14 Oktober 2009

Blunder Batik

Melihat booming batik saat ini, ada juga sedikit kawatir bila aku ingat booming lukisan pada kurun waktu 2005-2007 lalu. Waktu itu seni lukis mengalami masa keemasannya. Harga karya membumbung tinggi. Yang semula tidak melukis tiba-tiba jadi pelukis. Banyak pelukis eksis yang ikut kesurupan melihat peluang dan berubah menjadi pabrik gambar. Melukis seperti kejar setoran sampai melupakan ide-ide kreatif. Yang penting nggambar trus jadi duit.

Euphoria itu membuat pasar lukisan menjadi jenuh. Dan kini tibalah masa paceklik buat pekerja dibidang seni lukis. Harga pasar melorot drastis, sementara sebagian pelukis masih tetap bertahan dengan harga dirinya tanpa mau melihat harga pasar. "Dulu karyaku harganya 50 juta, masa sekarang ditawar 10 juta..?"

Mereka yang besar dibidang seni hanya ikut-ikutan berdagang tapi tak mau belajar bahwa yang namanya dagang itu ada pasang surutnya. Ketika pasar mulai jenuh, mereka tetap saja berproduksi tanpa mau menjaga rasio antara permintaan dan penawaran.

Di bidang perbatikan pun aku lihat hampir sama. Saat ini banyak orang memburu batik. Perajin batik merasa di atas angin. Pengusaha yang semula tidak melirik pun sekarang ikut nimbrung jualan batik. Tapi sudahkah diadakan survai untuk melihat, konsumen batik sekarang memang pecinta batik beneran atau cuma terbawa arus saja.

Dan aku lihat yang sekarang ikut nimbrung itu malah bergerak di bidang batik printing. Memilih ini karena memang mudah dan cepat dalam pengerjaan. Produksi masal dalam waktu singkat sangat memungkinkan sekali. Dan yang dibuat itu bukan lagi batik yang sesuai pakemnya, melainkan hanya membuat kain yang bercorak batik saja.

Padahal UNESCO itu hanya mengakui batik tulis dan batik cap saja. (The techniques, symbolism and culture surrounding hand-dyed cotton and silk garments known as Indonesian Batik - selengkapnya disini). Batik printing tidak. Kalopun beberapa tahun ke depan pengguna batik masih ada, tapi yang digunakan adalah batik printing, sementara batik tulis dan cap hilang dari peredaran, apakah UNESCO masih mau mengakuinya.

Walau batik itu soal seni, tapi tetap saja pasar harus dijaga agar perajin bisa tetap eksis. Apalagi kalo ingat budaya masyarakat kita yang demenyar (demene nek anyar...). Setelah itu dengan mudah melupakan.

Berpikir sampai kesinikah yang kemarin selalu meributkan tentang batik...???
Adakah tindak lanjut yang mereka lakukan untuk menyelamatkannya...???
Kita lihat saja...

1 comments:

  1. seharusnya ga cuma mas yang berpikir seperti ini
    saluuut...

    BalasHapus

Sebelum membaca jurnal ini mohon untuk membaca Disclaimer dari Blog Rawins. Memberikan komentar dianggap telah menyetujui Disclaimer tersebut. Terima kasih

© 2011 Rawin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena