25 Maret 2010

Keangkuhanku

Hampir dua tahun meninggalkan Jakarta, beberapa kali aku lupa melakukan kesalahan tata krama ketika ke Jakarta kemarin. Kebiasaan hidup di pinggiran Jokja, yang bila lewat ada orang duduk-duduk di pinggir jalan yang lumayan lebar, tak akan lupa tersenyum, menganggukan kepala, membungkukan badan sedikit sambil bilang, "nderek langkung..."

Di Jakarta kemarin, berjalan di gang senggol yang sempit, ada ibu-ibu asyik ngegosip sambil selonjor menghalangi jalan. Ucapan permisi dan senyum paling manis seolah dianggap angin lalu dan tanpa respon babar blash. Sempat kaget juga tidak diberi jalan oleh  ibu-ibu itu, sebelum aku tersadar ini Jakarta. Melangkahi orang duduk tanpa permisi sudah hal yang lumrah dan tidak akan menuai komplen.

Dua tahun lalu, jangankan cuma ibu-ibu yang ngegosip. Anak muda yang pacaran di gang sempit dekat kebon pisang pun, sepertinya sudah tak mempedulikan orang lewat. Mereka tetap saja asik berciuman walau aku melangkah di atas mereka yang selonjor sambil berpelukan. Sebuah tata krama yang indah di sebuah kota yang bernama Jakarta.

Selain itu, silaturahmi sepertinya bukan kata yang banyak memiliki arti lagi. Dulu aku pun hanya kenal satu dua orang yang kontrakannya berhadapan pintu saja. Tetangga belakang rumah hanya aku kenal wajah tanpa pernah tahu siapa namanya. Teman dekat justru lebih banyak aku kenal di kantor. Itupun terbatas pada teman itu saja. Yang aku kenal sampai ke anak istrinya hanya satu dua.

Makanya aku bersyukur ketika dipindahkan ke Jokja. Aku bisa lebih memaknai lagi arti kata silaturahmi. Dimana segala sesuatunya tidak hanya diambil dari sisi sempitnya saja. Seperti ketika aku ke Jakarta kemarin dengan tujuan menengok bayi. Ada juga teman yang nanya, "Kasih kado apaan sih loe...?"

Kata temanku, untuk apa susah payah ke Jakarta cuma untuk kasih kado yang harganya paling seratus ribu perak. Lebih bermanfaat kalo ongkos pesawat dan akomodasinya ditransferin aja sebagai hadiah. Ga perlu cape buang waktu dan tenaga.

Ga enak juga sih dinasehatin semacam itu. Tapi aku berusaha memahami bila budayaku dan temanku sudah jauh berbeda. Aku berusaha berpikir, bahwa silaturahmi itu nilainya jauh lebih tinggi daripada nilai kado atau tiket pesawat. Uang memang susah dicari. Tapi kemauan untuk beranjangsana di jaman seperti sekarang ini lebih susah untuk dilakukan. Apalagi ketika chatting, sms atau nelpon makin mudah dan murah.

Biarlah Jakarta semakin canggih dalam pergaulannya. Aku akan tetap angkuh mencoba menjadi orang udik yang tidak praktis...

Ilustrasi New World
Karya Katirin
Tujuh Bintang Art Space

2 comments:

  1. hm... salut tu ka' memang banyakan orang mengggap hal2 besar menjadi kecil dan begitu pun sebaliknya hal2 kecil malah dibesar2kan.... bahkan sampai tak terselesaikan....

    BalasHapus
  2. Namanya juga manusia. Hehehe...

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena