Bicara soal KTP, selembar kartu identitas yang kelihatan sepele tapi sering juga menimbulkan masalah. Seperti ketika dulu aku ngabur ke Jakarta tanpa dompet dan KTP, baru sampai stasiun Senen saja sudah dihadang petugas Pol PP persis seperti TKI ilegal berhadapan petugas imigrasi.
Ketika hidup mulai menemukan bentuknya, aku pun membuat KTP Jakarta walau harus nembak ke pak RT 350 ribu. Kondisi ngabur dan niat menghilangkan identitas lama dari peredaran tak memungkinkan aku kembali ke kampung dulu untuk urus surat pindah. Keinginan untuk menjadi bayi agar bisa segera bangkit dari malapetaka lama itu membuatku sedikit merubah data diri, termasuk nama dan tangal lahir. Pokoknya aku ingin menjadi manusia baru yang lepas dari masa lalu.
Begitu aku pindah ke Jokja dan merencanakan menikah, aku mulai bingung dengan identitas. Identitas baru memang telah banyak berjasa merubah hidupku menjadi lebih baik. Tapi aku malah merasa itu sebagai pembohongan terhadap diri sendiri. Tak enak rasanya berbohong seumur hidup. Sehingga ketika memutuskan untuk menjadi warga Jokja, aku membuat surat pindah dari identitas asliku di Cilacap, bukan Jakarta.
Saat ini aku merasa nyaman dengan kembali ke diri sendiri. Tapi masalahnya, di kerjaan dan yang berkaitan dengan bank, aku telanjur memakai identitas palsu itu. Untuk merubahnya aku belum begitu siap dengan berbagai konsekuensinya. Jadilah aku manusia yang hidup di dua alam.
Dan ternyata, soal KTP dan identitas bukan cuma aku yang mengalaminya. Ada pelukis Jakarta yang kerja di kantor aku suruh bikin KTP Jokja agar bisa dapat fasilitas kredit motor dari kantor. Ketika aku pinjam KTPnya untuk aku urus ke kelurahan, dia malah bingung dan ngasih 2 lembar KTP kepadaku. Yang satu namanya Tarso dan yang satu namanya Rico. Ketika aku tanya kenapa bisa beda, dia bilang malu dengan nama aslinya yang katanya kampungan. Hahaha..
Yang lebih parah mungkin temanku satunya. Dia punya nama yang panjang dan bagus sekali. Tapi dia nanya-nanya tentang nembak bikin KTP baru ke kelurahan. Ketika aku tanya kenapa harus ganti padahal namanya sudah bagus. Dia jawabnya gini, "aku malu, namaku kaya santri padahal kerjaanku mabok..."
Kacaw deh..
Ketika hidup mulai menemukan bentuknya, aku pun membuat KTP Jakarta walau harus nembak ke pak RT 350 ribu. Kondisi ngabur dan niat menghilangkan identitas lama dari peredaran tak memungkinkan aku kembali ke kampung dulu untuk urus surat pindah. Keinginan untuk menjadi bayi agar bisa segera bangkit dari malapetaka lama itu membuatku sedikit merubah data diri, termasuk nama dan tangal lahir. Pokoknya aku ingin menjadi manusia baru yang lepas dari masa lalu.
Begitu aku pindah ke Jokja dan merencanakan menikah, aku mulai bingung dengan identitas. Identitas baru memang telah banyak berjasa merubah hidupku menjadi lebih baik. Tapi aku malah merasa itu sebagai pembohongan terhadap diri sendiri. Tak enak rasanya berbohong seumur hidup. Sehingga ketika memutuskan untuk menjadi warga Jokja, aku membuat surat pindah dari identitas asliku di Cilacap, bukan Jakarta.
Saat ini aku merasa nyaman dengan kembali ke diri sendiri. Tapi masalahnya, di kerjaan dan yang berkaitan dengan bank, aku telanjur memakai identitas palsu itu. Untuk merubahnya aku belum begitu siap dengan berbagai konsekuensinya. Jadilah aku manusia yang hidup di dua alam.
Dan ternyata, soal KTP dan identitas bukan cuma aku yang mengalaminya. Ada pelukis Jakarta yang kerja di kantor aku suruh bikin KTP Jokja agar bisa dapat fasilitas kredit motor dari kantor. Ketika aku pinjam KTPnya untuk aku urus ke kelurahan, dia malah bingung dan ngasih 2 lembar KTP kepadaku. Yang satu namanya Tarso dan yang satu namanya Rico. Ketika aku tanya kenapa bisa beda, dia bilang malu dengan nama aslinya yang katanya kampungan. Hahaha..
Yang lebih parah mungkin temanku satunya. Dia punya nama yang panjang dan bagus sekali. Tapi dia nanya-nanya tentang nembak bikin KTP baru ke kelurahan. Ketika aku tanya kenapa harus ganti padahal namanya sudah bagus. Dia jawabnya gini, "aku malu, namaku kaya santri padahal kerjaanku mabok..."
Kacaw deh..
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih