08 Maret 2010

Arti Sebuah Nama

Dari beberapa galeri yang memintaku untuk loncat ke sana, ada satu yang begitu gigih. Dari sekedar staf, owner sampai anaknya sudah datang dengan rayuan yang sama. Hari ini ganti anak perempuannya yang datang memintaku untuk bisa membuka akses ke seniman. 

Memang banyak galeri terutama yang baru kesulitan mendapatkan karya-karya seniman yang bermutu. Seniman kelas atas biasanya memang sudah dipegang dan terikat kontrak dengan galeri tertentu. Sedangkan seniman yang bebas, seringkali sulit diakses oleh mereka.



Aku bisa mengerti pokok permasalahan itu. Kebanyakan galeri Jakarta membuat hubungan dengan seniman hanya sebatas urusan bisnis semata. Sedangkan di Jogja masih banyak seniman yang perlu disentuh secara personal seperti yang selama ini aku jalin. Untuk mengikat seniman semacam ini, tak cukup hanya dengan membuat MoU. Aku harus sering mengikuti kehidupan mereka di jalanan atau hal lain yang sepertinya tak ada hubungan sama sekali dengan urusan bisnis.

Dan kembali ke soal tawaran itu, sepintas memang asik tuh penawaran gajinya. Tapi tetap saja aku tak tertarik pindah kesana.

Salah satu alasannya adalah aku malas pindah ke Jakarta. Ketika kantorku menyuruh aku balik ke Jakarta saja, aku bilang mending resign deh. Selain biaya hidup mahal, macet, banjir dan polusi dalam banyak hal, kembali ke Jakarta dan kerja di bidang sama mengharuskan aku sering bertemu dengan bosku sekarang. Kan ga enak tuh...

Hal lainnya mungkin bisa dibilang rasial. Tapi aku memang malas kerja pada ras yang satu ini. Beberapa kali aku ikut orang-orang semacam itu dan selalu sama di akhir cerita. Ketika mereka membutuhkan apa yang aku ketahui, apapun caranya mereka lakukan agar aku mau gabung dengan mereka. Tapi ketika yang isi otakku sudah berpindah ke tangan mereka, dengan begitu mudah aku disepak keluar dari komunitas itu. Benar-benar kaum yang pure kapitalis...

Karena sudah pusing mencari-cari alasan, akhirnya aku catut nama si bos. "Ya ga mungkin aku tinggalin Tujuh Bintang, wong ini galeri milik kakakku kok..."

"Oooo pantesan nama belakangnya sama. Pak Eko Nugroho adiknya pak Saptoadi Nugroho tho..? Maaf deh kalo begitu..."

Nah lho...
Akhirnya nyerah juga dia. Untung saja walau banyak duit dan tahu fengsui, dia ga begitu cerdas soal nama Jawa. Padahal mana mungkin aku adiknya pak Sapto. Eko di mana-mana anak pertama dan Sapto anak ke tujuh.

Hehehe...
Maap bos namanya tak catut.
Apalah artinya sebuah nama...

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena