Membaca tulisan Rio kemarin, tentang kebanggaan seorang mahasiswa yang wisuda, padahal setelah itu dia nganggur. Aku jadi ingat dua kakal beradik temanku di kampung dulu. Kedua temanku itu sama-sama suka dengan bidang pendidikan. Begitu lulus kuliah, mereka menjadi guru honorer di sekolah swasta yang berbeda.
Sampai suatu waktu, orang tua mereka meninggal dan mewariskan sebidang sawah. Setelah sawah itu dibagi dua, sang kakak menjual sawah bagiannya dan dipergunakan untuk "melicinkan" proses seleksi CPNS dan sukses. Sedangkan si adik yang tidak mau menyogok tetap menjadi guru honorer karena tidak lolos seleksi.
Waktu itu banyak teman-teman yang menyalahkan si adik, kenapa tidak mau mengikuti jejak kakaknya. Tapi si adik ini tetap tidak terpengaruh. Dia tetap saja menggarap sawahnya sepulang mengajar. Tapi tidak ditanami padi lagi seperti waktu digarap orang tuanya. Dia menanam kangkung.
Beberapa tahun berlalu. Si kakak tetap nyaman sebagai PNS dan sudah bisa memiliki sepeda motor dan rumah melalui KPR. Sedangkan si adik, walau masih tetap mengajar honorer, dia sudah bisa memiliki rumah besar dan 1 mobil serta 1 truk dari usaha kangkungnya. Sawah sepetak yang menjadi modal awal, akhirnya bisa berkembang menjadi berpuluh petak. Keuntungan jualan kangkung memang hanya 200 perak per ikat. Tapi setiap sore dia kirim satu truk kangkung ke Pasar Caringin Bandung.
Saat itu aku bisa berpikir, begitu banyak orang pintar di sekellingku, tapi hanya sedikit yang cerdas dan bisa melihat peluang dari hal yang kelihatannya sepele. Lulusan sarjana tidak menjamin orang bisa menciptakan lapangan kerja. Malah banyak yang sepertinya berharap untuk bisa bekerja, bukan membuka lowongan buat yang lain.
Lebih malu lagi ketika aku ketemu teman SDku yang tidak bisa melanjutkan sekolah. Dia cukun nrimo menjadi pemulung barang bekas. Tapi walau bodoh, dalam arti tidak berpendidikan, dia cukup cerdas melihat peluang. Kini dia sudah begitu mapan menjadi juragan barang bekas yang menampung dari para pemulung.
Terinspirasi dari teman-temanku itu, ketika BUMN tempat kerjaku dulu kacaw oleh proses privatisasi dari pemerintah, aku pun ikut mengajukan pensiun dini dan terjun menjadi wiraswasta. Berat dan susah sekali memang memulainya. Tapi ketika sudah menemukan jalan terang, terasa sekali begitu nyaman usaha sendiri. Sukses atau bangkrut hanya kita yang menentukan dan tidak perlu disuruh-suruh orang lain.
Ketika nasib memaksaku untuk kembali menjadi karyawan, aku pun tetap berharap suatu saat bisa kembali memiliki usaha sendiri. Apalagi yang di rumah mulai komplen tentang jam kerjaku yang sering harus pulang larut malam.
Kembali ke soal keluhan Rio.
Terlepas dari soal rejeki di tangan Tuhan, kemauan dan kemampuan berusaha tidak begitu tergantung kepada latar belakang pendidikan. Walau apa yang didapat di sekolah kadang berguna juga untuk menambah wawasan dan relasi untuk meningkatkan kemampuan berusaha. Yang aku lihat di sekeliling kita, masih banyak yang menganggap sekolah adalah untuk mencari kerja, bukan mencari ilmu. Makanya banyak yang pintar namun tidak cerdas.
Dan lebih banyak lagi yang menjadi pilih-pilih bidang kerjaan hanya karena menganggap bidang itu tidak cocok untuk titel sarjana, bukan karena dia tidak menguasai bidang itu.
Sampai suatu waktu, orang tua mereka meninggal dan mewariskan sebidang sawah. Setelah sawah itu dibagi dua, sang kakak menjual sawah bagiannya dan dipergunakan untuk "melicinkan" proses seleksi CPNS dan sukses. Sedangkan si adik yang tidak mau menyogok tetap menjadi guru honorer karena tidak lolos seleksi.
Waktu itu banyak teman-teman yang menyalahkan si adik, kenapa tidak mau mengikuti jejak kakaknya. Tapi si adik ini tetap tidak terpengaruh. Dia tetap saja menggarap sawahnya sepulang mengajar. Tapi tidak ditanami padi lagi seperti waktu digarap orang tuanya. Dia menanam kangkung.
Beberapa tahun berlalu. Si kakak tetap nyaman sebagai PNS dan sudah bisa memiliki sepeda motor dan rumah melalui KPR. Sedangkan si adik, walau masih tetap mengajar honorer, dia sudah bisa memiliki rumah besar dan 1 mobil serta 1 truk dari usaha kangkungnya. Sawah sepetak yang menjadi modal awal, akhirnya bisa berkembang menjadi berpuluh petak. Keuntungan jualan kangkung memang hanya 200 perak per ikat. Tapi setiap sore dia kirim satu truk kangkung ke Pasar Caringin Bandung.
Saat itu aku bisa berpikir, begitu banyak orang pintar di sekellingku, tapi hanya sedikit yang cerdas dan bisa melihat peluang dari hal yang kelihatannya sepele. Lulusan sarjana tidak menjamin orang bisa menciptakan lapangan kerja. Malah banyak yang sepertinya berharap untuk bisa bekerja, bukan membuka lowongan buat yang lain.
Lebih malu lagi ketika aku ketemu teman SDku yang tidak bisa melanjutkan sekolah. Dia cukun nrimo menjadi pemulung barang bekas. Tapi walau bodoh, dalam arti tidak berpendidikan, dia cukup cerdas melihat peluang. Kini dia sudah begitu mapan menjadi juragan barang bekas yang menampung dari para pemulung.
Terinspirasi dari teman-temanku itu, ketika BUMN tempat kerjaku dulu kacaw oleh proses privatisasi dari pemerintah, aku pun ikut mengajukan pensiun dini dan terjun menjadi wiraswasta. Berat dan susah sekali memang memulainya. Tapi ketika sudah menemukan jalan terang, terasa sekali begitu nyaman usaha sendiri. Sukses atau bangkrut hanya kita yang menentukan dan tidak perlu disuruh-suruh orang lain.
Ketika nasib memaksaku untuk kembali menjadi karyawan, aku pun tetap berharap suatu saat bisa kembali memiliki usaha sendiri. Apalagi yang di rumah mulai komplen tentang jam kerjaku yang sering harus pulang larut malam.
Kembali ke soal keluhan Rio.
Terlepas dari soal rejeki di tangan Tuhan, kemauan dan kemampuan berusaha tidak begitu tergantung kepada latar belakang pendidikan. Walau apa yang didapat di sekolah kadang berguna juga untuk menambah wawasan dan relasi untuk meningkatkan kemampuan berusaha. Yang aku lihat di sekeliling kita, masih banyak yang menganggap sekolah adalah untuk mencari kerja, bukan mencari ilmu. Makanya banyak yang pintar namun tidak cerdas.
Dan lebih banyak lagi yang menjadi pilih-pilih bidang kerjaan hanya karena menganggap bidang itu tidak cocok untuk titel sarjana, bukan karena dia tidak menguasai bidang itu.
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih