02 Maret 2010

Seni Omong Kosong

Setiap pembukaan pameran, selalu saja aku terharu melihat antusias pengunjung. Kadang tak peduli hujan lebat, mereka tetap saja berjubelan menghadirinya. Tapi tetap saja kekecewaanku selalu ada. Hiruk pikuk seniman dalam menghidupkan seni budaya bangsa seolah tak menyentuh hati birokrat kita.

Kepedulian mereka hanya omong kosong dan jarang ada gerakan nyata. Jangankan mau berkorban demi kesenian, datang ke pameran saja sudah malas. Apalagi pejabat yang entah urusannya apa, pejabat Dinas Kebudayaan atau Dinas Pariwisata yang jelas bersinggungan langsung dengan seni pun jarang mau nongol. Kecuali diminta untuk membuka pameran atau yang buka pejabat tinggi macam Sultan atau menteri, baru semuanya tergopoh-gopoh hadir. Penjilat..!!!
Pejabat pemerintah yang benar-benar peduli terhadap seni terutama lukis, setahuku hanya Fauzi Bowo. Yang lainnya, termasuk Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sendiri belum kelihatan kiprahnya. Jero Wacik ketika pembukaan Bienale Jogja, meminta perhelatan seni Biennale Jogja X harus diperbanyak di Yogyakarta. Tapi permintaan itu tak ada tindak lanjutnya sama sekali.

Seniman kita ketika akan mengikuti even di luar negeri, tetap saja harus berdarah-darah mengeluarkan dana sendiri. Bila memang tidak mampu memberikan akomodasi, minimal pajak ekspor dan bea masuk atas karya seni yang dibawanya dihilangkan atau dikurangi. Apa tidak menyebalkan bila kita bawa lukisan ke luar negeri dikenakan pajak tinggi. Dan ketika lukisan itu dibawa pulang kembali, masih harus dikenai bea masuk.

Bila memang pemerintah mau peduli terhadap kemajuan seni budaya, seharusnya biaya-biaya semacam itu dipangkas. Syukur bisa mengadakan perjanjian goverment to goverment dengan pemerintah negara tujuan agar pajaknya bisa dikurangi.

Aku jadi malu dengan seniman negara tetangga. Ketika workshop bareng seniman Taiwan, China dan Singapore di galeriku beberapa waktu lalu, mereka bisa cerita bahwa kedatangan mereka ke Indonesia akomodasi dibantu pemerintahnya. Lebih malu lagi ketika ada seniman Hongaria yang belajar di Jogja harus diancam deportasi hanya karena tidak mau bayar 20 juta. Padahal sudah ada surat rekomendasi dari rektor ISI dan konsulat bahwa dia di Jogja benar-benar untuk belajar seni dan bukan bekerja.

Makanya ketika pejabat kita kebakaran jenggot atas kasus batik beberapa waktu lalu, pikiranku tetap skeptis. Paling anget-anget tai ayam doang. Dan nyatanya sekarang tidak ada lagi gaungnya, apalagi tindakan nyata untuk menyelamatkan seni budaya kita.

Padahal bila pemerintah mau melek, mereka seharusnya tahu pengakuan seniman luar negeri kepada seniman Indonesia tuh seperti apa. Bahkan di lelang Southeby Hongkong, lukisan seniman muda kita, Nyoman Masriadi berjudul Man from Bantul bisa laku 10 Milyar. Pengakuan yang luar biasa atas seni lukis Indonesia yang tak diurus pemerintahnya. Andai kata Masriadi kemudian diklaim negera tetangga dan dia mau membelot, mungkin baru saat itu pemerintah kita heboh walau cuma omong doang trus besoknya lupa.

Ngurusin pansus yang ga karuan aja ga sayang keluar duit 2,5 milyar. Kenapa mengurus budaya bangsa sendiri kok susahnya minta ampun. Sampai kapan kita terus begini..?

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena