06 Oktober 2009

Jadi Opisboy lagi

Mulai kemarin, pembantu di kantor pamit keluar mau kawin di kampung. Karena belum ada ganti, pasukan aku kumpulkan. Kasih arahan, minimal bersihin meja kerjanya sendiri sebelum pulang kantor. Kalo makan dan minum, silakan cuci piring gelas sendiri.

Aku menekankan itu khusus ke staf di kantor. Karena aku tahu yang namanya ngurusin seniman jarang ada kerjaan sebelum jam 12 siang, seniman masih pada molor soalnya. Otomatis pagi tuh boleh dibilang nganggur. Kalo anak-anak produksi di belakang, kerjaannya susah diganggu gugat, dari pagi sampai sore sibuk terus. Eh kok ada yang komen, "beli aqua gelas aja, mas. Masa aku cuci gelas..."

Cuma disuruh cuci gelas bekas minum sendiri aja udah ga mau. Gimana kalo tak suruh bantuin ngepel..? Baru jadi staf aja sudah sebegitu besar gengsinya, gimana kalo dah jadi direktur..?

Aku sendiri tak pernah pilih-pilih kerjaan, bukan karena aku rakus semua diembat sendiri. Aku cuma merasa bahwa manusia hidup selalu ada pasang surutnya. Apakah mungkin aku akan selamanya bisa kerja di belakang meja terus..?

Karirku bisa jatuh bangun dengan mudahnya. Dengan membiasakan diri mengerjakan semua pekerjaan dari yang alus sampai kasar, ketika aku jatuh, minimal aku sudah terbiasa pekerjaan kasar yang biasa ditemukan oleh orang yang belajar bangkit lagi dari keterpurukan.

Buatku, ini bukan semata-mata kerja kasar atau bukan. Tapi orang hidup harus selalu belajar dan belajar. Belajar kerja kasar kayaknya lebih sulit, makanya aku pun harus berusaha untuk bisa.

Mungkin karena pemikiran semacam ini yang selalu ada di sebagian dari kita. Sehingga tingkat pengangguran selalu tinggi. Untuk kerja dari bawah, mereka selalu mengatakan, "aku sarjana kok.." Mungkin mereka tak tahu, bahwa mencapai karir yang lumayan tinggi jauh lebih indah untuk dinikmati bila kita mulai dari titik nol. Kalo memang pegang sapu bukan dianggap pekerjaan, pantas saja lapangan kerja seringkali dianggap sempit buat kita.

Aku bisa duduk di meja ini pun butuh perjuangan panjang. Dimulai ketika aku terusir dari Nusakambangan dulu. Hanya berbekal uang 200 ribu dan 2 stel kaos oblong aku ke Jakarta. Nyatanya aku bisa bertahan hidup di kolong jalan layanghanya dengan angkat junjung barang di Atrium dan Pasar Senen. Sampai akhirnya aku bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak dengan bantuan beberapa teman.

Ayolah teman. Tepis gengsi daripada bunuh diri ketika kesulitan hidup menerpa suatu saat nanti. Mumpung masih ada kesempatan, belajarlah untuk hidup susah. Banyak orang menjadi bodoh ketika belajar pintar. Dengan belajar susah, kita akan lebih mudah mendapatkan kebahagiaan.

Cobalah...

0 comments:

Posting Komentar

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena