Pagi-pagi sudah ditanya, "kok ga pake batik..?"
Tak apa aku dianggap tidak nasionalis atau tidak peduli dengan khazanah budaya, padahal aku bekerja di lingkungan seni budaya. Tak masalah pula bila aku dianggap selalu melawan arus karena itulah adanya aku.
Aku hanya merasa tak nyaman dengan gembar-gembor sok nasionalis semacam itu tapi hanya sekedar di permukaan saja. Dan masalah itu tidak hanya di soal batik saja, tapi sudah menyeluruh ke banyak bidang kehidupan.
Yang masih terasa hangat mungkin bulan ramadhan kemarin. Di tipi semua menjadi sok agamis. Sinetron berubah jadi penuh kerudung walau temanya tetap dari itu ke itu. Kaum netter pun ikut menjadi kyai dadakan. Setiap hari posting pengajian. Tapi setelah lebaran berlalu, mereka ramai menyambut rencana miyabi yang mau boyongan ke sini. Bahasan hadist dan doa harian langsung lenyap tanpa bekas.
Baru kemarin di koran, tipi, blog, facebook, twitter semua orang teriak tentang gempa dan kepedulian sosial. Sekarang berubah jadi happy batik day. Padahal korban gempa masih butuh bantuan. Yang kemarin berteriak soal gempa kenceng banget, sampai hatikah perbuatan mereka itu..? Sudah membantukah atau sekedar berteriak saja hanya karena takut dibilang tidak nge-tren..?
Budaya semacam itu yang terus terang aku tidak suka. Aku suka batik. Tapi aku tak perlu menunggu batik diakui UNESCO untuk memakainya. Aku ingin memakai batik karena aku sadar sesadar-sadarnya bahwa batik itu warisan budaya yang tak ternilai. Bukan karena basa basi yang cepat basi itu.
Kita tentu ingat, banyak sekali gerakan gerakan yang sok sokan sejak dulu, yang hanya hangat hangat tai ayam. Ketika dicanangkan Gerakan Disiplin Nasional, semua berteriak dan memakai kaos atau rompi GDN. Setelah itu terlupakan.
Lalu ada gerakan cinta tanah air, gerakan menanam seribu pohon, memerahputihkan internet, dan banyak lagi sampai tak terhitung. Tapi rasanya yang tak bisa lepas dari sanubari kita semua hanya satu. Gerakan Aku Cinta Rupiah...
Tak apa aku dianggap tidak nasionalis atau tidak peduli dengan khazanah budaya, padahal aku bekerja di lingkungan seni budaya. Tak masalah pula bila aku dianggap selalu melawan arus karena itulah adanya aku.
Aku hanya merasa tak nyaman dengan gembar-gembor sok nasionalis semacam itu tapi hanya sekedar di permukaan saja. Dan masalah itu tidak hanya di soal batik saja, tapi sudah menyeluruh ke banyak bidang kehidupan.
Yang masih terasa hangat mungkin bulan ramadhan kemarin. Di tipi semua menjadi sok agamis. Sinetron berubah jadi penuh kerudung walau temanya tetap dari itu ke itu. Kaum netter pun ikut menjadi kyai dadakan. Setiap hari posting pengajian. Tapi setelah lebaran berlalu, mereka ramai menyambut rencana miyabi yang mau boyongan ke sini. Bahasan hadist dan doa harian langsung lenyap tanpa bekas.
Baru kemarin di koran, tipi, blog, facebook, twitter semua orang teriak tentang gempa dan kepedulian sosial. Sekarang berubah jadi happy batik day. Padahal korban gempa masih butuh bantuan. Yang kemarin berteriak soal gempa kenceng banget, sampai hatikah perbuatan mereka itu..? Sudah membantukah atau sekedar berteriak saja hanya karena takut dibilang tidak nge-tren..?
Budaya semacam itu yang terus terang aku tidak suka. Aku suka batik. Tapi aku tak perlu menunggu batik diakui UNESCO untuk memakainya. Aku ingin memakai batik karena aku sadar sesadar-sadarnya bahwa batik itu warisan budaya yang tak ternilai. Bukan karena basa basi yang cepat basi itu.
Kita tentu ingat, banyak sekali gerakan gerakan yang sok sokan sejak dulu, yang hanya hangat hangat tai ayam. Ketika dicanangkan Gerakan Disiplin Nasional, semua berteriak dan memakai kaos atau rompi GDN. Setelah itu terlupakan.
Lalu ada gerakan cinta tanah air, gerakan menanam seribu pohon, memerahputihkan internet, dan banyak lagi sampai tak terhitung. Tapi rasanya yang tak bisa lepas dari sanubari kita semua hanya satu. Gerakan Aku Cinta Rupiah...
0 comments:
Posting Komentar
Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih