersebut, aku malah tertarik menguthak athik gathuk legenda Ajisaka vs Dewata Cengkar dari sisi yang lain. Secara umum, Ajisaka dikatakan sebagai penguasa pulau Majeti tempat tumbuhnya bunga Wijayakusuma yang terletak di sebelah selatan Nusakambangan. Dalam beberapa versi utamanya yang berbau Sunda, pulau Majeti seringkali disebut Majadi atau Majati. Aku sendiri cenderung mengkiaskannya sebagai Majati yang berasal dari kata Ma dan Jati. Ma itu ibu, Jati itu itu asli atau sejati. Maka Majati bisa diartikan sebagai ibu sejati atau ibu pertiwi.
Ajisaka sendiri berasal dari kata Aji (pusaka, berharga atau kepribadian) dan Saka (tiang yang kokoh). Jadi Ajisaka bisa diartikan sebagai tiang pusaka atau tiang kepribadian yang kokoh yang mengayomi ibu pertiwi. Ajisaka memiliki dua abdi yang bernama Dora dan Sembadha. Dora itu artinya bohong atau kebohongan dan Sembadha artinya teguh atau patuh. Ini menggambarkan kondisi nyata dimana penguasa selalu dikelilingi oleh dua hal yang saling bertolak belakang dan seringkali menjadi dilema dalam mengambil setiap keputusan.
Saat meninggalkan pulau Majeti, Ajisaka mengajak Dora dan menitipkan keris pusakanya kepada Sembadha. Mungkin filosofinya adalah, kemanapun penguasa pergi, boleh membawa serta segala kebohongannya namun percayakan pusaka kepada abdi yang patuh.
Beralih ke Dewata Cengkar. Berasal dari kata Dewata yang artinya dewa atau penguasa dan Cengkar yang artinya tandus. Terusir dari sebuah negeri di sebelah barat yang kemudian membuka hutan Medang menjadi negeri yang makmur sentausa. Medang Kamulan mulai masuk kedalam prahara setelah Dewata Cengkar jadi hobi makan daging manusia. Gara-garanya adalah jari telunjuk juru masak terpotong masuk kedalam masakan dan termakan oleh Dewata Cengkar.
Secara ngawur, juru masak bisa diartikan sebagai penguasa dapur yang selalu menyiapkan makanan bagi seluruh warga keraton. Makanan itu bisa dianalogikan sebagai kemakmuran dan telunjuk identik dengan kekuasaan. Jadi juru masak dalam hal ini bisa dianggap sebagai pemegang kesejahteraan rakyat yang kekuasaannya terpotong. Tanpa kekuatan memerintah dengan telunjuknya pemegang amanat kemakmuran, Dewata Cengkar jadi lupa diri dan berubah menjadi pemangsa rakyatnya sendiri.
Ketika rakyat Medang Kamulan hampir habis, datang Ajisaka menyerahkan diri untuk menjadi santapan Dewata Cengkar menggantikan seorang gadis terakhir di negeri itu. Ajisaka tak menggunakan kekuatan fisik dan hanya meminta imbalan berupa tanah selebar ikat kepalanya. Saat Ajisaka dan Dewata Cengkar mengukur tanah, ikat kepala itu terus menerus bertambah lebar sampai akhirnya Dewata Cengkar tercebur ke laut selatan dan berubah menjadi buaya putih.
Ikat kepala dalam hal ini bisa diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang memang disimpannya dalam kepala. Dengan pengetahuan yang terus menerus melebar, kekuasaan Dewata Cengkar bisa ditamatkan sampai dia berubah menjadi buaya putih yang mungkin itu memang wujud aslinya. Buaya sendiri selama ini diidentikan sebagai kelicikan sampai-sampai ada istilah air mata buaya atau buaya darat. Walau berpenampakan putih atau sok suci, dia tetaplah buaya yang menyimpan kejahatan.
Aku tak tahu pemaknaan apa yang tepat untuk Dewata Cengkar ini. Seorang penguasa negeri tandus di sebelah barat yang licik namun berpura-pura baik. Bisa membangun hutan Medang menjadi negeri makmur, untuk kemudian dimangsanya sendiri satu persatu sampai habis. Beruntunglah kejahatan itu bisa ditumpas dengan damai oleh Ajisaka pemegang pusaka ibu Pertiwi.
Aku sendiri juga ga tahu apa makna dibalik cerita selanjutnya, dimana Ajisaka menyuruh Dora mengambil keris pusakanya yang dititipkan ke Sembadha. Padahal sebelum pergi, Sembadha sudah dipesan untuk tidak memberikan keris itu kepada siapapun selain kepada Ajisaka sendiri. Apalagi di akhir kisah disebutkan bahwa Dora dan Sembadha sama-sama mati saat menjalankan tugasnya masing-masing berdasarkan perintah plinplan Ajisaka. Apakah ini berarti sampai akhir hayat nanti, kejahatan dan kebaikan akan selalu sama kuat berebut pengaruh dan kekuasaan dalam diri manusia..?
Mbuhlah...
Cerita jalan-jalan malah jadi bahas hal serius
Ada yang punya analogi lain tentang kisah ini..?
Keterangan :
Kisah diatas diambil dari salah satu versi dari berbagai versi yang banyak berkembang dalam cerita rakyat Jawa dan Sunda. Mohon maaf dan harap dimaklumi bila ada perbedaan dengan yang diketahui teman-teman. Maaf juga kalo pembabaran analoginya aneh bin atang karena memang tanpa dasar alias ngawur belaka...
Rada aneh memang. Sepanjang pinggiran pantai yang landai mulai dari Cilacap sampai Jogja, ada segundukan pegunungan kapur yang memiliki banyak puncak. Persis punuk unta tapi jumlahnya banyak yang kalo dilihat dari kejauhan malah terlihat seperti punggung buaya. Makanya pegunungan kapur berpunuk banyak itu seringkali dihubungkan dengan legenda Prabu Dewata Cengkar yang tewas ditangan Ajisaka. Diceburkan ke laut selatan dan berubah menjadi buaya putih yang kemudian terdampar sehingga berubah menjadi barisan bukit bukit kecil.
Terlepas dari masalah pegunungan kapur tersebut, aku malah tertarik menguthak athik gathuk legenda Ajisaka vs Dewata Cengkar dari sisi yang lain. Secara umum, Ajisaka dikatakan sebagai penguasa pulau Majeti tempat tumbuhnya bunga Wijayakusuma yang terletak di sebelah selatan Nusakambangan. Dalam beberapa versi utamanya yang berbau Sunda, pulau Majeti seringkali disebut Majadi atau Majati. Aku sendiri cenderung mengkiaskannya sebagai Majati yang berasal dari kata Ma dan Jati. Ma itu ibu, Jati itu itu asli atau sejati. Maka Majati bisa diartikan sebagai ibu sejati atau ibu pertiwi.
Ajisaka sendiri berasal dari kata Aji (pusaka, berharga atau kepribadian) dan Saka (tiang yang kokoh). Jadi Ajisaka bisa diartikan sebagai tiang pusaka atau tiang kepribadian yang kokoh yang mengayomi ibu pertiwi. Ajisaka memiliki dua abdi yang bernama Dora dan Sembadha. Dora itu artinya bohong atau kebohongan dan Sembadha artinya teguh atau patuh. Ini menggambarkan kondisi nyata dimana penguasa selalu dikelilingi oleh dua hal yang saling bertolak belakang dan seringkali menjadi dilema dalam mengambil setiap keputusan.
Saat meninggalkan pulau Majeti, Ajisaka mengajak Dora dan menitipkan keris pusakanya kepada Sembadha. Mungkin filosofinya adalah, kemanapun penguasa pergi, boleh membawa serta segala kebohongannya namun percayakan pusaka kepada abdi yang patuh.
Beralih ke Dewata Cengkar. Berasal dari kata Dewata yang artinya dewa atau penguasa dan Cengkar yang artinya tandus. Terusir dari sebuah negeri di sebelah barat yang kemudian membuka hutan Medang menjadi negeri yang makmur sentausa. Medang Kamulan mulai masuk kedalam prahara setelah Dewata Cengkar jadi hobi makan daging manusia. Gara-garanya adalah jari telunjuk juru masak terpotong masuk kedalam masakan dan termakan oleh Dewata Cengkar.
Secara ngawur, juru masak bisa diartikan sebagai penguasa dapur yang selalu menyiapkan makanan bagi seluruh warga keraton. Makanan itu bisa dianalogikan sebagai kemakmuran dan telunjuk identik dengan kekuasaan. Jadi juru masak dalam hal ini bisa dianggap sebagai pemegang kesejahteraan rakyat yang kekuasaannya terpotong. Tanpa kekuatan memerintah dengan telunjuknya pemegang amanat kemakmuran, Dewata Cengkar jadi lupa diri dan berubah menjadi pemangsa rakyatnya sendiri.
Ketika rakyat Medang Kamulan hampir habis, datang Ajisaka menyerahkan diri untuk menjadi santapan Dewata Cengkar menggantikan seorang gadis terakhir di negeri itu. Ajisaka tak menggunakan kekuatan fisik dan hanya meminta imbalan berupa tanah selebar ikat kepalanya. Saat Ajisaka dan Dewata Cengkar mengukur tanah, ikat kepala itu terus menerus bertambah lebar sampai akhirnya Dewata Cengkar tercebur ke laut selatan dan berubah menjadi buaya putih.
Ikat kepala dalam hal ini bisa diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang memang disimpannya dalam kepala. Dengan pengetahuan yang terus menerus melebar, kekuasaan Dewata Cengkar bisa ditamatkan sampai dia berubah menjadi buaya putih yang mungkin itu memang wujud aslinya. Buaya sendiri selama ini diidentikan sebagai kelicikan sampai-sampai ada istilah air mata buaya atau buaya darat. Walau berpenampakan putih atau sok suci, dia tetaplah buaya yang menyimpan kejahatan.
Aku tak tahu pemaknaan apa yang tepat untuk Dewata Cengkar ini. Seorang penguasa negeri tandus di sebelah barat yang licik namun berpura-pura baik. Bisa membangun hutan Medang menjadi negeri makmur, untuk kemudian dimangsanya sendiri satu persatu sampai habis. Beruntunglah kejahatan itu bisa ditumpas dengan damai oleh Ajisaka pemegang pusaka ibu Pertiwi.
Aku sendiri juga ga tahu apa makna dibalik cerita selanjutnya, dimana Ajisaka menyuruh Dora mengambil keris pusakanya yang dititipkan ke Sembadha. Padahal sebelum pergi, Sembadha sudah dipesan untuk tidak memberikan keris itu kepada siapapun selain kepada Ajisaka sendiri. Apalagi di akhir kisah disebutkan bahwa Dora dan Sembadha sama-sama mati saat menjalankan tugasnya masing-masing berdasarkan perintah plinplan Ajisaka. Apakah ini berarti sampai akhir hayat nanti, kejahatan dan kebaikan akan selalu sama kuat berebut pengaruh dan kekuasaan dalam diri manusia..?
Mbuhlah...
Cerita jalan-jalan malah jadi bahas hal serius
Ada yang punya analogi lain tentang kisah ini..?
Keterangan :
Kisah diatas diambil dari salah satu versi dari berbagai versi yang banyak berkembang dalam cerita rakyat Jawa dan Sunda. Mohon maaf dan harap dimaklumi bila ada perbedaan dengan yang diketahui teman-teman. Maaf juga kalo pembabaran analoginya aneh bin atang karena memang tanpa dasar alias ngawur belaka...
Aku radonggg...
BalasHapuswalah saya kurang mengerti kisah ini mas
BalasHapusga pernah denger legenda ginian..
BalasHapusmendingan cerita baratayudha atau mahabarata aja deh raw..
Ini legenda ya Kang?
BalasHapusdi daerah masih banyak mitos takhayul yah
BalasHapuseh ahli sejarah juga mas hehehe
BalasHapuskak, itu jalannya yang ke arah karangsambung di kebumen bukan sih kak?
BalasHapussoalnya kalo ke tempat mama di daerah baniara, kebumen kayak begitu juga. jurang. tebing dan pantai..
ini mah kayak cerita Suzzana jaman dulu,kalau gak salah,love,peace and gaul.
BalasHapusMenyimak saja sobat ceritanya..pernah wisata ke pantai ayah dulu
BalasHapusPena hadir dan absen malam kembali....Kisahnya bagus juga untuk disimak gan
BalasHapusKunjungan silaturahmi malam sahabat di Celoteh Rawins.
BalasHapusTerima kasih telah berbagi ceritanya sahabat
Cerita rakyat jaman dahulu itu ya sahabat...?
BalasHapusenak dong jadi juru masak...menguasai perut konsumen :D
BalasHapusmas......dirimu lewat sik jalan dari pantai ayah sampai karang bolong, itu soyo apik banget di puncak gunung trs bawahe laut......jian indah tenan, selamat mencoba jalan2.....!!!
BalasHapusaku suka cerita ni,,,,coz q nax jawa asli
BalasHapusAku tau posisi reinkarnasi prabu dewata cengkar berada sekarang mas. Dia telah menikahi 7 anak ratu pantai selatan. Percaya gak percaya??? Ekornya buntung...
BalasHapus