27 Maret 2010

Laki-laki & Air Mata

"Anak laki-laki kok nangis..?"

Itu sebuah doktrin orang tua yang sangat umum di sebagian masyarakat kita. Sampai mereka lupa bahwa kita dikaruniai dua mata tak sekedar untuk melihat dunia saja, melainkan untuk menitikan air juga. Jadi sebenarnya, tak ada yang salah bila di sepanjang kehidupan, kita akan selalu dekat dengan yang namanya air mata.

Manusia lahir, ceprot, langsung menangis. Yang diam malah dipaksa oleh dukun bayi untuk menangis dengan cara menggebrak tampah tempat kita pertama menghirup udara dunia. Walau kita semua mengalami, tapi kita tak pernah tahu apa yang dirasakan dalam hati kenapa harus menangis. Apakah kita gembira bisa terbebas dari kungkungan kegelapan rahim ibu. Atau justru bersedih hati karena harus menjalani kehidupan sebagai manusia yang musti berjuang untuk mempertahankan hidup. Tidak ada jawaban pasti. Tapi yang jelas bukan karena kaget melihat wujud ayahnya yang berbeda dengan yang dia kenal sebelumnya.
Selama menjadi bayi, tangis adalah satu-satunya sarana komunikasi dengan dunia luar. Minta makan, nangis. Minta minum, nangis. Minta ganti popok yang kena pipis pun diungkapkan dengan cara yang sama. Beranjak balita, tangis adalah senjata utama untuk mengalahkan dominasi kekuasaan orang dewasa. Ingin jajan tidak diberi uang, nangislah dia sampai akhirnya hati orang tua luluh dan mau menuruti kemauannya.

Setelah belajar dewasa, kita mulai tidak adil dengan mengatakan tangis adalah milik kaum perempuan. Seolah-olah haram hukumnya bagi makhluk bernama laki-laki untuk berurai air mata. Laki-laki harus sekeras batu menghadapi kehidupan. Seolah kita lupa bahwa di balik batu gunung paling keras pun selalu ada urat air mengalir.

Ketidakadilan di masa remaja itu pernah aku rasakan, ketika kekasihku mengadu sambil tersedu. Dengan menguatkan hati aku harus membelai rambutnya seraya berkata, "menangislah, bila memang itu merupakan suatu penyelesaian..."

Tapi ketika aku merasakan desakan air di ujung mataku, yang aku terima tak pernah berubah. "Bertahanlah. Kamu pasti bisa..."

Sia-siakah Tuhan menciptakan air mata untuk laki-laki..?
Aku rasa tidak. Norma di masyarakatlah yang menyia-nyiakan itu. Laki-laki tetap butuh pundak untuk menyandarkan diri dalam tangis ketika merasa sendirian di dunia. Hanya karena laki-laki dianggap kuat dan bisa melindungi perempuan, makanya lebih banyak perempuan yang bersandar di pundak laki-laki. Laki-laki yang menangis di pundak perempuan malah akan dicap banci. Walau sejujurnya aku belum pernah melihat banci menangis di pundak perempuan.

Akibat dari semua itu, aku seringkali menyembunyikan tangisku dari mata umum, khususnya perempuan. Hanya menarik nafas panjang dalam pelukan perempuan seringkali tidak mampu untuk melepas beban berat kehidupan. Walaupun aku termasuk kategori laki-laki tulen. Suer...

And when the whole world is gone
You'll always no have my shoulder to cry on....

1 comments:

  1. menarik tulisan anda. terima kasih sudah berbagi. saya dari jenis perempuan.

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena