Ada seorang teman yang profesinya begitu kelam di mata masyarakat. Awalnya aku kenal dia ketika aku cari model untuk pemotretan bakal lukisan topless. Setelah beberapa waktu, aku mulai tahu bila dia itu nyambi jualan badan juga. Tapi dia bilang tentang keinginannya pergi dari profesi itu.
Dia cerita tentang keluarganya yang begitu otoriter. Ini itu dilarang dengan alasan tidak mau dia menjadi nakal. Tapi tersumbatnya komunikasi itu malah membuatnya tertutup dengan keluarga. Apa yang ingin dia tahu sebagai anak muda, dia cari jawabannya di luar rumah. Di rumah dia begitu penurut dan taat beribadah, tapi ketika di luar rumah, dia seperti kuda liar lepas dari ikatan. Sampai dia kenal narkoba dan puncaknya adalah dia hamil.
Ketika kehamilannya itu diketahui keluarga, dia ketakutan dan melarikan diri ke Jogja. Dalam puncak keputusasan dan perasaan menjadi manusia yang paling hina membuatnya tak percaya diri untuk hidup menjadi manusia normal sesuai norma masyarakat. Kebutuhan akan isi perut membuatnya merasa tak ada jalan lain selain menjual apa yang dia miliki walau profesi itu tidak dia inginkan. Keinginannya untuk insyaf dan kembali ke keluarga selalu dihantui oleh bayangan akan kemarahan orang tuanya. Dan jadilah dia terpuruk di kubangan kelam itu entah sampai kapan.
Terlepas dari benar atau tidaknya cerita temanku itu, aku menyadari bila masyarakat kita memang seperti itu. Seperti aku dulu yang selalu menilai buruk tentang orang-orang malam, pemabuk, pelacur dan yang sejenisnya. Namun setelah mencoba bergaul dengan mereka aku jadi bisa lebih memahami, mengapa mereka bisa seperti itu.
Orang tua dan lingkungan sering membatasi anak terlalu keras karena ketakutan anaknya menjadi rusak. Padahal sifat anak jaman sekarang, ketika dikekang terlalu keras, dia justru akan mencuri-curi kesempatan di belakang. Tak heran bila ada orang tua yang "shock" ketika mendengar anaknya terlibat narkoba, padahal yang mereka tahu anak itu begitu alim dan penurut ketika di rumah.
Mungkin ada baiknya masyarakat kita belajar untuk "mengimunisasi" dan bukan "mengisolasi". Sebagai contoh ketika aku kecil dulu. Setiap menggembala kambing di tepi hutan, saat kambing minum, aku pun ikut minum air sungai. Tapi belum pernah aku kena yang namanya sakit perut. Beda anak sekarang yang menginjak tanah sedikit saja sudah dicuci sampai 7 kali. Akibatnya ketika dia bermain tanah, langsung harus ke dokter karena gatal-gatal atau sakit perut.
Yang aku tahu, pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Dan imunisasi adalah salah satu cara mencegah penyakit yang paling baik. Karena dengan imunisasi, tubuh di beri kuman penyakit yang dilemahkan agar antibodi lebih mampu melawan penyakit tanpa bantuan obat-obatan kimia yang juga meracuni tubuh. Membiarkan anak bermain kotor termasuk salah satu imunisasi alami.
Kembali ke soal kehidupan kelam...
Dulu aku berpikir bahwa manusia-manusia malam yang hidup di jalanan itu semuanya error dalam soal moral. Tapi setelah aku banyak bergaul dengan yang semacam itu, aku bisa melihat bahwa mataku salah melihat permukaan. Ada juga mereka yang datang ke cafe benar-benar hanya untuk cari hiburan atau mencari inspirasi untuk berkarya. Beberapa seniman yang aku kenal, ada juga yang tidak merokok apalagi minum minuman keras, walau mereka sering nongkrong di diskotik.
Aku malah melihat sebuah ironi disitu. Teman-temanku yang parah dalam soal mabuk atau lacur, justru berasal dari keluarga yang baik-baik. Bahkan ada yang jebolan pesantren. Isolasi keluarga yang berlebihan justru membuat mereka penasaran dan ingin mencoba-coba sampai ahirnya menjadi kecanduan. Sedangkan teman yang sejak kecil memang akrab dengan lingkungan kelam, justru tidak terlalu berlebihan tingkat errornya. Mungkin karena adanya proses imunisasi alami dari lingkungan, sehingga mereka sudah tidak begitu menggebu rasa penasarannya.
Sebagai contoh kenapa aku tidak suka minum walau hidup di lingkungan yang begitu dekat dengan minuman keras. Setidaknya aku bisa melihat ke sekeliling sebelum ada keinginan untuk mencoba. Kulihat bagaimana orang-orang itu ngoceh tak karuan ketika mabuk. Tak jarang seusai pembukaan pameran aku harus ngurus ke rumah sakit karena ada seniman mabuk trus naik motor dan nubruk trotoar. Jadinya aku mampu berpikir, untuk apa mencoba sendiri bila pengalaman orang-orang di depanku sudah bisa aku anggap pengalaman pribadi.
Begitu juga godaan perempuan. Aku bisa lebih mampu menahan diri, mungkin ada hubungannya dengan pekerjaanku yang mengharuskan aku menghadapi perempuan-perempuan indah dan tak jarang tanpa busana ketika pemotretan untuk model lukisan. Bisa jadi otakku sudah tidak punya rasa penasaran lagi ketika aku melihat sosok perempuan cantik lewat. "Kalo dibuka paling ya gitu doang..." paling banter cuma mikir begitu.
Imunisasi alami inilah yang sepertinya harus dicari oleh orang tua dan masyarakat agar anak-anak mereka segera tahu hal-hal yang kotor dan dilemahkan dulu virusnya dengan pemahaman dan komunikasi timbal balik yang tepat, sebelum anak-anak itu memiliki rasa penasaran yang menggebu terhadap kotoran sampai tingkat kecanduan. Yang aku lihat di masyarakat kita, mereka lebih suka mengucilkan, sehingga yang merasa kotor tidak berani bertanya tentang kotorannya atau cara membersihkannya. Lebih parah lagi mereka akhirnya menyembunyikan kotoran itu agar tidak diketahui orang-orang dekatnya. Sehingga orang-orang yang seharusnya berperan besar untuk mengentas mereka dari kubangan, tak pernah tahu bahwa ada kotoran di dekatnya.
Sampai kapan orang tua dan masyarakat kita terus merasa dirinya paling benar..?
Ilustrasi Hard Decision
Karya Okyre Montha
Tujuh Bintang Art Space
Dia cerita tentang keluarganya yang begitu otoriter. Ini itu dilarang dengan alasan tidak mau dia menjadi nakal. Tapi tersumbatnya komunikasi itu malah membuatnya tertutup dengan keluarga. Apa yang ingin dia tahu sebagai anak muda, dia cari jawabannya di luar rumah. Di rumah dia begitu penurut dan taat beribadah, tapi ketika di luar rumah, dia seperti kuda liar lepas dari ikatan. Sampai dia kenal narkoba dan puncaknya adalah dia hamil.
Ketika kehamilannya itu diketahui keluarga, dia ketakutan dan melarikan diri ke Jogja. Dalam puncak keputusasan dan perasaan menjadi manusia yang paling hina membuatnya tak percaya diri untuk hidup menjadi manusia normal sesuai norma masyarakat. Kebutuhan akan isi perut membuatnya merasa tak ada jalan lain selain menjual apa yang dia miliki walau profesi itu tidak dia inginkan. Keinginannya untuk insyaf dan kembali ke keluarga selalu dihantui oleh bayangan akan kemarahan orang tuanya. Dan jadilah dia terpuruk di kubangan kelam itu entah sampai kapan.
Terlepas dari benar atau tidaknya cerita temanku itu, aku menyadari bila masyarakat kita memang seperti itu. Seperti aku dulu yang selalu menilai buruk tentang orang-orang malam, pemabuk, pelacur dan yang sejenisnya. Namun setelah mencoba bergaul dengan mereka aku jadi bisa lebih memahami, mengapa mereka bisa seperti itu.
Orang tua dan lingkungan sering membatasi anak terlalu keras karena ketakutan anaknya menjadi rusak. Padahal sifat anak jaman sekarang, ketika dikekang terlalu keras, dia justru akan mencuri-curi kesempatan di belakang. Tak heran bila ada orang tua yang "shock" ketika mendengar anaknya terlibat narkoba, padahal yang mereka tahu anak itu begitu alim dan penurut ketika di rumah.
Mungkin ada baiknya masyarakat kita belajar untuk "mengimunisasi" dan bukan "mengisolasi". Sebagai contoh ketika aku kecil dulu. Setiap menggembala kambing di tepi hutan, saat kambing minum, aku pun ikut minum air sungai. Tapi belum pernah aku kena yang namanya sakit perut. Beda anak sekarang yang menginjak tanah sedikit saja sudah dicuci sampai 7 kali. Akibatnya ketika dia bermain tanah, langsung harus ke dokter karena gatal-gatal atau sakit perut.
Yang aku tahu, pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Dan imunisasi adalah salah satu cara mencegah penyakit yang paling baik. Karena dengan imunisasi, tubuh di beri kuman penyakit yang dilemahkan agar antibodi lebih mampu melawan penyakit tanpa bantuan obat-obatan kimia yang juga meracuni tubuh. Membiarkan anak bermain kotor termasuk salah satu imunisasi alami.
Kembali ke soal kehidupan kelam...
Dulu aku berpikir bahwa manusia-manusia malam yang hidup di jalanan itu semuanya error dalam soal moral. Tapi setelah aku banyak bergaul dengan yang semacam itu, aku bisa melihat bahwa mataku salah melihat permukaan. Ada juga mereka yang datang ke cafe benar-benar hanya untuk cari hiburan atau mencari inspirasi untuk berkarya. Beberapa seniman yang aku kenal, ada juga yang tidak merokok apalagi minum minuman keras, walau mereka sering nongkrong di diskotik.
Aku malah melihat sebuah ironi disitu. Teman-temanku yang parah dalam soal mabuk atau lacur, justru berasal dari keluarga yang baik-baik. Bahkan ada yang jebolan pesantren. Isolasi keluarga yang berlebihan justru membuat mereka penasaran dan ingin mencoba-coba sampai ahirnya menjadi kecanduan. Sedangkan teman yang sejak kecil memang akrab dengan lingkungan kelam, justru tidak terlalu berlebihan tingkat errornya. Mungkin karena adanya proses imunisasi alami dari lingkungan, sehingga mereka sudah tidak begitu menggebu rasa penasarannya.
Sebagai contoh kenapa aku tidak suka minum walau hidup di lingkungan yang begitu dekat dengan minuman keras. Setidaknya aku bisa melihat ke sekeliling sebelum ada keinginan untuk mencoba. Kulihat bagaimana orang-orang itu ngoceh tak karuan ketika mabuk. Tak jarang seusai pembukaan pameran aku harus ngurus ke rumah sakit karena ada seniman mabuk trus naik motor dan nubruk trotoar. Jadinya aku mampu berpikir, untuk apa mencoba sendiri bila pengalaman orang-orang di depanku sudah bisa aku anggap pengalaman pribadi.
Begitu juga godaan perempuan. Aku bisa lebih mampu menahan diri, mungkin ada hubungannya dengan pekerjaanku yang mengharuskan aku menghadapi perempuan-perempuan indah dan tak jarang tanpa busana ketika pemotretan untuk model lukisan. Bisa jadi otakku sudah tidak punya rasa penasaran lagi ketika aku melihat sosok perempuan cantik lewat. "Kalo dibuka paling ya gitu doang..." paling banter cuma mikir begitu.
Imunisasi alami inilah yang sepertinya harus dicari oleh orang tua dan masyarakat agar anak-anak mereka segera tahu hal-hal yang kotor dan dilemahkan dulu virusnya dengan pemahaman dan komunikasi timbal balik yang tepat, sebelum anak-anak itu memiliki rasa penasaran yang menggebu terhadap kotoran sampai tingkat kecanduan. Yang aku lihat di masyarakat kita, mereka lebih suka mengucilkan, sehingga yang merasa kotor tidak berani bertanya tentang kotorannya atau cara membersihkannya. Lebih parah lagi mereka akhirnya menyembunyikan kotoran itu agar tidak diketahui orang-orang dekatnya. Sehingga orang-orang yang seharusnya berperan besar untuk mengentas mereka dari kubangan, tak pernah tahu bahwa ada kotoran di dekatnya.
Sampai kapan orang tua dan masyarakat kita terus merasa dirinya paling benar..?
Ilustrasi Hard Decision
Karya Okyre Montha
Tujuh Bintang Art Space
sepertinya aku dah pernah baca ini raw di empi..
BalasHapuscuma mungkin saking lamanya jadi dah lupa..
itu 2 tahun yang lalu ya?...
eniwei, dulu saja orangtua sudah takut anaknya berbuat yang tidak-tidak, apalagi melihat pergaulan anak jaman sekarang, semakin menjadi mereka menahan anaknya untuk keluar melihat dunia, dimana-mana semua orangtua rata-rata sama. Ga jauh-jauh lah, ponakanku aja ga mau lari di tanah kalo ga pake sendal, itu karena ortunya melarangnya main asal lari tanpa sendal, alhasil anaknya ringkih sekarang ini..
menurut raw, bagaimana bisa ortu merubah pola pikirnya saat ini agar anak tidak terjerumus ke dalam lembah yang mereka takuti..? sulit raw, karena mereka juga dulu dididiknya seperti itu, padahal tidak semua produk berakhir sama...
menjadi orangtua itu mudah, tapi menjadi orangtua yang bijaksana itu sulit... begitulah.. :-)
ya iyalah
BalasHapuswong ini kan jurnal tahun 2010, hehe