Acara satu jam bersama google sore ini, aku tertarik pada berita lama di detik tentang Habibie yang menggebrak meja saat dengar pendapat dengan komisi I DPR. Mendadak aku ingat sebuah artikel yang aku temukan di majalah Lionmag yang sempat aku embat waktu naik sulion air. Dalam tulisan yang menceritakan tentang pertemuan direktur sulion dengan para karyawan Boeing di Amrik sana, ada kutipan yang berbunyi sebagai berikut :
Yang mencengangkan ternyata banyak karyawan Boeing yang berkebangsaan Indonesia yang membuat pemandangan yang membanggakan. Ada sekitar 30 orang ex-IPTN dan sudah berada pada level senior engineer di Boeing.
Bangga..?
Sepintas iya. Tapi setelah dipikir lebih dalam, kebanggaan itu terasa semu dan malah menyakitkan. Apalagi bila ingat perjuangan Habibie yang ingin memajukan Indonesia di bidang iptek khususnya kedirgantaraan. Susah payah beliau mendidik anak-anak bangsa ini agar bisa mandiri dalam berteknologi, malah dibuang begitu saja hanya karena dianggap warisan orde baru.
Apa mungkin setiap orang bisa menjadi manusia sempurna 100%..? Pasti tidak. Karena manusia selalu memiliki kekurangan disamping kelebihannya. Demikian juga dengan orde. Sebobrok-bobroknya sebuah dinasti, pasti selalu ada sisi-sisi baiknya yang bisa dilanjutkan demi kemajuan dan kemandirian bangsa ini. Miris melihat teman-teman yang terbuang dari PTDI sampai akhirnya terpencar-pencar mencari hidup sendiri-sendiri.
Bila mereka lalu bisa berkarir di perusahaan sekelas Boeing, memang patut mendapat acungan jempol. Berarti otak produksi Indonesia sebenarnya sudah layak diperhitungkan. Namun ketika kebanggaan itu justru membuat kemandirian bangsa terpuruk, apa artinya dong..?
Pola pikir konsumerisme yang menjadi isi otak penguasa saat ini memang benar-benar parah. Apalagi di tengah serbuan produk China yang berharga miring, otak mereka ikut-ikutan miring. Untuk apa melatih anak-anak bangsa menjadi pintar yang membutuhkan banyak biaya, bila dengan membeli produk China katanya bisa menghemat sekian rupiah.
Hemat matamu...
Penghematan apaan bila kenyataannya tetap mengorbankan para pemilik tanah ini. N250 dihentikan proyeknya hanya karena CN235 ditukar beras. Apa bedanya dibeli dengan uang bila seterusnya uangnya buat beli beras juga. Asal nilai nominalnya pas, apa salahnya. Padahal CN235 sudah diuji kehandalannya dan digunakan oleh banyak negara. Bahkan Turki sampai memiliki 61 pesawat. Ketika Merpati menggunakan pesawat buatan China yang katanya belum lolos sertifikasi dan memakan korban, itukah yang didefinisikan sebagai penghematan...?
Kemandirian berteknologi sedikit demi sedikit dikikis. Tak apalah impor yang penting nyohor. Toh dari proyek impor mengimpor ini juga bisa dapat amplop lumayan tebal. Apa mungkin ini yang disebut program pengurangan kemiskinan..? Kalo rakyat kelas embek banyak yang mati karena naik pesawat murahan, berarti rakyat miskin kan jadi berkurang.
Di sisi kedaulatan negara. Bagaimana mungkin angkatan perang negara ini bisa disegani, bila terus menerus menggantungkan teknologinya dari barang impor. Kalo saja Asia Tenggara dilanda perang regional, negara lain mana mau menembak pesawat Indonesia. Buang-buang amunisi doang. Ga ditembak juga sudah jatuh sendiri.
Suer...
Aku jadi kangen Pak Habibie
Tapi bukan paha bibi ya...
Yang mencengangkan ternyata banyak karyawan Boeing yang berkebangsaan Indonesia yang membuat pemandangan yang membanggakan. Ada sekitar 30 orang ex-IPTN dan sudah berada pada level senior engineer di Boeing.
Bangga..?
Sepintas iya. Tapi setelah dipikir lebih dalam, kebanggaan itu terasa semu dan malah menyakitkan. Apalagi bila ingat perjuangan Habibie yang ingin memajukan Indonesia di bidang iptek khususnya kedirgantaraan. Susah payah beliau mendidik anak-anak bangsa ini agar bisa mandiri dalam berteknologi, malah dibuang begitu saja hanya karena dianggap warisan orde baru.
Apa mungkin setiap orang bisa menjadi manusia sempurna 100%..? Pasti tidak. Karena manusia selalu memiliki kekurangan disamping kelebihannya. Demikian juga dengan orde. Sebobrok-bobroknya sebuah dinasti, pasti selalu ada sisi-sisi baiknya yang bisa dilanjutkan demi kemajuan dan kemandirian bangsa ini. Miris melihat teman-teman yang terbuang dari PTDI sampai akhirnya terpencar-pencar mencari hidup sendiri-sendiri.
Bila mereka lalu bisa berkarir di perusahaan sekelas Boeing, memang patut mendapat acungan jempol. Berarti otak produksi Indonesia sebenarnya sudah layak diperhitungkan. Namun ketika kebanggaan itu justru membuat kemandirian bangsa terpuruk, apa artinya dong..?
Pola pikir konsumerisme yang menjadi isi otak penguasa saat ini memang benar-benar parah. Apalagi di tengah serbuan produk China yang berharga miring, otak mereka ikut-ikutan miring. Untuk apa melatih anak-anak bangsa menjadi pintar yang membutuhkan banyak biaya, bila dengan membeli produk China katanya bisa menghemat sekian rupiah.
Hemat matamu...
Penghematan apaan bila kenyataannya tetap mengorbankan para pemilik tanah ini. N250 dihentikan proyeknya hanya karena CN235 ditukar beras. Apa bedanya dibeli dengan uang bila seterusnya uangnya buat beli beras juga. Asal nilai nominalnya pas, apa salahnya. Padahal CN235 sudah diuji kehandalannya dan digunakan oleh banyak negara. Bahkan Turki sampai memiliki 61 pesawat. Ketika Merpati menggunakan pesawat buatan China yang katanya belum lolos sertifikasi dan memakan korban, itukah yang didefinisikan sebagai penghematan...?
Kemandirian berteknologi sedikit demi sedikit dikikis. Tak apalah impor yang penting nyohor. Toh dari proyek impor mengimpor ini juga bisa dapat amplop lumayan tebal. Apa mungkin ini yang disebut program pengurangan kemiskinan..? Kalo rakyat kelas embek banyak yang mati karena naik pesawat murahan, berarti rakyat miskin kan jadi berkurang.
Di sisi kedaulatan negara. Bagaimana mungkin angkatan perang negara ini bisa disegani, bila terus menerus menggantungkan teknologinya dari barang impor. Kalo saja Asia Tenggara dilanda perang regional, negara lain mana mau menembak pesawat Indonesia. Buang-buang amunisi doang. Ga ditembak juga sudah jatuh sendiri.
Suer...
Aku jadi kangen Pak Habibie
Tapi bukan paha bibi ya...
that's why we often call government sometime good, but almost all time jerk
BalasHapustidak hanya di boeing, banyak ilmuwan2 dan orang endonesa lainnya yg pinter2 yang sangat di hargai d LN, tp tdk di negerinya sendiri.
BalasHapuslah d negeri sendiri ga bs mkn, d LN perut kenyang, pilih mana? mbuh mas bingung, hihihihi
Hmmm...miris ya jadinya...
BalasHapusDipake di luar negeri, tapi kalo di Indo malah kayak sampah, gak dipake :s
Menyedihkan sekali...
Cuma bisa bengong liat kejadian ini O,O
BalasHapustdk hanya IPTN yg terlantar,, tapi juga aset2 hasil tambang di indonesia sy sampai skrg masih heran,, kok sebagian besar sahamnya di miliki asing,,plus tenaga ahlinya byk dari org2 asing,,emng bener apa org indonesia tdk mampu, sy tdk percaya,,
BalasHapustepat y teeknologi dr barang "rongsok"
BalasHapusinget Pak Habibie jadi inget lagunya Joshua yang ada syairnya:
BalasHapus"ingin seperti Pak Habibie"
hahahah.
Salam,
Kevin
Blog : www.nostalgia-90an.com
Nostalgia Segala Sesuatu pada Tahun 90an.
Citra piye kabare? hehehehe
BalasHapuskomen rak nyambung *lah wis komeng di sebelah owk :D
iya bener banget..
BalasHapuspak habibi itu orangnya pinter banget sayang kurang dihargai..
ada ortu temenku aku yang kerja di PT DI harus pontang panting cari kerja lagi mas, Allhamdulillah sudah dapat kerjaan itu juga dinegeri orang
BalasHapusDulu teman SMA-ku dikirim S1 di Amerika dan S2 di Belanda. Sempat bekerja sebentar di IPTN namun kini dia harus mengadu nasib di Singapura.
BalasHapusKasihan ya orang2 yg dulu bekerja di IPTN.. padahal mereka orang2 pintar lho, kini terpaksa harus mengamalkan ilmunya utk negara lain.
BalasHapusKasihan ya orang2 yg dulu bekerja di IPTN.. padahal mereka orang2 pintar lho, kini terpaksa harus mengamalkan ilmunya utk negara lain.
BalasHapusiya, kasihan banget ya Pak Habibie, usahanya untuk mendidik anak bangsa di PTDI itu kayaknya sia sia aja...
BalasHapus:(